dr. Ignatius Yansen Ng, Sp.JP (K) FIHA (Spesialis Jantung & Pembuluh Darah, Konsultan Aritmia Eka Hospital BSD) (Herstory)
Beauty, mungkin kita sudah tak asing dengan penyakit jantung, seperti serangan jantung dan jantung koroner yang bisa menyebabkan kematian. Namun, tak hanya jantung koroner, aritmia juga berbahaya lho!
Dijelaskan oleh dr. Ignatius Yansen Ng, Sp.JP (K) FIHA (Spesialis Jantung & Pembuluh Darah, Konsultan Aritmia Eka Hospital BSD), aritmia atau gangguan irama jantung dapat berupa denyut jantung yang terlalu cepat, terlalu lambat, atau denyut jantung yang tak teratur.
Kelainan ini dapat bergejala ringan, seperti berdebar, pusing, kliyengan, tetapi juga dapat berakibat fatal, yaitu terjadinya stroke, gagal jantung maupun pingsan.
"Henti jantung ini berbeda dengan serangan jantung. Henti jantung itu ada gangguan dilistrik jantung, jantung gak bisa bekerja dengan baik, pasiennya bisa pingsan, kejang," papar dr Yansen.
Dan yang paling fatal dari gangguan irama jantung ini adalah kematian jantung mendadak (KJM). "Contoh yang paling ekstrem ya itu, pebulutangkis asal China yang meninggal di Jogja pas turnamen karena aritmia atau henti jantung," lanjut dr Yansen.
"Otak kita cuma punya waktu 6 menit untuk merespon. Kalau lebih dari 6 menit otak tidak mendapatkan oksigen, maka otak akan mati. Kalau pun kita berhasil pompa jantung, itu otaknya sudah rusak tapi organnya masih hidup, jadi kita sebut sebagai mati batang otak," sambung dr Yansen.
Jumlah pasien aritmia di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu, sampai saat ini penanganan pasien aritmia tercatat sebagai salah satu tantangan besar dalam bidang kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan data 2023, prevalensi aritmia secara umum diperkirakan sekitar 1,5% sampai 5% pada populasi global. Aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrium (FA), dengan prevalensi global mencapai 46,3 juta kasus.
Diperkirakan pada 2050, prevalensi FA akan terus meningkat hingga mencapai 6-16 juta kasus di Amerika Serikat, 14 juta kasus di Eropa, dan 72 juta kasus di Asia (di Indonesia diperkirakan mencapai 3 juta). 1 Individu dengan FA mempunyai risiko 5x lebih tinggi untuk terjadinya stroke dibanding individu tanpa FA.
Orang dengan aritmia biasanya menunjukan gejala seperti jantung berdetak cepat dari normal (takikardia), Jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia), pusing, pingsan, cepat lelah, sesak napas, dan nyeri dada.Seringkali pasien aritmia tidak merasakan gejala, sehingga tak disadari.
Gejala-gejala aritmia dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan, seperti stroke, gagal jantung dan kematian mendadak.
Meskipun aritmia bisa terjadi pada siapa saja, munculnya sering sporadis dan pada sebagian kecil pasien karena bawaan, tapi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan seseorang untuk terkena penyakit aritmia.
Penanganan aritmia dapat dilakukan dengan pemasangan alat pacu jantung (pacemaker). Selain itu juga bisa dengan memasang Implantable Cadioverter Defibrillator (ICD) untuk mencegah kematian jantung mendadak.
Fungsi ICD pada dasarnya untuk mengembalikan fungsi jantung dengan cara memberikan kejut listrik ketika terjadi gangguan irama jantung.
ICD adalah sebuah alat berukuran kecil yang ditanam di dalam dada untuk mengembalikan irama jantung yang tidak normal. Perangkat ICD mempunyai baterai yang dapat bertahan 8 hingga 12 tahun, tergantung pada frekuensi kerja alat tersebut.
Jika Beauty pernah mengalami detak jantung atau irama jantung yang tak beraturan, sebaiknya segera konsultasi pada dokter ahli. "Lebih baik periksanya pas muncul gejala aritmia, misalnya saat olahraga atau di malam hari biar lebih ketahuan," tutup dr Yansen