Menu

Layanan Pengaduan Kekerasan Seksual: Hotline Cuma Pajangan atau Bisa Jadi Jalan untuk Korban?

03 Desember 2022 09:00 WIB

Ilustrasi kekerasan seksual. (Freepik/Edited by HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, apa kamu pernah membuka hotline layanan pengaduan kekerasan seksual?

Saat membuka website layanan pengaduan kekerasan seksual, seperti Komnas Perempuan, LBH APIK, dan kantor polisi, kamu akan menemukan hotline pengaduan, mulai dari alamat kantor, alamat e-mail, hingga nomor telepon yang bisa dihubungi.

Hal tersebut tentu sudah sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tentang kemudahan korban dalam memproses kasusnya. Setiap korban kekerasan seksual dapat melaporkan kekerasan seksual yang dialami enggak hanya kepada kepolisian, tapi juga kepada UPTD PPA, UPT di bidang sosial, dan Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat. Selain itu, pelaporan juga bisa dilakukan di tempat korban ataupun di tempat terjadinya tindak pidana.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2022, kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan yang diterima Komnas Perempuan mengalami peningkatan.

Namun, ternyata masih banyak korban kekerasan seksual yang takut untuk melaporkan kasusnya. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Dr. Bahrul Fuad, MA, ada banyak alasan mengapa korban takut untuk speak up soal kasus yang menimpanya.

Fuad memaparkan bahwa alasan korban takut untuk melaporkan kasusnya karena ada intimidasi dari pelaku atau keluarga pelaku, lalu ada juga ketakutan finansial, ketakutan dari segi psikologis, dan aparat penegak hukum yang masih belum memiliki keberpihakan pada korban.

“Pertama karena ada intimidasi dari pelaku atau keluarga pelaku. Kedua, mereka enggak punya biaya karena ini kan harus wara-wiri ya, ke kepolisian, visum, nah itu kan harus ditanggung sendiri. Selain itu, masih ada aparat penegak hukum yang enggak memiliki keberpihakan pada korban,” ungkap Fuad kepada HerStory belum lama ini.

Sementara itu, kasus pengaduan korban kekerasan seksual di LBH Apik Jakarta juga meningkat drastis jika dibandingkan tahun 2020, yaitu sebanyak 1.178 kasus. Tercatat dari total pengaduan yang masuk, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan, yakni sebanyak 489 kasus, disusul kasus (KDRT) sebanyak 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus , kekerasan dalam pacaran 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus.

Menurut Pengacara LBH APIK Jakarta Tuani Sondang Rejeki Marpaung, S.H., ada beberapa alasan yang membuat korban kekerasan seksual akhirnya berani melaporkan kasusnya. Mulai dari banyaknya edukasi di masyarakat hingga banyak korban yang memiliki support system untuk menguatkan.

“Dengan maraknya lembaga jaringan atau komunitas yang consent di isu kekerasan seksual, mempromosikan atau mengedukasi lewat sosial media atau melakukan seminar dan diskusi yg membuat korban akhirnya merasa enggak sendiri, mereka memiliki orang-orang yang men-support mereka. Jadi, itulah yang membuat korban akhirnya berani speak up,” lanjutnya.

Namun, kedua lembaga layanan pengaduan kekerasan seksual tentu memiliki kekurangannya masing-masing. Yuk, simak penjelasannya berikut ini ya, Beauty!

Komnas Perempuan

Terkait dengan layanan pengaduan korban kekerasan seksual, Komisioner Komnas Perempuan Dr. Bahrul Fuad, MA, membeberkan cara untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang telah dialami korban. 

“Kalau layanan di Komnas Perempuan, ketika ada korban kekerasan terhadap perempuan atau orang yang melihat, menyaksikan terjadinya kekerasan terhadap perempuan, dia bisa langsung mengubungi Komnas Perempuan melalui aplikasi WhatsApp atau telepon dan juga e-mail pengaduan. Semua informasi itu ada di website Komnas Perempuan dan ada di Instagram, Twitter, dan Facebook Komnas Perempuan, itu ada nomor dan alamatnya,” beber Fuad.

