Menu

Tergolong Langka, Kenali Penyakit Kelainan Autoimun SPS

08 Juni 2023 21:00 WIB

Ilustrasi penyakit autoimun. (iStockphoto/portokalis)

HerStory, Jakarta —

Beauty, pernah mendengar Stiff Person Syndrome (SPS)? SPS merupakan kelainan neurologis autoimun yang tergolong langka dan memengaruhi kualitas hidup.

Ketika seseorang mengalami SPS, otot-otot tubuh menjadi kaku dan tegang, terutama pada area punggung, leher, dan tungkai.

Gangguan ini dianggap sebagai penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh salah mengenali dan menyerang sel-sel saraf di sumsum tulang belakang dan otak yang mengatur fungsi otot.

Dalam SPS, antibodi autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh.

GAD adalah enzim yang bertanggung jawab untuk produksi neurotransmitter gamma-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam penghambatan fungsi saraf.

Ketika antibodi menyerang sel-sel yang mengandung GAD, produksi GABA terganggu dan ini dapat menghasilkan kekakuan otot dan kejang yang khas dalam SPS. Tipe stiff person syndrome dan penanganannya SPS dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan manifestasi klinisnya.

Pertama yakni tipe klasik SPS, ditandai oleh kekakuan otot dan kejang yang melibatkan beberapa kelompok otot, terutama pada punggung, leher, dan tungkai.

Kekakuan tersebut bersifat simetris dan memburuk dengan rangsangan sensorik atau emosional. Pada tipe klasik, gejala sering berfluktuasi, dengan periode kekakuan yang membaik atau memburuk dari waktu ke waktu.

Kedua tipe variabel, melibatkan gejala yang serupa dengan tipe klasik tetapi dengan perbedaan dalam pola kekakuan otot. Pada tipe ini, kekakuan otot dapat terjadi secara episodik atau terbatas pada wilayah tubuh tertentu, seperti lengan atau tungkai saja.

Perubahan pola kekakuan otot ini dapat terjadi dari waktu ke waktu, bahkan pada periode yang sama individu dengan SPS tipe variabel dapat mengalami gejala yang berbeda.

Tipe yang terakhir adalah ensefalomielitis progresif dengan kekakuan dan mioklonus (PERM), merupakan jenis SPS yang lebih parah yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran, masalah gerakan mata, ataksia, dan disfungsi otonom. Jenis SPS ini umumnya butuh perawatan di rumah sakit karena adanya disfungsi otonom.

Dilansir dari laman Forbes, Irving Medical Center Universitas Columbia menyebut SPS memengaruhi sekitar kurang dari 5.000 orang di AS. Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa pria memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan SPS dibandingkan dengan wanita.

Selain itu, gejala SPS dapat muncul pada berbagai rentang usia tetapi puncak insidensinya sering terjadi pada usia 30 hingga 40 tahun. Pada usia tersebut ada kecenderungan untuk gejala SPS mulai timbul atau memburuk.

Untuk mendiagnosis SPS, dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan, termasuk tes darah untuk antibodi yang dapat dilakukan untuk mendeteksi keberadaan antibodi otoantibodi, seperti antibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD). Keberadaan antibodi GAD yang tinggi dapat menjadi petunjuk penting dalam mendiagnosis SPS.

Selanjutnya, elektromiografi (EMG) adalah tes yang digunakan untuk mengukur aktivitas listrik dalam otot. Pada SPS, EMG dapat menunjukkan aktivitas otot yang tidak normal atau meningkat, yang dapat membantu dalam mendiagnosis kondisi ini.

Selain itu, pada pemeriksaan pungsi lumbal (lumbal puncture), dokter menggunakan jarum untuk mengambil sampel cairan tulang belakang (cairan serebrospinal) dari ruang sekitar sumsum tulang belakang.

Cairan tersebut kemudian diperiksa untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap GAD atau tanda-tanda peradangan atau infeksi lainnya.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada obat untuk SPS. Adapun perawatan hanya untuk membantu mengelola gejala dan mencegah kondisi menjadi lebih buruk.

Namun, biasanya dokter akan mencoba mengesampingkan penyebab lain yang mungkin menyebabkan gejala serupa sebelum membuat diagnosis akhir.

Share Artikel:

Oleh: Nailul Iffah