Menu

Jumlah Pasiennya Terus Meningkat, Ternyata Fasilitas dan Tenaga Medis untuk Aritmia di Indonesia Masih Kurang!

05 September 2023 14:35 WIB

Peringatan 1 dekade pelayanan aritmia, InaHRS/PERITMI mengadakan pertemuan ilmiah yaitu The 10th Annual Scientific Meeting (ASM) InaHRS 2023 (Iffah/HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, dalam rangka memperingati 1 dekade Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) / Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI) mengadakan pertemuan ilmiah yaitu The 10th Annual Scientific Meeting (ASM) InaHRS 2023.

Kegiatan tersebut bertujuan sebagai wadah untuk berbagi perbaruan ilmu diagnosis dan tatalaksana gangguan irama jantung antar tenaga kesehatan dalam negeri maupun luar negeri untuk meningkatkan pengetahuan dan kualitas pelayanan bagi pasien aritmia.

Aritmia atau gangguan irama jantung dapat berupa denyut jantung yang terlalu cepat, terlalu lambat, atau  denyut jantung yang tidak teratur. Kelainan ini dapat bergejala ringan, seperti berdebar, pusing, kliyengan, tetapi juga dapat berakibat fatal, yaitu terjadinya stroke, gagal jantung maupun pingsan.

Dan yang paling fatal dari gangguan irama jantung ini adalah kematian jantung mendadak (KJM). Jumlah pasien aritmia di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu, sampai saat ini penanganan pasien aritmia tercatat sebagai salah satu tantangan besar dalam bidang kesehatan di Indonesia.

Dr dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP (K),FIHA, FAsCC Dewan Penasehat InaHRS/PERITMI mengatakan, “Berdasarkan data 2023, prevalensi aritmia secara umum diperkirakan sekitar 1,5% sampai 5% pada populasi global. Aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrium (FA), dengan prevalensi global mencapai 46,3 juta kasus."

Diperkirakan pada 2050, prevalensi FA akan terus meningkat hingga mencapai 6-16 juta kasus di Amerika Serikat, 14 juta kasus di Eropa, dan 72 juta kasus di Asia (di Indonesia diperkirakan mencapai 3 juta). 1 Individu dengan FA mempunyai risiko 5x lebih tinggi untuk terjadinya stroke dibanding individu tanpa FA.

“Orang dengan aritmia biasanya menunjukan gejala seperti jantung berdetak cepat dari normal (takikardia), Jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia), pusing, pingsan, cepat lelah, sesak napas, dan nyeri dada. Kadang gejala aritmia tidak dirasakan dan tidak didapatkan pada beberapa orang, sehingga sering tidak disadari oleh penderitanya," ungkap dr Dicky saat media brief beberapa waktu lalu.

Gejala-gejala aritmia dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan, seperti stroke, gagal jantung dan kematian mendadak. Meskipun aritmia bisa terjadi pada siapa saja, munculnya sering sporadis dan pada sebagian kecil pasien karena bawaan, tetapi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan seseorang untuk terkena penyakit aritmia.

"Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita aritmia, yaitu faktor usia, penyakit jantung koroner, penggunaan narkoba atau zat-zat tertentu, konsumsi alkohol berlebihan, mengonsumsi obat-obat tertentu, merokok dan mengonsumsi kafein berlebihan,” jelas dr Dicky.

Penanganan aritmia dapat dilakukan dengan tindakan kateter ablasi yaitu tindakan untuk detak jantung yang tidak teratur dan terlalu cepat dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah ke jantung.

"Tingkat keberhasilan tindakan ini semakin tinggi, tindakan ablasi sudah menjadi pilihan pertama. Obat-obatan hanya dapat meredam kemunculan aritmia tetapi tidak menyembuhkannya," tambah dr Dicky.

Penanganan aritmia juga dapat dilakukan dengan pemasangan alat Implantable Cadioverter Defibrillator (ICD) untuk mencegah kematian jantung mendadak. Fungsi ICD pada dasarnya untuk mengembalikan fungsi jantung dengan cara memberikan kejut listrik ketika terjadi gangguan irama jantung.

"ICD adalah sebuah alat berukuran kecil yang ditanam di dalam dada untuk mengembalikan irama jantung yang tidak normal. Perangkat ICD mempunyai baterai yang dapat bertahan hingga 8 tahun, bergantung pada frekuensi kerja alat tersebut," lanjut dr Dicky.

Di kesempatan yang sama dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP (K), PhD, Ketua InaHRS/PERITMI, menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan aritmia di Indonesia, yaitu jumlah dokter spesialis di bidang ini masih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan.

"Hanya ada 46 dokter spesialis Jantung dan Pembuluh Darah ahli aritmia di Indonesia sampai tahun 2023. Dan yang paling meresahkan adalah akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit aritmia yang masih sangat buruk," ungkap dr Sunu.

"Salah satu contoh adalah dalam pencegahan kematian jantung mendadak (KJM). Jumlah kematian jantung mendadak di Indonesia diperkirakan >100.000 per tahun. Namun, tindakan pencegahan KJM dengan sebuah alat yang disebut Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD) masih di bawah angka <100>aritmia lainnya, misalnya ablasi Fibrilasi Atrium,” tambah dr Sunu.

"Organisasi profesi Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) / Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI) menemukan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab fenomena yang meresahkan ini adalah adanya kesenjangan yang besar antara coverage Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan biaya tindakan-tindakan medis yang harus dilakukan oleh dokter ahli aritmia dalam praktik," lanjut dr Sunu.

Berdasarkan data tahun 2021 hanya ada 84 tindakan Ablasi FA yang dilakukan di Indonesia. Dibandingkan negara tetangga, Malaysia, yang berhasil melakukan tindakan Ablasi FA sebanyak 191 tindakan di tahun 2020.

Sedangkan Singapura, berhasil melakukan tindakan Ablasi FA sebanyak 143 tindakan di tahun yang sama. Dari tahun ke tahun, angka ini belum menunjukan perubahan signifikan, walaupun jumlah ahli aritmia sudah bertambah. Begitu juga untuk tindakan ICD di tahun 2021 ada 66 tindakan.

Hal ini menunjukan masih minimnya akses yang diperoleh pasien-pasien aritmia di tanah air untuk mendapat pelayanan yang standar untuk penyakitnya. Padahal, kedua tindakan tersebut jelas akan meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia pasien (misal ICD dapat mengurangi risiko KJM >40%).

"Sebagai organisasi profesi yang ikut bertanggung jawab dalam menangani kesehatan masyarakat Indonesia, InaHRS terus berupaya untuk meningkatkan perannya. Baik dalam pencegahan penyakit (misal kampanye fibrilasi atrium yang diselenggarakan tiap tahun, edukasi melalui berbagai media), maupun dalam tatalaksana penyakit aritmia," ujar dr Sunu.

"Namun, InaHRS juga mengusulkan kepada pemerintah dan para stake holder kesehatan di Indonesia, untuk lebih hadir dalam masalah ini, misalnya dengan meningkatkan pertanggungan Jaminan Kesehatan Nasional yang saat ini ada, sehingga masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan (aritmia) sesuai dengan standar yang berlaku di dunia," tutup dr Sunu.

Share Artikel:

Oleh: Nailul Iffah