Menu

Manfaatkan Transportasi, Apakah Guna Ulang Aman untuk Iklim? Emisi Karbonnya Ternyata…

24 Februari 2023 07:24 WIB

Konferensi pers oleh Gerakan Diet Kantong Plastik dan Zero Waste Living Lab - Enviu (Noorma/HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, setahun terakhir Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) gencar mendorong gaya hidup guna ulang yang terkini. Mengingat banyak masyarakat yang mencari kemudahan, gerakan ini dilengkapi dengan inovasi modern di mana kamu bisa melakukan guna ulang tanpa mengubah banyak gaya hidup sebelumnya.

Hal ini dilakukan GIDKP bersama Zero Waste Living Lab (ZWLL) Enviu yang membina beberapa startup ramah lingkungan. Kerja sama ini akhirnya membuahkan solusi guna ulang, yaitu dengan cara refill dan return.

Refill merupakan metode guna ulang dimana kamu membawa sendiri wadah dan mengisi ulang produknya, Beauty. Dengan begitu, kamu berkontribusi untuk memotong jumlah produksi produk yang menghasilkan emisi karbon tinggi.

"Kita sebagai konsumen kita bawa sendiri kontainernya. Misal, bawa tumbler sendiri yang dari rumah," ungkap Tiza Mafira, selaku Director Executive Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, saat press conference, di Jakarta, Kamis (23/2/2023).

Selanjutnya, ada mode return yang mengembalikan kemasan kepada produsen untuk digunakan ulang setelah melalui proses pembersihan dan sanitasi.

Ada dua cara pengembalian, yaitu konsumen langsung mengantar kemasan dropbox (return on the way) atau menunggu kurir melakukan penjemputan pada waktu tertentu (return from home).

Namun, muncul pertanyaan baru di mana kedua metode ini mengandalkan moda transportasi dalam pelaksanaannya. Lalu, apakah emisi karbon yang tercipta dari siklus ini sama buruknya dengan produksi produk sekali pakai?

Tentu gak begitu, Beauty. Tiza menjelaskan bahwa gaya hidup guna ulang menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih sedikit dibandingkan produksi produk sekali pakai. 

Hal ini terjadi karena produk sekali pakai terbuat dari plastik yang mana rantai produksi dan penghancurannya sangat panjang. Proses ini akan menghasilkan emisi karbon yang tinggi.

“Ketika diteliti guna ulang dibandingkan produk single use ternyata emisi karbonnya jauh lebih sedikit daripada sekali pakai. Guna ulang itu pakai transportasi ya, kesannya banyak (emisi karbon). Ternyata produk sekali pakai lebih banyak karbon emisionnya,” terang Tiza.

“Sekali pakai tuh terbuat dari material plastik yang mana rantainya panjang, mulai dari disedot dari minyak bumi, dicetak, dan lainnya. Belum lagi pembuangannya bisa dibakar bisa teronggok aja di tpu, bahkan didaur ulang pun ada emisinya. Ini adalah proses industri yang cukup banyak emisinya,” lanjutnya.

Lebih lanjut ia memberikan perbandingan di mana sebuah kemasan guna ulang dapat memutus rantai produksi produk sekali pakai. Belum lagi, guna ulang memungkinkan penggunaan produk yang lama bahkan hingga bertahun-tahun, Beauty.

“Ketika guna ulang, satu kemasa ketika dipakai 10 kali aja udah memutus rantai di depan dan di ujung. Apalagi guna ulangnya rencananya gak 10 kali, karena barang seperti ini bisa digunakan lebih dari 10 kali,” ungkapnya.

Ia yakin bahwa guna ulang merupakan solusi yang gak sekadar untuk mengurangi sampah, tetapi menciptakan bumi yang lebih baik. Apalagi, kini gaya hidup masyarakat dunia semakin bergerak ke arah yang lebih ramah lingkungan.

“Ini adalah solusi, bukan hanya pengurangan sampah plastik, tapi juga solusi menghadapi krisis iklim, yaitu emisi. Kenapa sih kita perlu barang baru? Karena lifestyle kita udah gak kayak gitu, tren dunia menuju ke situ karena ada krisis iklim. Misal secondhand pakaian,” tandasnya.