Menu

Penelitian: Pernikahan Usia Dini di Bawah 18 Tahun Berdampak pada Kesejahteraan Mental Wanita, Kok Bisa?

23 Juni 2023 10:20 WIB

Ilustrasi pernikahan dini (Geotimes.id/Edited by HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, isu pernikahan dini di Indonesia sudah mecapai tingkat mengkhawatirkan. Pasalnya, menurut data UNICEF per akhir tahun 2023, Indonesia ada di peringkat ke-8 dunia dan ke-2 ASEAN dengan total hampir 1,5 juta kasus.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini di sepanjang 2022, atau hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya.

Hingga tahun 2022, perempuan dibawah usia 16 tahun menjadi yang paling banyak terdampak dari kasus ini, yaitu sebanyak 14,15%. Prevalensi tersebut meningkat secara signifikan selama pandemi Covid-19 didorong oleh faktor lainnya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Danusha Jayawardana, Research Fellow Monash University, mengungkap bahwa praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan. 

Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30% di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi. 

Lebih lanjut, studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental. 

“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia,” kata Danusha Jayawardana.

Gak hanya itu, studi ini juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan. 

Apalagi, ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan. 

“Pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri," ungkap Danusha Jayawardana.

Nah, dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini

Artikel Pilihan