Menu

Gustika Jusuf Hatta Bongkar Habis soal Pemberdayaan Perempuan hingga Kesetaraan Gender, Yuk Simak!

14 Agustus 2021 21:45 WIB

Gustika Jusuf Hatta. (Instagram @gustikajusuf/Edited By HerStory)

HerStory, Bogor —

Saat ini, istilah pemberdayaan perempuan (women empowerment) menjadi sangat penting di era modern ini. Peneliti dari lembaga Imparsial, Gustika Jusuf-Hatta, pun menilai, perempuan Indonesia saat ini belum bisa dikatakan berdaya seluruhnya.

“Jika ditanya apakah di HUT RI ke-76 ini perempuan Indonesia sudah berdaya,  jawabannya bisa bermacam-macam.Karena ada sebagian perempuan yang sudah berdaya, tapi ternyata ada sebagian perempuan lainnya justru sulit mendapat akses tersebut. Jadi menurut saya, kalau perempuan Indonesia sudah berdaya seluruhnya, mungkin kasarnya gini, ‘lalu buat apa ada Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA)?’, gitu,” kata Gustika, saat menjadi narasumber dalam webinar yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bertajuk “76 TAHUN MERDEKA, PEREMPUAN INDONESIA SUDAH BERDAYA?”, Sabtu (14/8/2021).

Dikatakan Gustika, perempuan berdaya adalah mereka yang bisa mengakses hak-hak mereka dan bisa membuat pilihan, bahkan memilih untuk berkiprah di rumah. Namun nyatanya, hingga saat ini ada sebuah miskonsepsi yang menyebut bahwa perempuan di rumah itu tidak berdaya, padahal perempuan harus bisa memberdayakan perempuan lain dimana pun dia berada.

Lebih lanjut Gustika juga mengatakan, untuk mewujudkan perempuan berdaya di berbagai bidang, bukanlah hal mudah.

“Dulu perempuan Indonesia sebenarnya sudah bisa berdaya, tapi saat ini stagnan di situ-situ aja, padahal banyak gerakan perempuan, misalnya yang selalu dirayakan tiap tanggal 22 Desember, tapi mungkin sekarang diganti jadi hari Ibu. Padahal itu tanggal kongres perempuan pertama di Indonesia yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan. Itu harusnya patut dirayakan,” paparnya.

Gustika lalu mengatakan, saat ini di Indonesia sendiri kebijakan-kebijakan yang pro perempuan itu masih sangatlah kurang.

“Kalau ditanya ada gak kebijakan untuk perempuan, masih kurang ya, masih kurang perspektif gender. Jadi kayak ada contoh mengenai ada orang yang masih mencari ruangan RS Covid-19 bagi Ibu menyusui, bagi ibu hamil, itu sangat-sangat sulit, Itu menunjukkan kurangnya perspektif gender, perspektif perempuan, dalam kebijakan-kebijakan yang ada. Dan itu salah satu yang mungkin jadi PR kita banget dibahas. Karena masalah perempuan itu seringkali ada miskonsepsi bahwa feminisme artinya ingin menginjak laki-laki. Namun, kenyataan bukan seperti itu,” jelas Gustika.

Menurut Gustika, di atas kertas istilahnya, perempuan Indonesia itu memang terlihat setara. Tapi implementasi di lapangannya itu berbeda.

“Misalnya aja gini, masuk militer atau kepolisian itu syarat tes keperawanan aja masih aja dilakukan. Kalau misalnya ini dibilang budaya, kan bukan juga. Jadi menurut saya, jika perempuan masih dinilai dari moralitas, apakah perempuan bisa dibilang sudah sepenuhnya berdaya? atau memang secara individu kita berdaya, tapi negara yang membuat kita tidak berdaya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Gustika  mengatakan bahwa organisasi UNESCO sendiri pernah memaparkan bahwa ¾ jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan. Dan memang perempuan sangat rentan untuk dilecehkan secara seksual, secara daring, seperti di media sosial misalnya..

“Saya juga pernah, ada orang yang gak suka sama saya, diancam mau diperkosa, pokoknya diobjektifikasi sedemikian rupa, dan itu kerap terjadi ternyata terhadap jurnalis perempuan. Makanya, saya pasti tahu banyak yang mengatakan di sekitar kita ‘ah perempuan sekarang sudah bisa jadi jurnalis, berarti kesetaraan sudah ada’. Namun nyatanya, akses kesananya juga masih sangat-sangat terbatas dan perlindungannya belum ada,” terang Gustika.

Lalu, jika kita memaknai merdeka itu dengan istilah bebas bergerak, apakah perempuan itu bebas bergerak dalam melakukan pekerjaannya? Terkait hal itu, Gustika menjawabnya, tidak.

“Kalau dulu perempuan Indonesia mungkin dijajah oleh penjajah, bedanya sekarang mungkin perempuan Indonesia dijajah oleh korporasi jahat. Dulu kan pernah ada kasus yang sampai ada buruh yang keguguran kan karena dipaksa kerja. Jadi mungkin sesuatu yang sifatnya acsessible buat saya, dan itu bentuk pemberdayaan, belum tentu itu bisa acsessible ke perempuan pekerja atau buruh yang ekonominya menengah ke bawah,” terang Gustika.

“Contoh lainnya mungkin kita semua tahu juga bahwa Ibu Kartini memperjuangkan soal pendidikan untuk perempuan, Tapi apakah hak-hak itu acsessible ke semua perempuan? Karena ketika membicarakan perempuan berdaya, kita tidak bisa membicarakan apa yang ‘hitam di atas putih’, tapi juga harus membicarakan faktor sosialnya, karena masih banyak sekali yang merasa perempuan tidak harus sekolah tinggi-tinggi, baiknya di rumah saja, dll. Jika itu dilakukan perempuan secara sadar ya tidak masalah, tapi kalau dipaksa itu tentunya keberdayaan mereka berkurang,” sambung Gustika.

Lebh jauh, Gustika pun berharap akses, dalam arti peran perempuan itu harus merata, harus meaningfull, harus betul-betul dikaji kemampuannya.

“Akses harus pro ke semuanya, jangan ke yang ekonomi menengah ke atas saja atau yang memiliki koneksi orang dalam saja,” ujarnya.

Gustika pun menilai, pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan yang sulit, karena perempuan yang adalah gender yang rentan terhadap ancaman. Ia pun menilai, di Indonesia sendiri belum ada jaminan terhadap perempuan yang menjalankan pekerjaan yang sulit ini.

“Kadangkala ketika kita melaporkan bahwa kita mengalami kesulitan saat bekerja, eh malah dijawab ‘ya kamu kan perempuan, kalau sulit, kenapa mau melakukan itu,”. Jadi gak ada jaminan itu saya rasa,” terangnya.

“Saya melihat, sekarang itu perempuan masih dinilai sebagai objek, jadinya di situlah kita gak masuk, dan kita betul-betul banyak banget PR-nya, harus punya aliansi, harus berani, dan harus bisa mematahkan miskonsepsi bahwa feminism atau pemberdayaan perempuan adalah gerakan yang ingin menginjak laki-laki, karena itu gak sama sekali. Justru ketika perempuan berdaya, satu bangsa itu akan beruntung, kita harus bisa mengedepankan ide tersebut, daripada ide laki-laki vs perempuan,” tuntas Gustika.