Menu

Urusan Perbankan Jadi Lebih Efisien! OJK Luncurkan Beleid Baru terkait Bank Digital

23 Agustus 2021 17:30 WIB

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, saat media briefing sosialisasi POJK, secara virtual di Jakarta, Senin (23/8/2021). (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) tentang bank umum, termasuk di dalamnya bank digital, serta tentang penyelenggaraan produk bank umum.

Adapun, beleid baru tersebut diantaranya POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, POJK No. 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, dan POJK No. 14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No. 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, menuturkan, ketiga POJK ini merupakan upaya mendorong industri perbankan agar lebih efisien, berdaya saing, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat di era digital saat ini.

Tak hanya itu, lanjut dia, ketiga POJK tersebut diterbitkan untuk menyesuaikan kebutuhan seiring kondisi dinamika global, perubahan landscape, dan ekosistem perbankan.

“Dan perlu ditegaskan bahwa penerbitan 3 POJK ini sama sekali tidak memberikan beban baru bagi perbankan RI,” tegas Heru, dalam media briefing sosialisasi POJK, secara virtual di Jakarta, Senin (23/8/2021).

Heru pun menegaskan bahwa dengan adanya beleid baru ini, maka tidak ada bank yang naik kelas atau turun kelas.

“Tidak ada bank yang nanti, oh bank ini naik kelas, oh bank itu turun kelas, gak ada itu. Jadi saya ingin jelaskan supaya tidak salah memahami,” sambungnya.

Lebih jauh, kata Heru, alasan lain OJK menerbitkan 3 POJK tersebut karena melihat ekosistem perbankan terus berubah dan dipercepat karena adanya pandemi Covid-19.

“Tak bisa dipungkiri, pandemi ini membuat keinginan masyarakat terhadap layanan bank juga berubah. Mereka itu sekarang kan ingin mendapatkan layanan bank ini dengan tidak lagi datang ke ATM atau ke banknya langsung. Kalau bank tidak mempunyai layanan-layanan yang cepat secara digital, pasti cepat atau lambat nasabah akan pergi ke bank yang memiliki layanan seperti itu,” paparnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, diperlukan landasan untuk mempersiapkan industri perbankan Indonesia yang cepat, adaptif dan agile dalam menghadapi perubahan yang cepat dan berbagai tantangan ke depannya.

“Nah, ini yang menjadi landasan kita untuk menyiapkan industri kita berubah secara cepat, adaptif dan agile untuk menghadapi berbagai tantangan kita yang tiap hari berubah dengan cepat,” tandasnya.

Untuk diketahui, dalam aturan OJK tersebut dijelaskan bahwa definisi bank digital adalah bank BHI (bank berbadan hukum Indonesia) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain KP (kantor pusat) atau menggunakan kantor fisik terbatas.

Rincinya, OJK membolehkan bank digital beroperasi hanya 1 kantor fisik sebagai kantor pusat. Berikutnya, bank digital boleh beroperasi tanpa kantor fisik atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.

Sebagai pembeda dengan bank umum, OJK menetapkan enam persyaratan bagi bank agar dapat disebut sebagai bank digital.

Pertama, memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah.Kedua, memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang prudent dan berkesinambungan.

Ketiga, memiliki manajemen risiko secara memadai. Keempat, memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.

Lalu, syarat kelima dan keenam adalah menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah dan memberikan upaya yang kontributif terhadap perkembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.

Heru juga mengatakan, peraturan lama pendirian bank baru modal minimalnya Rp 3 triliun. Tapi OJK menilai, saat ini peraturan tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi industri perbankan saat ini. Di tengah era digitalisasi, modal inti bank baru harus besar karena sesuai dengan perkembangan industri yang semakin pesat.

"Layanan digital kan juga membutuhkan modal yang cukup kuat, termasuk pendirian bank baru yang sesuai dengan sisi permodalannya," kata Heru.

Dalam catatan OJK sendiri, sedikitnya ada 7 bank dalam proses go-digital yakni Bank BCA Digital, BRI Agroniaga, Bank Neo Commerce, Bank Capital, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, dan KEB HanaBank. 

Selain itu, ada 5 yang mengaku sudah menjadi bank digital, di antaranya Bank Jago, Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank Bukopin, Digibank dari Bank DBS, dan TMRW dari Bank UOB.