Mengenal Jemparingan yang ada di Museum Layang-layang (istimewa)
Beauty, tahukah kamu soal seni panahan tradisional Jawa yang dikenal dengan sebutan jemparingan, saat ini semakin meluas di masyarakat. Sejatinya, seni atau olah-raga?
Seni panahan tradisional Jawa atau jemparingan diselenggarakan oleh Museum Layang-layang Indonesia, bekerja-sama dengan Paguyuban Trah Hamengku Buwono seJabodetabek didukung oleh komunitas pemanah Jaluwasi Atma Jogja dan Kober Archery Society, keduanya dari Yogyakarta. Kegiatan ini juga berkolaboasi
dengan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Daerah Jakarta Paramita Jaya, sekaligus untuk
menyemarakkan hari ulang tahun ke-37 Paramita Jaya.
Dilaksanakan di Museum Layang-layang Indonesia pada Sabtu, 16 November 2024, kegiatan yang dikelola oleh komunitas PAS Rekadaya ini merupakan bagian dari rangkaian program publik yang dilaksanakan Yayasan Layang-layang Indonesia pada tahun 2024, dalam kerangka program Dukungan
Institusional dari Dana Indonesiana, yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP, Kementerian Keuangan.
Program publik dan program kolaborasi memang telah menjadi atribut kuat dari Museum Layang-layang Indonesia, yang diharapkan dapat menjadi salah satu landasan utama untuk keberlanjutan museum ini.
"Ini memang salah satu budaya yang kita lestarikan. Semoga terus berlanjut. Saya sangat apresiasi terhadap kegiatan ini. Yang hadir ada dari Yogya, Bandung, Bogor," ujar Endang Ermawati, Pendiri dan Kepala Museum Layang-Layang Indonesia.
Dalam tradisi awalnya, jemparingan lebih dekat dengan olah-rasa daripada olah-raga. Berakar dari kata Jawa jemparing yang perarti panah (Bausastra Jawa-Indonesia, S. Prawiroatmodjo, I-184), maka jemparingan berarti panahan.
Sementara itu dalam bahasa Jawa juga dikenal kata panah, yang sejajar dengan arti kata panah dalam bahasa Indonesia (Bausastra Jawa-Indonesia: II-60) serta kata turunannya panahan, ataupun sapamanah (berarti: sejangkauan panahan).
Dari sini muncul hubungan eratnya dengan olah-rasa, karena bentuk verbanya adalah manah, yang berarti memanah (Bausastra JawaIndonesia: I-328), tetapi sebagai nomina, manah berarti hati, pikir atau berpikir.
Maka sejatinya, panahan tradisi Jawa atau jemparingan adalah olah-rasa. Tradisi panahan gagrak/gaya Mataram Yogyakarta ini bermula pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Dua tahun setelah Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari) 13 Februari 1755, yaitu pada tahun 1757, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik prajurit dan rakyat yang terseleksi, salah satu mata pelajarannya adalah latihan memanah, atau jemparingan.
Dari sinilah titik awal tradisi jemparingan Mataram berasal. Dapat diduga bahwa terdapat kepentingan militer Mataram-Yogyakarta di sekolah itu, namun pelajarannya tak sebatas teknik perang dan pertempuran.
Jemparingan diajarkan antara lain untuk melatih dan membangun watak ksatria, yang terwujud dalam 4 nilai, yaitu: sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sawiji berarti konsentrasi; greget berarti semangat; sengguh adalah rasa percaya diri; sedangkan ora mingkuh bermakna memiliki rasa tanggung-jawab. Maka jemparingan sejak semula memang tentang olah-rasa.
Pada tradisi lama jemparingan, membidik sasaran tidak dengan mata fisik, tetapi dengan mata batin. Busur (gandewa) diposisikan horisontal di depan tubuh; anak panah ditarik ke arah dada-perut, tidak didepan mata; bidikan didasarkan pada perasaan, anak panah dilepaskan ketika hati sudah yakin akan mengenai sasaran. Ini yang dimaksud dengan olah-rasa.
Saat ini gaya memanah sudah berubah, dikenal sabagai gaya Paku Alaman. Busur diposisikan vertikal, anak panah ditarik bukan ke arah dada, tapi ke arah mata, untuk membidik sasaran. Sementara posisi duduk bersila (atau timpuh) tetap dipertahankan, sebagai landasan proses konsentrasi.
Jemparingan pun kini sudah bernaung dalam Komite Olah Raga Masyarakat Indonesia (KORMI), yang menaungi pula permainan layang-layang, serta berbagai olahraga permainan lainnya. Meskipun gaya dan polanya ada yang berubah, namun filosofi jemparingan tetap dipertahankan, yaitu: pamenthanging gandewa pamenthanging cipta, yang bermakna: proses membentangkan busur seiring dengan konsentrasi yang tertuju pada sasaran bidik.*
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.