Menu

Keluar dari Comfort Zone, Lika-Liku Seorang Pemimpin Wanita Ala Niken Prawesti: Bangun Liberta Hotel International di Tengah Pandemi!

31 Oktober 2022 17:07 WIB

Niken Prawesti selaku CEO dari Liberta Hotel Internasional (Liberta Hotel International/Edited by HerStory)

HerStory, Jakarta —

Masa pandemi adalah momen sulit bagi banyak orang hingga berbagai sektor bisnis terkenal imbasnya. Namun, di tengah masa suram ini, Niken Prawesti mengambil langkah berani dengan mengembangkan hotel management dan operator yaitu Liberta Hotel International (LHI).

Berdiri di akhir tahun 2020, Niken Prawesti selaku CEO LHI mengaku tak menyangka akan terjadi pandemi di awal bisnisnya ini. Meski begitu, dengan manajemen yang baik, ia mampu menavigasi bahkan membuka peluang baru untuk mengembangkan bisnis.

“Kita memiliki kemampuan adaptabilitas dan prone to change (sensitif terhadap perubahan) kita itu cukup tinggi sehingga ketika kondisi kritis seperti itu kita cepat beradaptasi, apa nih yang harus kita sesuaikan suapa bisnis kita atau keseharian kita berjalan lebih efektif dan efisien. Kita menyesuaikan efisiensi dan efektivitas sehingga kita tetap berjalan dan gak mati karena pandemi,” ungkap Niken dalam wawancara eksklusif bersama HerStory beberapa waktu lalu di 104 Bangka Compound, Jakarta.

Selama dua tahun terakhir, bisnis yang dirintisnya terus mengalami peningkatan meski di tengah banyaknya perusahaan serupa yang mengalami kesulitan hingga gulung tikar. Hal ini terwujud berkat inovasi luar biasa yang diterapkan oleh LHI di masa pandemi.

“Selama pandemi dua tahun terakhir ini kita growing (berkembang). Di saat industri kita tengkurap gak berkembang karena pandemi, apalagi pariwisata tampaknya paling parah collapse-nya, namun kita bisa berkembang,” terangnya.

Ia menjelaskan bahwa banyak adaptasi yang dilakukan termasuk digitalisasi Standar Operasional Prosedur (SOP). Ia merasakan manfaat berupa bekerja lebih efisien hingga mengurangi potensi terjadinya human error selama bekerja.

Niken menjelaskan selama pandemi ada tantangan baru dalam bisnis yaitu menghadapi kondisi VUCA. Sebagai pemimpin, ia berusaha untuk tangguh dalam menghadapi rintangan tersebut. 

“Sangat perlu bagi seorang entrepreneur memiliki greed (keinginan) yang tinggi jadi kita bisa resilience (tangguh) menghadapi banyak kondisi yang disebut VUCA, yaitu volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity terutama setelah pandemi. Si VUCA ini memang harus bisa dinavigasi oleh seorang leader,” terangnya saat ditanya soal sosok pemimpin di mata Niken.

VUCA itu apa, yah?

Menyinggung soal VUCA, sebenarnya apa, sih, yang dinamakan dengan kondisi VUCA tersebut? VUCA merupakan sebuah akronim dari volatility (gejolak), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleks), dan ambiguity (ambiguitas). Setiap bisnis dihadapkan dengan kondisi ini, namun di masa pandemi tekanannya kian makin parah sebab semua sektor dihadapkan dengan kondisi yang tak bisa diprediksi. 

Alih-alih menjadi sebuah tekanan yang menggugurkan bisnis, Niken mampu menavigasi VUCA dengan baik dengan kemampuannya sebagai pemimpin. Baginya pemimpin yang baik adalah sosok yang mampu memberikan solusi dari segala masalah yang ada.

“Seorang entrepreneur pasti akan menjadi seorang leader yang punya tim yang harus diarahkan dan dipimpin sesuai dengan business path yang dimiliki. Selain itu good leader juga harus punya yang namanya greed (keinginan) yang tinggi. Pemimpin harus punya passion (semangat) dan resilience (tangguh) untuk bisa menjalani bisnis serta menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang pasti datang hari-harinya,” terangnya.

Tak hanya itu, seorang pemimpin juga harus punya rencana yang matang, lho. Dalam membangun bisnis butuh perencanaan yang dilengkapi dengan data. Ia menegaskan bahwa setiap orang punya ekspektasi, namun harus didukung oleh data yang valid.

“Selanjutnya secara fundamental untuk membangun bisnis dari awal itu kita harus punya business plan yang jelas dan terukur. Harus jelas apa, sih, produk atau service yang ingin kita jual di masyarakat. Dan terukur dalam hal ini goalnya mau seperti apa dan bisa gak tercapai sesuai yang diinginkan,” terang Niken.

“Untuk mencapai hal ini kita didukung dengan data. Kita boleh punya keinginan, harapan, dan ekspektasi tapi itu harus didukung oleh data supaya bisnis kita gak berhenti di tengah jalan,” lanjutnya.

Penting kemampuan untuk membaca kondisi guna menciptakan solusi yang tepat sasaran. Baginya, sebuah bisnis akan berjalan dan berkembang jika mampu memenuhi kebutuhan dari masyarakat.

Kalau LIH sendiri gimana, sih, awal perkembangannya?

Niken membangun LIH mulai dari nol. Namun, perjalanan kariernya sebagai seorang entrepreneur gak dimulai dari tahun 2020. Ia sudah menjejaki dunia ini sejak tahun 2010 silam.

