Menu

Mengenal Penyakit Vaginismus: Kegagalan Penetrasi pada Wanita, Sering Dianggap karena Kurang Rileks

08 Oktober 2021 14:00 WIB

Ilustrasi kegagalan penetrasi seksual karena penyakit vaginismus. (Freepik/edited by HerStory)

HerStory, Jakarta —

Ketika sudah menikah, bercinta jadi salah satu hal yang bisa mempererat hubungan antara suami dan istri. Bukan hanya untuk melampiaskan hasrat seksual, tetapi bercinta juga bisa membuat tubuh melepaskan hormon penyebab stres.

Namun, sayangnya ada kondisi penetrasi vagina gagal terjadi (penis tidak bisa masuk ke vagina). Kondisi tersebut dikenal juga dengan nama vaginismus.

Vaginismus merupakan salah satu masalah kesehatan wanita yang menyebabkan penderitanya gagal untuk penetrasi, baik secara seksual ataupun untuk keperluan medis. Tapi, sayangnya masih banyak wanita yang belum sadar akan kondisi ini. Padahal jika tak ditangani dengan serius, kondisi ini bisa membuat penderita (dan pasangannya) merasa frustrasi.

“Vaginismus itu penyakit. Vaginismus itu sebuah situasi pada mana seorang perempuan ketika aktivitas seksual, yang terbanyak adalah penis tidak bisa masuk ke vagina. Sekitar hampir 90% wanita mengalami kegagalan penetrasi. Kemudian sisanya yang terbanyak adalah penetrasi selalu nyeri, baik itu penetrasi seksual ataupun penetrasi untuk pemeriksaan medis,” ujar dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, praktisi medis vaginismus komprehensif pertama di Indonesia saat instagram Live bersama HerStory beberapa waktu lalu.

"Asumsi keliru bahwa penyebab vaginismus adalah kurang rileks menyebabkan penderita vaginismus malah disalahkan, dihakimi, dipaksa bersalah, dianggap bersalah, disudutkan, dicemooh, bahkan boleh dipaksa dalam pemeriksaan medis. Mereka malah mengalami perundungan alih alih diberikan solusi yang menyembuhkan," sambung dr. Robbi.

Selanjutnya, dr. Robbi pun memaparkan penyakit vaginismus masuk ke dalam klasifikasi penyakit WHO yang disebut dengan ICD atau International Classification of Diseases.

“Penyakit vaginismus ini ada kodenya yaitu N94.2. Jadi vaginismus ini merupakan penyakit dan termasuk kedalam klasifikasi penyakit organ bukan penyakit pikiran,” tutur dr. Robbi.

“Organ yang terkena adalah vagina, dengan definisi kekakuan otot dinding-dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh penderitanya sehingga menyebabkan masalah dengan penetrasi. Nah, masalah penetrasi ini secara umum terbagi dua bagian besar yaitu gagal penetrasi ataupun nyeri penetrasi,” lanjut dr. Robbi.

Secara klasifikasi gangguan seksual vaginismus tak lagi tercantum pada klasifikasi disfungsi seksual wanita.. Dr. Robbi juga mengatakan bahwa masalah penetrasi pada penderita vaginismus itu bukan hanya untuk aktivitas seks saja, tetapi juga untuk aspek kesehatan pribadi yang bersangkutan, yaitu untuk pemeriksaan-pemeriksaan medis yang melalui vagina.

“Jadi vaginismus bukan hanya bermasalah pada saat melakukan aktivitas seks, bahkan sebagian kecil penderita vaginismus itu diketahui bukan dari aktivitas seks, melainkan ketika penderitanya tidak bisa menggunakan tampon atau menstrual cup, melakukan pap smear atau pemeriksaan dalam dengan cocor bebek. Sehingga fokus dari penyakit ini yang terbesar justru bukan aspek seksual,” kata dr. Robbi.

Penyebab vaginismus belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Itu berarti bahwa penyakit vaginismus masuk ke dalam kategori idiopatik atau tidak bisa diketahui penyebabnya.

“Kalau memang penyebab itu tidak diketahui maka kita pun tidak bisa mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang hingga saat ini ya bukti ilmiah nya belum cukup. Kita tidak bisa menduga seseorang itu mengalami vaginismus sampai yang bersangkutan mengalami kendala ataupun kegagalan penetrasi,” tutur dr. Robbi.

