Menu

Hamil dengan Preeklasmsia, Seberapa Bahaya? Cek Bocoran Dokter soal Pencegahan dan Penanganannya Moms!

12 Oktober 2021 18:30 WIB

Ibu hamil sedang memeriksakan tekanan darahnya. (Pinterest/Freepik)

HerStory, Bogor —

Dokter Spesialis Kandungan dari RSIA Bunda Jakarta, dr. Aditya Kusuma, SpOG., menuturkan bahwa preeklamsia merupakan keadaan yang hanya didapat selama kehamilan (setelah kehamilan usia 20 minggu) sampai dengan 6 minggu pasca-persalinan. Preeklamsia dapat memiliki dampak buruk untuk jangka pendek dan panjang terhadap si ib dan juga janin yang dikandungnya.

Terkait pencegahan penyakit ini, dr. Aditya mengatakan bahwa tak ada makanan khusus untuk mencegah terjadinya preeklamsia. Karena menurutnya preeklamsia ini berhubungan dengan sistem kardiovaskular, maka yang perlu dilakukan adalah menjaga kesehatan jantung sebelum dan selama kehamilan.

“Preeklamsia itu adalah isu kardiovascular atau jantung. Kalau makanan khusus itu gak ada. Jadi artinya kalau makan ini jadi sakti dan protektif gitu kan? Itu gak ada. Tapi ini gambaran secara global bahwa sekali lagi preeklamsia itu isunya adalah kardiovaskular atau jantung, jadi kalau seorang itu mau optimal ya jaga kesehatan jantung. Ibu hamil itu makannya harus sehat. Jangan hanya memanjangan lidah, tapi harus memanjakan tubuh. Jadi jangan cuma makan makanan olahan, makanan overcook, terus banyak minyak, dll. Itu yang harus dihindari. Tapi kalau ditanya kapan sebaiknya kita memodifikasi makanan, ya sebelum hamil. Kalau setelah hamil, gak banyak hasil yang diharapkan nantinya,” papar dr. Aditya, menjawab pertanyaan HerStory saat konferensi pers ‘Deteksi Dini Preeklamsia untuk Cegah Risiko Kematian Ibu dan Janin’, Selasa (12/10/2021).

Menyoal seberapa bahayanya penyakit preeklamsia ini, dr. Aditya memaparkan bahwa risiko preeklamsia untuk ibu dan janin ini diantaranya adalah persalinan prematur, kematian janin, berat badan bayi lahir rendah, solucio plasenta (plasenta terlepas sebelum waktunya), dan kejang.

“Jadi apa aja yang ditimbukan dari preeklamsia ini? Pertama, bayi akan lahir prematur. Pastinya nanti bayi prematur itu akan menimbulkan efek jangka panjang. Mereka bisa survive, tapi sebenernya mereka punya risiko yang lebih tinggi jangka panjangnya, ketika dia nanti dewasa.  Jadi sebenarnya persalinan prematur itu suatu isu besar,” tutur dokter lulusan FK Universitas Indonesia ini.

“Kemudian, kematian janin jadi salah satu isu yang ditimbulkan oleh hipertensi. Lalu, berat badan lahir rendah. Nah bayi-bayi yang memiliki BB lahir rendah, itu juga selain punya konsekuensi jangka pendek, dia juga berisiko punya konsekuensi jangka panjang. Apakah dia punya potensi diabetes, obesitas, jantung kardiovaskular, itu juga sebenarnya bisa mulai berisiko ketika dari janin. Dan isu lainnya adalah kejang,” lanjut dr. Aditya.

Lebih lanjut, dr. Aditya pun mengatakan bahwa 10 persen kejadian preeklampsia ini bisa berulang di kehamilan berikutnya. Untuk itu, agar penyakit itu tak berulang, para ibu hamil disarankan mencegahnya lagi-lagi dengan cara memodifikasi gaya hidup.

“Modifikasi gaya hidup, olahraga, makanan harus sehat, gak jorok, gak makan gorengam, kemudian pada saat usia kehamilan 11-13 minggu harus datang ke dokter untuk melakukan screening dan pemeriksaan Biomarker sFlt-1/PIGF,” bebernya.

dr. Aditya bilang, di negara-negara seperti Singapura dan Eropa, pemeriksaan dengan metode Biomarker sFlt-1/PIGF ini bukanlah hal baru, melainkan jadi sesuatu yang penting dan rutin dilakukan, serta value-nya pun sangat tinggi.

Kata dia, pengukuran Biomarker sFlt-1/PIGF ini penting dilakukan untuk memenuhi celah yang belum terpenuhi untuk prediksi preeklamsia, yakni dari standar pemeriksaan saat ini dipakai, yaitu menggunakan tekanan darah dan proteinuria

“Saat ini, ‘standar emas’ untuk mendiagnosis preeklamsia bergantung pada proteinuria dan pengukuran tekanan darah, namun keduanya bisa gak spesifik. Hal ini menyebabkan manajemen pasien yang gak tepat, menyebabkan rawat inap yang gak perlu dan diagnosis yang gak terjawab atau salah. Menurut saya, Biomarker sFlt-1/PIGF adalah metode yang andal untuk prediksi dan diagnosis dini preeklamsia,” tandas dokter yang lama menimba ilmu di King’s College Hospital London ini.

“Jadi kalau ada pertanyaan dari ibu hamil ‘apakah janin saya sehat?’, saya akan jauh lebih confident jawab kalau sudah ada pemeriksaan Biomarker. Karena bagi saya USG sekalipun 4D itu gak cukup, karena adakalanya si ibu gak ada risiko sama sekali, gak ada siwayat keluarga sama sekali, gak ada penyakit sama sekali, USG-nya bagus, tapi kemudian setelah diperiksa Biomarkernya jelek, ya berarti hasilnya memang seperti ini, dia mengidap preeklamsia,” sambung dr. Aditya.

Lantas, bagaimana jika ibu yang menderita preeklamsia sudah melahirkan, perawatan apa yang akan dilakukan?

Karena preeklamsia berisiko terulang kembali, menurut dr. Aditya, ibu yang sudah melahirkan akan berada dalam pemantauan ketat dan dikontrol lagi untuk mengetahui kondisi tekanan darahnya. Sebabnya, selang 10 hari setelah melahirkan, preeklamsia masih bisa bertahan.

“Makanya ibu yang melahirkan ini harus tetap dipantau ketat. Soal penanganannya sih gak ada perbedaan ya, kita tetap akan ingatkan dia agar kontrol teratur tentunya. Atau bisa juga si ibu tersebut diberi obat antihipertensi atau antikejang,” tuntas dr. Aditya.

Nah, semoga informasinya bermanfaat ya, Moms!