Menu

Gak Cuma Penderita Obesitas, Penelitian Sebut SOPK Juga Bisa Dialami Perempuan dengan Berat Badan Normal, Waspada Beauty!

18 Juli 2023 18:30 WIB
Gak Cuma Penderita Obesitas, Penelitian Sebut SOPK Juga Bisa Dialami Perempuan dengan Berat Badan Normal, Waspada Beauty!

Ilustrasi kesehatan reproduksi wanita. (pinterest/freepik)

HerStory, Jakarta —

Beauty, rupanya gangguan neuroendokrin bisa menyebabkan Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) pada pasien dengan berat badan normal variasi struktur genetik, lho.

SOPK sendiri ditandai dengan adanya gangguan haid, peningkatan hormon androgen serta infertilitas. Sementara itu, salah satu penemuan penelitian terdahulu menyebutkan jika obesitas, sebagai salah satu faktor risiko terjadi SOPK.

“Meskipun obesitas salah satu faktor risiko yang kerap terjadi, namun lewat penelitian ini ditunjukkan bahwa 20–50% perempuan dengan SOPK mempunyai berat badan yang sebenarnya normal (nir-obese)," tutur dr. Gita Pratama, Sp. OG, Subsp. FER, M.Sc,Rep, Selasa (18/7/2023).

Meski sama sama berisiko mengalami SOPK, diperkirakan proses perjalanan penyakitnya pada wanita yang obesitas dan berat badan normal (nir-obese) pun berbeda.

Hormon yang memengaruhi sistem reproduksi perempuan, yaitu luteinizing hormone (LH) yang berasal dari kelenjar hipofisis di otak, secara signifikan lebih tinggi pada perempuan berat badan normal dengan SOPK dibandingkan dengan penderita obesitas.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan hormonal pada otak (neuroendokrin) merupakan mekanisme terpenting pada pasien SOPK dengan berat badan normal,” jelas dr. Gita.

dr. Gita menambahkan,  cara mencegah terjadinya SOPK adalah dengan mengubah gaya hidup (diet dan olah raga). Penelitian menunjukkan pasien SOPK obesitas bisa mengatasi gejalanya dengan cara mengubah gaya hidup jadi lebih sehat.

Meskipun begitu, pasien SOPK dengan berat badan normal bisa saja mengalami SOPK karena adanya gangguan hormonal, maka perbaikan gaya hidup saja belum bisa tentu bisa mengatasi gejala yang dirasakan.

"Temuan inilah yang memicu kami untuk membuat penelitian yang lebih memahami proses terjadinya penyakit (patogenesis) SOPK, khususnya pada pasien nir-obese, sehigga diharapkan dapat mengembangkan tatalaksana yang tepat di kemudian hari,” jelas dr. Gita.

Salah satu molekul yang menjadi perhatian dalam peningkatan luteinizing hormone (LH) pada pasien SOPK adalah kisspeptin.

Kisspeptin berfungsi untuk menstimulasi pengeluaran gonadotropin-releasing hormone (GnRH) yang akan meregulasi pengeluaran 2 hormon penting: follicle stimulating hormone (FSH) dan LH dari kelenjar hipofisis.

LH dan FSH ini akan memengaruhi indung telur (ovarium) sehingga terjadi perkembangan telur (folikel), terjadinya ovulasi, sehingga haid menjadi teratur dan memungkinkan terjadinya proses kehamilan.

Pengeluaran kisspeptin dipengaruhi oleh neurokinin B (NKB) dan dinorfin dari neuron KNDy di bagian otak (hipotalamus). Diperkirakan gangguan keseimbangan kisspeptin, NKB dan dinorfin ini bisa menyebabkan peningkatan GnRH dan peningkatan rasio LH/FSH.

Peningkatan rasio LH/FSH inilah yang akan menyebabkan indung telur mengeluarkan hormon androgen, hormon yang biasanya tinggi pada laki-laki, dan tidak adanya ovulasi.

"Sehingga terjadi gangguan haid, muncul tanda-tanda kelebihan hormon androgen (tumbuhnya kumis, jerawat atau rambut rontok) serta infertilitas pada pasien SOPK,” tutur dr. Gita.

Terdapat 2 mekanisme yang mungkin menyebabkan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese. Pertama adalah penurunan dinorfin yang diperkirakan akan memengaruhi peningkatan GnRH secara langsung di otak.

Sedangkan yang kedua adalah peningkatan kadar anti-Mullerian hormone (AMH) yang selain secara langsung menyebabkan terhentinya pertumbuhan telur akibat penurunan enzim aromatase, juga secara langsung memengaruhi peningkatan GnRH.

“Kedua hormon ini merupakan kunci perkembangan penyakit pada pasien SOPK nir-obese. Penemuan ini akan menjadi awal bagi pengembangan tatalaksana pada pasien SOPK, khususnya nir-obese, berdasarkan kelainan yang mendasarinya, bukan hanya bersifat simtomatis atau mengobati gejala saja,” kata dr. Gita.

Lebih jauh lagi, analisis genetik (polimorfisme) pada gen KISS menemukan adanya mutasi pada 2 tempat yang akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit SOPK.

Informasi lebih lanjut ada di halaman selanjutnya ya Beauty!

“Terdapat perbedaan bermakna kedua varian gen KISS1 pada pasien SOK nir-obese dengan perempuan normal. Adanya kelainan gen bisa meningkatkan risiko seorang perempuan terkena SOPK sampai 2x lipat,” tambah dr. Gita.

Ditemukan hubungan penurunan dinorfin dan peningkatan AMH dengan peningkatan rasio LH/FSH pada pasien SOPK nir-obese.

Polimorfisme pada gen KISS1 meningkatkan risiko terjadinya SOPK pada perempuan di Indonesia, sedangkan tidak ditemukan adanya perubahan metilasi DNA pada gen KISS1.

"Jadi perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi terapi terhadap dinorfin dengan penggunaan obat-obatan yang bersifat agonis terhadap reseptor dinorfin dan antagonis terhadap reseptor AMH untuk mengetahui potensi terapi pada pasien SOPK nir-obese,” tutup dr. Gita.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Artikel Pilihan