Diplomat Success Challange season 15 (istimewa)
Berawal dari sebuah radio peninggalan nenek yang rusak pada 2018, The Sound of Art kini menjelma menjadi produk kerajinan kayu yang mendunia. Sebagai informasi Beauty, The Sound of Art adalah produk yang dibuat dari bahan baku kayu limbah kehutanan dan limbah ekspedisi. Fungsinya sendiri untuk home audio dan home decor bertema vintage/klasik. Uniknya lagi, radio ini sudah support bluetooth mode, FM radio, USB port, dan MMC card.
Menurut Devasari Rahmawati sebagai pemilik The Sound of Art, awalnya dirinya memiliki radio yang rusak lalu berinisiatif untuk memperbaikinya. Tapi, karena di dekat rumahnya banyak pengrajin kayu, lalu dibuatlah radio vintage itu.
"Awalnya tuh di 2018, sebetulnya kami iseng karena ada radio peninggalan nenek yang rusak. Tapi kan radionya kan tidak ada yang dari kayu gitu.
Kebetulan di keluarga sekitar kami tuh ada yang bisa sebagai pengrajin kayu, ada yang suka. Terus untuk elektroniknya, karena udah jadul, dibetulin lah, ada yang bisa elektroniknya. Yaudah kita buat aja deh gitu, terinspirasi dari situ, kita buat sebuah radio yang baru," tutur Devasari kepada Herstory, Selasa (5/2/2025).
Karena desain vintagenya yang estetik, rupanya saudara Devasari hingga teman-temannya tertarik dengan radio tersebut. Dari situ lah Devasari merasa jika radio vintage tersebut memiliki nilai jual.
Inspirasi dari radio kayu yang klasik ini juga melibatkan penggunaan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan, seperti limbah kayu jati. Pemilihan kayu jati bukan tanpa alasan Beauty, di Cianjur, banyak sekali limbah kayu jati yang terbuang sia-sia, padahal masih bisa dimanfaatkan.
"Kami ingin menaikkan nilai kayu jati dengan cara yang berbeda. Daripada sekadar kerajinan biasa, kami padukan dengan elemen elektronika untuk menciptakan sesuatu yang unik," ujar pendiri The Sound of Art.
Bahan baku yang digunakan juga bukanlah kayu baru, melainkan kayu jati dari pohon yang sudah rubuh dan menjadi limbah. Ini membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mendaur ulang material alam dan memberi nilai tambah pada kayu jati yang seharusnya terbuang begitu saja.
Saat ini, The Sound of Art memiliki sekitar 10 karyawan tetap dan banyak membantu masyarakat sekitar untuk pengerjaan produk, mulai dari ibu-ibu yang menganyam rotan hingga pemuda yang membantu dengan proses pengerjaan manual seperti amplas dan pemolesan. Semua produk ini tidak menggunakan bahan kimia, melainkan teknik yang memberi hasil warna alami pada kayu.
"Kalau misalnya karyawan yang benar-benar bekerja itu ada 10, tapi kalau misalnya orderan banyak itu lebih banyaknya kami ke penduduk-penduduk sekitar. Misalnya ibu-ibu untuk menganyam rotannya, atau misalnya untuk amplas. Karena produk rotannya itu tidak bisa 100% mesin. Untuk lengkungan seperti ini, oval ini membutuhkan tenaga manusia, tenaga amplas yang butuh kesabaran. Dan biasanya itu tangan perempuan itu lebih, apa ya namanya tangan perempuan, lebih telaten secara tenaga," tuturnya lagi.
Bicara soal omset perusahaan, The Sound of Art bisa dibilang omsetnya cukup mengesankan. Pada 2023, mereka berhasil meraih angka lebih dari 2 miliar rupiah, sebagian besar dari pesanan B2B dan menjadi souvenir resmi untuk acara kenegaraan. Produk mereka bahkan telah menjadi souvenir di acara internasional, seperti G20 dan Konferensi Iklim Dunia pada 2021, di mana mereka meraih penghargaan Design World Award dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Jadi ini sering dijadikan souvenir kenegaraan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian ini official merchandise-nya dari G20 untuk diberikan kepada Kepala Negara," tuturnya lagi.
Selain dikenal di dalam negeri, The Sound of Art juga sudah merambah pasar internasional lho Beauty, mulai dari mengikuti pameran di Taiwan, Turki, Korea Selatan, hingga China.
"Kami memilih untuk tidak terjun ke pasar retail yang kompetitif, karena segmen pasar kami memang berbeda," jelas Devasari.
Sebagai strategi, perusahaan ini fokus pada pameran dan kurasi produk, yang membuatnya dikenal sebagai produk eksklusif. Melalui program mentoring seperti Diplomat Success Challange season 15, The Sound of Art pun berhasil jadi Top 8 finalis yang mendapatkan dana hibah dari Wismilak Foundation. Selain itu, The Sound of Art pun bisa mendapatkan mentoring sehingga bisa berkembang dan menjangkau pasar yang lebih luas lagi.
Terkait harga produk The Sound of Art berkisar antara Rp 800.000 hingga Rp 4.000.000, tergantung pada model dan tingkat kesulitan pembuatannya. Nama-nama produk mereka pun sangat unik karena terinspirasi dari daerah di Cimahi, seperti Joglo dan Cianjur, alasannya ternyata untuk mengangkat potensi wisata daerah asal mereka, dan ini menjadi bagian dari identitas yang ingin mereka promosikan ke dunia.
