Menu

Pandemi Covid-19 Bikin Angka Perkawinan Anak Naik, Ini Faktor Lain dan Dampaknya yang Harus Kamu Tahu

24 Agustus 2022 20:00 WIB

Ilustrasi Perkawinan Anak. (Yayasan Kesehatan Perempuan)

HerStory, Jakarta —

Perkawinan anak merupakan perkawinan formal atau informal, di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di Indonesia sendiri, angka perkawinan anak juga masih cukup tinggi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, terdapat 5 provinsi dengan peningkatan angka perkawinan anak, yaitu di Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta.

Dalam acara International Conference on Indonesia Family Planning and Reproductive Health (ICIFPRH) 2022, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA Rohika Kurniadi Sari, SH, MSi, menjelaskan bahwa pemerintah sudah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan target 8,74% sebagai upaya pecegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Ruhika mengatakan bahwa pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor tingginya angka perkawinan anak di Indonesia. Selain itu, ia juga membeberkan beberapa faktor yang dapat memengaruhi perkawinan usia anak.

“Pertama, daerah pedesaan karena anak perempuan di daerah pedesaan 2 kali lebih mungkin untuk menikah sebelum umur 18 dibandingkan dengan anak perempuan dari daerah perkotaan. Kedua, rumah tangga dengan kuintil pengeluaran lebih rendah, dan ketiga adalah pendidikan yang masih rendah,” jelas Rohika Kurnia pada Rabu (24/8/2022).

Lebih lanjut, Rohika juga menjelaskan beberapa dampak perkawinan anak yang berhubungan dengan kesehatan. Apa saja? Simak baik-baik, ya!

  • Kehamilan risiko tinggi
  • Kematian saat melahirkan
  • Berpeluang preeklamsia
  • Kontraksi rahim enggak optimal
  • Risiko lahir prematur
  • Peluang tertular penyakit menular seksual
  • Kanker serviks
  • Kanker Payudara
  • Risiko berat badan lahir rendah (BBLR)
  • Mental disorder depresi
  • Anak stunting
  • Risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

“Dampak perkawinan anak ini menjadi alat advokasi masyarakat. Ada dua kali risiko kematian saat melahirkan, dua hingga kali berpeluang preeklamsia, kontraksi rahim enggak optimal, risiko anak lahir prematur, 17.2risiko kanker serviks, 30 risiko kanker payudara, 4.5 kali adanya peluang kehamilan risiko tinggi, dan stunting,” papar Rohika.

Tantangan Upaya Pencegahan Perkawinan Anak

Ada banyak tantangan yang harus dihadapi Indonesia untuk mencegah perkawinan anak. Rohika Kurniadi juga menjelaskan beberapa tantangannya. 

  1. Gak semua anak memiliki resiliensi yang tinggi
  2. Perilaku pada remaja
  3. Belum pahamnya orang tua, keluarga, masyarakat, dan tokoh adat, agama, masyarakat tentang hak & perlindungan anak
  4. Regulasi sudah cukup kuat, tapi masih perlu peraturan teknis
  5. Pemangku kepentingan dan masyarakat secara luas belum memahami peraturan mengenai perkawinan anak
  6. Kebijakan perkawinan anak belum terinternalisasi dalam kebijakan dan program  lintas sektor secara langsung
  7. Langgengnya praktik perkawinan anak sebagai bagian dari tradisi di dalam masyarakat
  8. Perubahan pola piker dan perilaku
  9. Belum optimalnya pelaksanaan peraturan yang mendukung pencegahan perkawinan anak
  10. Penguatan kebijakan dan advokasi atau sosialisasi masif, holistik, dan integrative
  11. Layanan kespro dan persiapan menikah masih dilakukan secara partial
  12. Beluum banyak intervensi bagi anak yang sudah terlanjur menikah untuk memastikan terpenuhi haknya dan mengurangi faktor risikonya
  13. Belum banyak layanan penjangkauan bagi anak yang renan dinikahkan secara paksa
  14. Kurang layanan dan rujukan untuk anak korban perkawinan anak
  15. Belum optimalnya sinergi program antarpemerintah dan lembaga non pemerintah
  16. Layanan pencegahan dan penanganan korban perkawinan anak belum optimal
  17. Komitmen dan koordinasi layanan

“Belum banyak layanan yang terjangkau, belum optimal, dan sinergi program antarpemerintah. Upaya kami tidak bisa sendiri untuk melakukan pencegahan perkawinan anak,” ujar Rohika.

Nah, itulah beberapa faktor, dampak, dan tantangan yang harus dilalui untuk menurunkan angkka perkawinan anak di Indonesia.