Menu

Waduh... Siapa Sangka Jika Rambut Rontok Bisa Jadi Pemicu Serangan Jantung sampai Stroke, Jangan Main-main, Beauty!

08 Juni 2023 14:15 WIB

Ilustrasi wanita yang sedang melihat rambut rontok disisir.(Pinterest/Edited by HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, seringkali kondisi rambut yang rusak, kuku terlepas, hingga kulit pecah-pecah, kerap dianggap sebagai sesuatu yang lumrah terjadi.

Hal tersebut dianggap sepele, bahkan jarang yang mencoba untuk berkonsultasi ke dokter. Padalah, kondisi tersebut bisa menjadi indikasi serius tentang masalah kesehatan tubuh.

Seperti salah satu contoh kasus yang baru saja terungkap di Belanda. Di mana ditemukan adanya hubungan antara kondisi rambut dengan kemungkinan penyakit jantung yang disebabkan masalah hormon stres.

Menurut laporan Medicaldialy, hormon stres pada rambut dan kulit kepala dapat memprediksi kemungkinan seseorang menderita serangan jantung atau stroke.

Bahkan kemungkinannya meningkat hingga tiga kali lipat pada mereka yang berusia 57 tahun atau lebih muda.

Para peneliti menganalisis data dari tingkat hormon di rambut dan kulit kepala pada lebih dari enam ribu sampel rambut yang diperoleh dari pria dan wanita dewasa.

Sampel rambut itu dianalisis selama lima sampai tujuh tahun. Hasilnya, ditemukan setidaknya 133 kejadian penyakit kardiovaskular selama masa studi.

Individu dengan peningkatan kadar hormon kortisol dan kortison, berisiko dua kali lipat mengalami penyakit kardiovaskular.

Namun, bagi mereka yang berusia 57 tahun ke atas, tidak ada hubungan kuat yang diamati antara kortison rambut dan kadar kortisol dengan penyakit kardiovaskular.

Penulis studi dari Pusat Medis Universitas Erasmus di Rotterdam, Prof. Elisabeth van Rossum mengatakan, para peneliti berharap analisis rambut berfungsi sebagai tes untuk membantu dokter dalam mengidentifikasi individu yang berisiko tinggi penyakit kardiovaskular, untuk menghasilkan pendekatan pengobatan baru di masa depan.

"Harapan kami adalah bahwa analisis rambut pada akhirnya terbukti bermanfaat sebagai tes yang dapat membantu dokter menentukan individu mana yang mungkin berisiko tinggi terkena penyakit kardiovaskular. Kemudian, mungkin di masa depan penargetan efek hormon stres dalam tubuh bisa menjadi metode baru target pengobatan," jelas Prof. Elisabeth.

Artikel Pilihan