Menu

Mengintip Kisah Shakila, Remaja Perempuan di Afganistan yang Gak Bisa Sekolah karena Kebijakan Taliban

15 April 2025 14:36 WIB
Mengintip Kisah Shakila, Remaja Perempuan di Afganistan yang Gak Bisa Sekolah karena Kebijakan Taliban

Ilustrasi anak belajar di kelas (shutterstock/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, di saat kamu bisa bebas mengenyam pendidikan di Indonesia, ternyata para perempuan di Afganistan tak merasakan hal yang sama.

Mengutip dari pemberitaan BBC, sejak Taliban merebut kekuasaan di Afganistan pada 2021, impian ribuan perempuan mudam, salah satunya Shakila hancur seketika. 

Pemerintah baru itu menerapkan aturan ketat yang melarang anak perempuan di atas usia 12 tahun untuk melanjutkan pendidikan. Bagi Shakila dan banyak perempuan lain di negara itu, larangan ini tidak hanya mencabut hak atas pendidikan, tapi juga mencabut masa depan.

Shakila, kini berusia 22 tahun, dulunya punya mimpi besar, yaitu menjadi seorang pengacara. Namun semua berubah sejak Taliban melarang anak perempuan untuk sekolah dan membatasi pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Salah satu bidang yang masih bisa dijalani oleh perempuan adalah menenun karpet. Maka, Shakila pun kini memimpin usaha penenunan karpet milik keluarganya.

"Kami tidak bisa melakukan hal lain selain menenun karpet," kata Shakila. "Tidak ada pekerjaan lain," tambahnya lagi.

Profesi ini menuntut waktu yang panjang, hasilnya pun tidak selalu sepadan. Shakila bercerita bahwa mereka hanya bisa menjual karpet tenun tangan dengan harga antara $100 hingga $150 (sekitar Rp1,6 juta hingga Rp2,5 juta) per meter persegi di Afganistan. Padahal, kualitasnya tak kalah dengan karpet-karpet yang dijual di luar negeri.

Salah satu karpet yang dibuat bersama dua saudarinya pernah dipamerkan di Kazakhstan pada tahun 2024. Karpet sutra seluas 13 meter persegi itu laku terjual seharga $18.000 atau sekitar Rp302 juta. Tapi itu hanya satu dari sedikit kisah sukses di tengah realita yang keras. Sebagian besar pekerja di industri ini masih hidup dalam tekanan ekonomi. Menurut data PBB, 1,2 hingga 1,5 juta warga Afganistan bergantung pada industri karpet ini, dan 90% di antaranya adalah perempuan.

Fyi nih Beauty, Shakila dan keluarganya tinggal di Dasht-e Barchi, daerah miskin di pinggiran barat Kabul. Rumah mereka kecil, dengan dua kamar tidur, yang ditempati bersama orang tua dan tiga saudara laki-laki. Salah satu kamar diubah menjadi bengkel karpet.

"Saya belajar menenun saat berusia 10 tahun," kata Shakila. "Ayah saya mengajari saya ketika dia sedang dalam masa pemulihan dari kecelakaan mobil," tambahnya lagi.

Namun, tak ada pekerjaan yang bisa menggantikan mimpi. Shakila dan dua saudarinya dulunya adalah pelajar di Sekolah Menengah Sayed al-Shuhada. Semangat mereka sempat menyala, sampai pada tragedi tahun 2021, sebuah bom meledak di sekolah mereka, menewaskan 90 orang, sebagian besar pelajar perempuan, dan melukai setidaknya 300 orang lainnya.

Ayah mereka, diliputi rasa takut, akhirnya memutuskan untuk menghentikan sekolah ketiga anak perempuannya.

Samira (18), saudara Shakila, punya cita-cita menjadi jurnalis. Tapi mimpi itu kandas. Ia bahkan mengalami trauma berat setelah kejadian itu, yang membuatnya kini bicara dengan gagap dan kesulitan mengekspresikan diri.

"Saya sangat ingin menyelesaikan sekolah saya," ujar Samira. "Setelah Taliban berkuasa, situasi keamanan telah membaik dan bom bunuh diri telah berkurang. Tapi sekolah-sekolah masih ditutup. Itulah mengapa kami harus bekerja."

Sementara Mariam, adik bungsu mereka yang kini berusia 13 tahun, bahkan belum sempat bermimpi. Ia dipaksa berhenti sekolah sebelum tahu ingin menjadi apa.

Taliban pernah menyebut bahwa anak perempuan akan kembali diperbolehkan bersekolah setelah mereka menyelesaikan sejumlah kebijakan, termasuk penyelarasan kurikulum dengan nilai-nilai Islam. Tapi sejauh ini, janji tinggal janji. Tidak ada langkah nyata yang diambil.

Shakila, Samira, dan Mariam percaya satu hal, yaitu Taliban adalah "musuh pendidikan anak perempuan."

Dan selama kondisi ini tak berubah, jutaan anak perempuan Afganistan akan terus kehilangan hak dasar mereka, yaitu untuk bermimpi, belajar, dan memilih masa depan sendiri.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Artikel Pilihan