“Sebetulnya yang mengonfirmasi diagnosis vaginismus itu adalah penderitanya sendiri. Jadi ketika sudah mengalami masalah dengan penetrasi yang terbanyak ya orang yang sudah aktif secara seksual. Atau bisa juga ketika mau menggunakan tampon atau menstrual cup, hal itu tidak bisa terjadi, maka diduga kuat yang bersangkutan mengalami vaginismus,” lanjut dr. Robbi.

Lulusan dari Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi FK Unpad-RSHS Bandung itu juga menuturkan bila seseorang mengalami masalah dengan penetrasi, hampir mustahil itu salah. Walaupun juga harus cari kemungkinan selain vaginismus. Pasalnya masih banyak wanita yang mengaku penetrasinya normal padahal sebetulnya merasa kesakitan saat penetrasi.

“Cukup banyak juga orang yang sudah bertahun-tahun tak bisa mengalami penetrasi dan hingga detik ini dia masih merasa bahwa dia tidak vaginismus. Jadi memang awal dari vaginismus itu adalah dirinya sendiri yang mengetahui,” terang dr. Robbi.

“Bagi orang-orang yang menganggap rasa sakit pada perempuan itu wajar ya saya rasa pernyataan itu sangat jauh dari perikemanusiaan. Saya rasa tidak ada satupun orang ataupun pihak yang dibolehkan merasakan sakit yang apalagi dalam hal vaginismus yang terbanyak justru bukan sakit, melainkan gagal penetrasi,” sambung dr. Robbi.

Tapi jangan khawatir, dr. Robbi menjelaskan bahwa penyakit vaginismus bisa disembuhkan. Pasalnya sudah cukup banyak bukti ilmiah mencantumkan bahwa ada sebuah kegiatan yang bisa dilakukan agar vaginismus sembuh.

“Jadi kalau orang bertanya ‘dok ada obat nggak untuk vaginismus?’ ya kalau obat minum tidak ada karena tidak pernah ada secara uji klinisnya bahwa obat a b c d bisa menyembuhkan vagisnismus. Namun bukti ilmiah menunjukkan bahwa yang bisa menyembuhkan vaginismus adalah proses dilatasi,” ungkap dr. Robbi.

Dilatasi merupakan sebuah proses di mana kekakuan pada otot vagina bisa ‘dihilangkan’ dengan meregangkan otot vagina menggunakan alat bantu dilator. Namun, dengan fakta bahwa vaginismus ini ada derajat keparahannya, jadi tidak semua orang bisa begitu saja melakukan dilatasi secara mandiri.

“Mengingat tak semua wanita bisa dilatasi mandiri, medis pun memiliki solusi yang biasa disebut prosedur dilatasi berbantu. Ini adalah sebuah prosedur medis yang kami lakukan sehari-hari dan prosedur ini didasarkan atas beberapa fakta ilmiah yang sangat jelas sangat valid,” jelas dr. Robbi.

“Yang kami kerjakan sehari-hari adalah prosedur dilatasi berbantu, dengan bukti ilmiah menunjukkan keberhasilan dilatasi mandiri yang benar dan manusiawi mencapai 99,9% waktu kurang dari 3 jam pasca prosedur dilakukan, pada berapapun derajat keparahan vaginismusnya. Jadi kita (ahli medis) harus memastikan strategi penyembuhan vaginismus itu benar, yaitu mewujudkan dilatasi yang benar, karena tidak semua penderita vaginismus bisa melakukan dilatasi mandiri begitu saja,” lanjut dr. Robbi.

dr. Robbi pun menekankan bahwa vaginismus memang bukan penyakit yang membahayakan nyawa, seorang wanita tak akan mati karena vaginismus, tetapi setiap waktu yang terbuang pada saat penderita mengalami kegagalan penetrasi, ada waktu yang terbuang dalam kesengsaraan.

“Data ilmiah terakhir membuktikan bahwa ternyata bukan faktor psikis yang menyebabkan vaginismus, justru terbalik, karena orang ini vaginismus dia jadi mengalami keburukan-keburukan penetrasi, sehingga kerusakan psikis muncul dan menjadi semakin memburuk,” ucap dr. Robbi.

“Gagal penetrasi/nyeri penetrasi itu seringkali dianggap fiksi, dianggap tak nyata padahal ini terjadi pada banyak orang, pada banyak perempuan. Gagal penetrasi itu nyata. Nyeri penetrasi itu nyata,” tutupnya.

Share Artikel:

Oleh: Nada Saffana

Artikel Pilihan