Setelah itu, korban kekerasan seksual bisa langsung menghubungi pihak Komnas Perempuan melalui telepon atau media sosial yang disediakan. Setelah itu, tim dari Komnas Perempuan akan menganalisis kebutuhan korban, seperti kebutuhan pendampingan atau kebutuhan dari segi psikologis.

“Setelah laporan, tim kami akan memverifikasi. Lalu, kami akan menganalisa apakah itu kekerasan berbasis gender atau bukan. Kalau benar, kemudian kami akan menganalisa kebutuhannya, misalkan korban membutuhkan pendampingan langsung, kemudian kami mengirimkan surat rujukan untuk pengada layanan yang tepat untuk kemudian mendampingi korban,” jelasnya.

Jadi, Komnas Perempuan enggak bisa menangani kasus korban secara langsung. Tim Komnas Perempuan hanya akan menganalisa kebutuhan korban dan memberikan rujukan kepada pengada layanan yang tepat untuk memberikan pendampingan korban secara langsung.

LBH APIK

Sama halnya dengan Komnas Perempuan, LBH APIK juga dapat membantu menangani korban kekerasan seksual. Untuk pengaduannya, korban bisa langsung datang ke kantor LBH APIK atau melaporkan kasusnya lewat hotline yang tertera di website atau media sosial resmi. 

“Layanan LBH APIK Jakarta dapat diakses melalui dua layanan, offline dan online. Offline bisa datang langsung ke kantor LBH APIK Jakarta, tapi ketika korban enggak bisa mengakses secara langsung bisa melalui (layanan) online, bisa dari hotline ataupun e-mail maupun media sosial LBH APIK Jakarta,” ungkap Tuani. 

Berikut ini cara dan prosedur layanan LBH APIK. Simak baik-baik, ya!

  1. Dapat menghubungi hotline APIK di nomor 0813888226699 (via WA) atau e-mail pengaduan APIK di pengaduanLBHAPIK@gmail.com dengan menyertakan: nama lengkap, umur, alamat, usia, pekerjaan korban/penyintas, pelaku (nama, usia, alamat), hubungan dengan pelaku, dan kronologis kejadian.
  2. Saat melapor, korban/penyintas diminta untuk melampirkan KTP, BPJS/Surat Keterangan tidak Mampu (SKTM).
  3. Pengaduan yang masuk akan direspons oleh hotline dan akan diberikan informasi awal terkait persyaratan administrasi.
  4. Koordinator Pelayanan Hukum akan menunjuk Pengacara/Pendamping yang akan menindaklanjuti pengaduan tersebut melalui konsultasi atau pendampingan.
  5. Pendamping akan memberikan informasi hukum sesuai dengan Pengaduan korban. Keputusan tindak lanjut dan langkah Hukum, baik secara litigasi atau non litigasi, yang akan diambil selanjutnya, diserahkan kepada korban/penyintas.
  6. Selama proses, korban/penyintas enggak dikenakan biaya pada saat mengakses bantuan hukum.

Setelah laporan pengaduan korban masuk ke LBH APIK Jakarta, timnya akan mendengarkan kronologis kejadian, kemudian melakukan asesmen terkait dengan kebutuhan korban, seperti kebutuhan layanan psikologis, layanan rumah aman, hingga langkah hukum yang diperlukan korban.

“Ada korban yang ingin diutamakan pemulihan psikologisnya ataupun keamanan fisiknya. Jadi, untuk penanganan kasus itu kita asesmen dulu apa yang menjadi kebutuhan korban. Yang terpenting adalah bagaimana kepentingan terbaik korban itu dapat dipenuhi hak-hak korban,” jelas Tuani.

Namun, masih ada hambatan dan tantangan yang dialami oleh LBH APIK pada saat menangani kasus korban kekerasan seksual. Mulai dari hambatan di aparat penegak hukum, substansi hukum, kebijakan hukum, dan budaya masyarakat yang masih menyalahkan korban.

“Masih banyak aparat penegak hukum kita belum memiliki perspektif yang baik terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang di mana korban harus membuktikan bahwa dia adalah korban kekerasan. Ketika keterangan korban berbeda, dia disalahkan. Jadi, hal-hal seperti itu yang masih sering terjadi,” jelasnya.