Ketika ditanya soal turning point yang membuatnya memutuskan untuk membangun bisnis hotel, ternyata semua bermula dari adanya kesempatan dan momentum. Siapa sangka wanita berlatar pendidikan hukum ini berani memasuki dunia bisnis setelah mengecap karier sebagai praktisi hukum selama dua tahun lamanya.

Mengulik soal latar pendidikan, Niken merupakan magister hukum jeblosan Leiden University. Namun, di tahun 2010 ia mengambil kesempatan untuk keluar dari zona nyaman dan merintis bisnis hospitality GRIA Group yang berdiri secara resmi pada tahun 2011.

Eits, bukan berarti latar pendidikannya tak berpengaruh pada kehidupannya sebagai entrepreneur, ya. Nikan menjelaskan bahwa berkat menempuh pendidikan di bidang hukum ia tumbuh menjadi pribadi yang mampu berpikir konstruktif dan kritis. Ia menegaskan bahwa belajar hukum gak melulu soal hukum melainkan banyak ilmu lain yang ikut terjaring ke dalamnya.

“Ketika saya memutuskan untuk menjadi entrepreneur ini sangat baik dengan latar hukum yang saya miliki, yang mana saya bisa menjadi seorang entrepreneur yang lebih sensitif dan memiliki kemampuan melihat permasalahan itu dari berbagai perspektif,’ terangnya.

Meski sempat menjadi praktisi di dunia hukum, ia memutuskan untuk berbisnis usai ada aset keluarga yang kurang produktif kala itu. Ia memutuskan untuk keluar dari comfort zone dan mencoba untuk mengolah aset ini menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.

“Sekitar tahun 2010, keluarga punya aset yang tidak produktif, Mereka bertanya, ‘kira-kira kita mau apain, nih, biar jadi sesuatu yang produktif?’ ke saya. Akhirnya setelah melakukan berbagai studi segala macam dan kita memutuskan untuk membangun hotel. Jadilah di situ hotel pertama kita,” terangnya saat ditanya awal karier sebagai seorang pebisnis.

Ia mengaku sangat menyukai jalan karier barunya itu. Banyak pengalaman dan pembelajaran baru yang dirasakan usai terjun mengelola hotel untuk pertama kali. Hingga kini, ia berhasil membuktikan kemampuannya lewat semakin mekarnya bisnis hingga lahirnya LIH meski di masa sulit.

“Seiring berjalannya waktu, saya sangat menikmatinya dan banyak hal baru yang sebelumnya gak saya dapatkan ketika saya menjadi praktisi di dunia hukum,” ujarnya.

Mengapa pilih berbisnis hotel bukan yang lain?

Ternyata alasan Niken untuk berbisnis di bidang perhotelan telah dipertimbangkan secara matang, lho. Ia mampu membaca kondisi dan masa depan dari bisnisnya kelak. Apalagi di tahun 2010, persaingan hotel masih rendah dan kala itu ia merupakan pencetus budget hotels di Jakarta.

“Saat itu yang paling baik adalah membangun hotel dengan segala macam pertimbangan ekonomi, kompetisi yang belum banyak, masa depan yang kayaknya bagus ke depannya, dan karena keterbatasan lahan saat itu hotel budget itu belum ada. Jadi hotel kita yang di Kemang itu salah satu yang pertama di Jakarta dan masih bekerja sama dengan hotel lain. Belakangan kita rebrand menjadi Liberta Hotel Kemang,” terangnya.

Kembali lagi soal sifat pemimpin yang baik adalah mampu membaca situasi dan memprediksikan masa depan bisnisnya. Tampaknya, Niken sudah menerapkan hal ini sejak awal memutuskan menjadi seorang entrepreneur, bukan? Ia berhasil menjadi pemimpin dan mengembangkan bisnis yang sudah menjamur di berbagai tempat di penjuru Indonesia.

Ada gak tantangan menjadi seorang pemimpin wanita?

Niken gak menyangkal bahwa ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh wanita sebagai seorang pemimpin. Salah satunya dari segi fisik yang mana wanita memiliki kondisi biologis yang berbeda dengan pria.

Ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mungkin dapat menghambat performa dalam bekerja, seperti haid, kehamilan, hingga menyusui. Namun, segala keterbatasan itu bukan menjadi penghalang sebab sudah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah diatur soal cuti pada wanita haid hingga melahirkan.

Masalah lain yang mungkin menjadi tantangan adalah anggapan bahwa wanita gak bisa menjadi pemimpin. Ia yakin hal ini mengakar dari pemikiran dan budaya masyarakat yang memandang bahwa wanita bertanggung jawab dalam hal domestik semata.

“Hal ini mungkin dipengaruhi oleh budaya dan latar belakang masyarakat kita di mana laki-laki itu yang menjadi breadwinner atau pencari nafkah utama sehingga di luar itu apalagi yang berbau domestik menjadi urusan ‘ibu’. Padahal enggak seperti itu, ya,” tegasnya.

Beruntungnya, ia merasa pemikiran seperti itu mulai luntur. Baginya, butuh kerja sama yang baik dan seimbang baik bagi wanita dan pria dalam urusan rumah tangga maupun pekerjaan.

“Justru yang diharapkan adalah seorang ibu dan bapak dapat bekerja sama saling berkontribusi secara positif baik dalam finansial maupun pengasuhan anak,” ungkapnya.

Ia yakin bahwa pemimpin wanita membutuhkan support system yang baik untuk membangun kariernya. Pasalnya tak ada larangan bagi wanita untuk memimpin layaknya pria.

“Itulah mengapa woman leader itu harus punya support system yang baik, terutama dari keluarga sehingga bisa bagus dan balance (seimbang), baik di dunia domestik atau rumah tangga maupun pekerjaan,” tandasnya.