Diplomat Success Challenge (DSC), yang telah berjalan selama 15 tahun, terus memainkan peran strategis sebagai ekosistem kewirausahaan terintegrasi yang mendorong inovasi, keberlanjutan, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada puncak acara Final DSC Season 15, penghargaan Best of the Best diberikan kepada Indra Purwidiyanto, founder Naruna Ceramics. Berawal dari garasi kecil di Salatiga, bisnis kerajinan keramik ini kini telah melayani pasar internasional di 16 negara. Indra menerapkan prinsip keberlanjutan dengan memanfaatkan material daur ulang seperti limbah kayu, ban bekas, dan abu Merapi, sekaligus memberdayakan lebih dari 100.000 pelanggan lokal melalui pelatihan keterampilan.
Ketua Dewan Komisioner DSC, Surjanto Yasaputera menyatakan, “Indra Purwidiyanto adalah contoh bagaimana tiga pilar DSC yaitu 3P (Paham, Piawai, dan Persona) menjadi tolak ukur komprehensif dalam kesuksesan seorang wirausahawan. Bisnis bisa berubah seiring waktu, namun kekuatan pilar-pilar ini lah yang menjadi pondasi yang kokoh. Paham tentang tantangan dan peluang, piawai dalam menerapkan solusi inovatif, dan persona yang inspiratif dalam memimpin, adalah kualitas yang membuat seorang entrepreneur dapat bertahan, terus berkembang dan memberi dampak positif yang berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat.”ungkap Surjanto.
DSC Season 15 memberikan hibah modal usaha senilai total Rp 2,5 miliar serta pendampingan intensif kepada para challengers dari berbagai kategori bisnis diantaranya manufaktur instrumen presisi, edukasi digital, industri kreatif, layanan kesehatan hewan, serta aksesoris fashion berorientasi keberlanjutan. Selain Indra Purwidiyanto dari Naruna Ceramics, challengers lainnya yang juga mendapatkan hibah modal usaha dan pendampingan intensif. Total dana hibah sebesar Rp 2,5 miliar adalah Reza Rahman (Gentanala), Devasari Rahmawati (Faber Instrument Indonesia), Teguh Hidayat (Jasgo Academy), Carolina Ardelia (Colore Art & Craft), Muhamad Haikal Azhari (Kamaye), Ivan Taufiq Nugraha (Sutan Vet Medika) dan Ariq Syah (Maore).
Selain penghargaan untuk para wirausahawan muda yang berprestasi, DSC juga memberikan apresiasi kepada beberapa alumni DSC, Diplomat Entrepreneur Network (DEN), yang telah menunjukkan komitmen dan konsistensi luar biasa dalam mengembangkan bisnis mereka dan memberikan dampak positif yang signifikan. DEN telah menjadi ekosistem yang kuat, mendukung para entrepreneur untuk tidak hanya bertumbuh secara finansial, tetapi juga berkontribusi pada perubahan sosial dan keberlanjutan.
DSC Season 15 juga berkolaborasi dengan banyak pihak lainnya yaitu TNI AL, PT Pelni (Persero), serta berbagai brand inovatif seperti OBERMAIN, Dama Kara, Justine Studio, dan Saparo. Kolaborasi ini membuka ruang bagi pengusaha muda untuk berkembang, berinovasi, dan menjangkau pasar yang lebih luas.
Andanu Prasetyo, CEO Maka Group dan Coach DSC Season 15 mengungkapkan bahwa menjadi seorang wirausaha sering kali terasa seperti perjalanan yang sepi, penuh tantangan, dan perjuangan sendiri. Karena itu, kolaborasi dan jejaring menjadi elemen penting untuk mendukung keberlanjutan bisnis. DSC menghadirkan ruang bagi para entrepreneur untuk saling terhubung, berbagi pengalaman, dan menciptakan kolaborasi strategis. Inilah wujud nyata dari semangat #BersamaMeraihSukses.
DSC Season 15 mencatat pencapaian luar biasa dengan menerima 36.712 proposal, rekor tertinggi dalam sejarah program ini. Antusiasme yang terus meningkat ini menegaskan peran DSC sebagai platform yang relevan bagi wirausahawan muda untuk mengembangkan ide dan membawa perubahan nyata.
“Lebih dari sekadar kompetisi, DSC terus berinovasi dengan menghadirkan program yang lebih komprehensif, kolaborasi strategis, serta dukungan ekosistem yang semakin luas. Setiap tahunnya, DSC beradaptasi dengan tren, digitalisasi teknologi dan kebutuhan pasar, memastikan bahwa setiap entrepreneur yang lahir dari program ini memiliki akses dan peluang terbaik untuk berkembang.” Ujar Edric Chandra, Program Initiator DSC.
DSC terus memperkuat komitmennya dalam mendukung pertumbuhan kewirausahaan di Indonesia tidak hanya untuk para wirausahawan, tetapi juga para mahasiswa. Melalui program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar Kampur Merdeka (MBKM) yang dikelola oleh Kemendikbudristek, DSC berkolaborasi bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menghadirkan pendidikan berkualitas bagi para pelaku UMKM melalui para mahasiswa yang melakukan magang langsung di usaha para UMKM tersebut. Para mahasiswa turut membekali para UMKM dengan wawasan strategis serta keterampilan bisnis yang relevan.
DSC juga memberikan penghargaan kepada 50 UMKM terpilih yang telah menunjukkan prestasi di program tersebut. Penghargaan ini menjadi bukti nyata dukungan DSC dalam melakukan lintas sinergi dalam membangun ekosistem kewirausahaan yang lebih kuat dan berkelanjutan di Indonesia
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.