Proses hukum pada korban kekerasan seksual juga sering kali menjadi hambatan. Pasalnya, kasus korban kekerasan seksual ini seolah-olah bukanlah prioritas dan akhirnya proses hukumnya berjalan sangat lama.

“Untuk penanganan kasus kekerasan seksual dari pengalaman LBK APIK itu bahkan bisa sampai dua tahun, tiga tahun, empat tahun, bahkan bisa juga berakhir dihentikan oleh penyidik,” pungkasnya.

Untuk budaya masyarakat yang masih menyalahkan korban juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak korban kekerasan seksual yang didorong untuk melakukan mediasi oleh aparat hukum atau keluarga terdekat yang menganggap kasus kekerasan seksual itu adalah aib.

“Banyak juga korban yang didorong oleh keluarga terdekat yang masih menganggap kasus kekerasan seksual itu merupakan aib, sehingga pelaku dan korban dinikahkan, atau memberikan ganti rugi supaya kasusnya ditutup. Banyak korban yang enggak mendapat dukungan, sehingga  korban enggak berdaya. Akhirnya, mengikuti keinginan dari keluarga untuk menjaga nama baik,” pungkasnya.

Kantor Polisi Terdekat

Enggak hanya membuat laporan di Komnas Perempuan atau LBH APIK saja, kamu juga bisa melaporkan kasus kekerasan seksual di kantor polisi terdekat. Mengutip dari berbagai sumber, berikut ini langkah melakukan pengaduan kekerasan seksual lewat layanan kantor polisi terdekat. Catat, ya!

  1. Kunjungi kantor polisi setempat, lalu datangi bagian SPKT atau Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu. Kita semua punya hak yang sama untuk membuat laporan pengaduan dan polisi harus menanggapi.
  2. Buat laporan terkait kasus kekerasan seksual sesuai dengan kronologisnya. Sebutkan pelaku, korban, lokasi, dan waktu kejadian serta hal yang berkaitan dengannya.
  3. Sertakan bukti yang kuat. Jika enggak ada saksi, maka korban bisa menjadi saksi.
  4. Setelah membuat laporan, pastikan untuk meminta surat bukti laporan dari penyidik dan kenali pihak yang bertanggung jawab terhadap penyidikan, sehingga kita bisa terus mengawasa proses penindaklanjutan laporan.

Nah, ketiga layanan pengaduan tersebut mencantumkan hotline di website atau media sosial resminya. Namun, apakah hotline atau pengaduan secara online tersebut benar-benar berguna bagi korban kekerasan seksual yang sedang membutuhkan layanan pengaduan?

Mengutip dari hasil penelitian The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), masih ada tantangan bagi korban yang enggak bisa mengakses layanan, yakni jarak layanan terlalu jauh dari korban. Topografi wilayah di Timur Indonesia juga menjadi kendala bagi korban untuk memperoleh akses dengan cepat. Hal yang bisa didorong adalah dengan penyediaan layanan penjangkauan korban yang tersedia 2x24 jam di setiap unit layanan.

Layanan pengaduan online enggak serta merta memberikan jawaban, tak terkecuali bagi korban disabilitas. Hotline yang tertera di website atau media sosial juga disebut enggak efektif apabila respons baru bisa diberikan pada hari  kerja saja.

Oleh karena itu, tantangan berikutnya adalah penyediaan informasi tentang pengaduan yang lebih mudah dijangkau oleh korban, misalnya menyediakan kontak darurat pendamping, perangkat desa, dan babinkamtibmas yang stand by (bersedia) merespons adanya aduan kekerasan seksual.

Terkait dengan aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif baik dengan korban kekerasan seksual, penelitian dari The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan bahwa kepolisian harus menyediakan Ruang Pelayanan Khusus. Dalam penerimaan pelaporan kasus kekerasan seksual, masih terdapat institusi penegak hukum yang abai dengan ruang konsultasi ataupun ruang tunggu yang privat bagi korban.

Selain itu, ada juga situasi di mana ruang pemeriksaan khusus itu tersedia, tapi enggak digunakan untuk melakukan pemeriksaan korban. Dalam situasi lainnya, terdapat petugas selain penyidik yang ikut hadir di ruangan dan ikut menginterogasi korban saat penyidik melakukan pemeriksaan.

Jadi, pihak Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Mahkamah Agung RI perlu membentuk dan memperbaharui regulasi di lingkungan masing-masing dengan menyesuaikan ketentuan dalam UU TPKS. Begitu juga terkait pedoman pemeriksaan saksi dan korban serta manajemen penanganan kasus perlu direvisi dengan mengintegrasikan UU TPKS ke dalamnya.

Selain mengetahui layanan pengaduan bagi korban kekerasan seksual, kamu juga harus tahu apa saja dampak psikologis jangka panjang yang bisa dirasakan oleh para korban. Yuk, simak informasinya berikut ini!

Dampak Psikologis Korban Kekerasan Seksual

Dampak yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual tentu enggak bisa diangggap sepele. Saat dampak psikologis ini terjadi pada korban, pola pikir korban perlahan-lahan akan berubah dan mempengaruhi berbagai hal.

Kepada HerStory, Psikolog Klinis di Aditi Psychological Center, Jakarta Selatan dan Yayasan Pulih, Jakarta Selatan, Karina Delicia mengungkapkan bahwa ada dampak jangka panjang yang bisa dirasakan oleh korban kekerasan seksual, tapi akan berbeda-beda pada setiap korban tergantung dari bagaimana pengalaman kekerasan seksual yang dialami.

“Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa korban yang mengalami kekerasan seksual, baik itu fisik maupun psikis mereka itu akan terganggu, baik dalam jangka waktu yang pendek atau jangka waktu yang panjang,” kata Karina.

Berikut ini beberapa dampak psikologis jangka panjang maupun jangka pendek yang bisa dirasakan para korban menurut Karina Delicia. Intip, yuk!

  • Syok
  • Muncul perasaan marah
  • Muncul perasaan cemas
  • Jadi pribadi yang sangat sensitif
  • Ada kecenderungan untuk mengisolasi diri
  • Ada kecenderungan untuk mengendalikan dirinya dari lingkungan agar tetap aman 
  • Merasakan halusinasi 
  • Muncul kondisi post-traumatic stress disorder (PTSD)  

“Itulah beberapa dampak psikologis yang bisa dialami oleh korban kekerasan seksual. Tapi, kembali lagi kalau dampaknya ini akan berbeda-beda pada setiap korban dan enggak bisa disamaratakan,” ujar Karina.

Selain itu, mengingat bahwa kekerasan seksual adalah pengalaman yang buruk, maka akan ada juga perubahan perilaku yang dialami oleh korban kekerasan seksual. Hal itu juga diungkapkan langsung oleh Karina Delicia.

“Kebayang ya, kekerasan seksual itu bukan hal yang kecil, itu hal yang besar dan tentunya akan berdampak bagi korban tersebut, salah satunya misalnya dia menjadi freeze, enggak tahu mau bicara apa, enggak tahu harus apa, enggak tahu harus berperilaku seperti apa, jadi nge-freeze aja gitu,” tutur Karina.

Selain itu, korban juga memiliki kesulitan untuk membuat suatu keputusan untuk dirinya sendiri. Misalnya, korban jadi menghindari pembicaraan yang berhubungan dengan hal-hal berbau seksualitas, suka menyalahkan diri sendiri, dan jadi lebih sensitif.

Artinya, perubahan perilaku itu pasti ada, tapi bagaimana perubahan itu akan berbeda-beda pada setiap korban yang mengalaminya. Meski begitu, orang-orang yang berada di dekat korban perlu lebih peduli dan berempati supaya korban enggak merasa sendiri.

“Bagi orang-orang yang ada di dekat para korban ini perlu lebih peduli dan empati terhadap korban, walaupun dia enggak menyampaikan kalau dia adalah korban kekerasan seksual. Jadi, kita sebagai orang-orang yang ada di dekatnya, silakan berikan kepedulian kepada mereka,” ujarnya.

Nah,itulah penjelasan terkait layanan pengaduan korban kekerasan seksual serta dampak-dampak psikologis yang bisa dialami oleh para korban. Semoga bermanfaat!