Menu

Perempuan dengan Pendidikan Rendah Lebih Banyak Jadi Tulang Punggung Keluarga, Apa Alasannya?

16 April 2025 18:35 WIB
Perempuan dengan Pendidikan Rendah Lebih Banyak Jadi Tulang Punggung Keluarga, Apa Alasannya?

Wanita karier. (Unsplash/Brooke Cagle)

HerStory, Jakarta —

Moms, ketika mendengar kata 'tulang punggung keluarga', banyak orang mungkin langsung membayangkan sosok pria. Tapi kenyataannya, semakin banyak perempuan yang kini memegang peran tersebut, terutama di Indonesia, lho. Mereka dikenal sebagai female breadwinners atau perempuan yang menjadi sumber penghasilan utama dalam rumah tangga.

Namun, ada satu fakta menarik sekaligus memantik pertanyaan, mengapa justru perempuan dengan pendidikan rendah yang lebih banyak menjadi tulang punggung keluarga?

Mari kupas pelan-pelan berdasarkan Data dari BPS dalam "Cerita Data Statistik untuk Indonesia Volume 2 Nomor 3, 2025" dengan tema Female Breadwinners: Fenomena Perempuan sebagai Pencari Nafkah Utama Keluarga.

Siapa Itu Female Breadwinners?

Beuaty, secara sederhana, female breadwinners adalah perempuan yang bekerja dan menghasilkan pendapatan terbesar dalam keluarganya, bahkan bisa jadi satu-satunya yang menafkahi rumah tangga. Peran ini bukan sekadar tambahan, melainkan benar-benar menjadi tumpuan ekonomi keluarga.

Di Indonesia, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Agustus 2024, sekitar 14,37% perempuan bekerja masuk dalam kategori ini. Itu berarti satu dari sepuluh perempuan bekerja adalah penopang utama keuangan keluarga mereka.

Mengapa Justru Perempuan Berpendidikan Rendah yang Banyak Jadi Breadwinners?

Mungkin terdengar tidak biasa, api mengutip dari data BPS, lebih dari setengah female breadwinners di Indonesia berasal dari latar belakang pendidikan dasar. Sebagian besar tidak tamat SD, hanya tamat SD, atau SMP. Sedangkan perempuan dengan pendidikan tinggi justru jumlahnya lebih sedikit dalam kategori ini.

Ada beberapa alasan utama di balik fenomena ini:

1. Kondisi Ekonomi yang Memaksa

Perempuan dengan pendidikan rendah sering kali berasal dari keluarga berpenghasilan rendah pula. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak punya banyak pilihan selain bekerja, entah sebagai buruh pabrik, pedagang kecil, atau pekerja informal lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

2. Pasangan Tidak Bekerja atau Berpenghasilan Rendah

Banyak dari mereka menikah dengan pasangan yang tidak bekerja secara tetap atau penghasilannya minim. Bahkan ada yang menjadi satu-satunya pencari nafkah karena pasangannya sedang menganggur atau sakit. Dalam situasi ini, mau tak mau, perempuan harus mengambil alih peran pencari nafkah utama.

3. Perempuan Berpendidikan Tinggi Cenderung Punya Pasangan Berpenghasilan Tinggi

Ini mungkin terdengar seperti paradoks, tapi justru perempuan yang berpendidikan lebih tinggi biasanya menikah dengan laki-laki yang juga memiliki pendidikan dan penghasilan tinggi. Karena kebutuhan ekonomi sudah tercukupi, banyak dari mereka memilih untuk tidak bekerja atau hanya bekerja paruh waktu.

Hal ini dijelaskan dalam penelitian oleh Kabeer (2012) dan Becker (1981), yang menunjukkan bahwa partisipasi kerja perempuan cenderung menurun seiring dengan meningkatnya penghasilan keluarga, khususnya bila pasangan mereka mampu menanggung beban ekonomi.

Beauty, menjadi female breadwinner bukan pekerjaan yang mudah. Selain bekerja di luar rumah, mereka juga tetap memikul tanggung jawab domestik, mulai dari mengurus anak, merawat orang tua, dan mengelola rumah tangga. Beban kerja ganda ini sangat berat, apalagi dengan minimnya dukungan sosial dan ekonomi.

Meski mereka jarang tampil di berita atau panggung penghargaan, kontribusi mereka nyata dan besar. Mereka menghidupi keluarga, menyekolahkan anak-anak, dan menjaga dapur tetap mengepul. Semua dilakukannya tanpa banyak mengeluh, hebat sekali!

Fenomena ini seharusnya tidak hanya menjadi catatan statistik. Semua pihak perlu mendorong perubahan nyata, mulai dari mmeberikan akses pendidikan dan pelatihan kerja yang lebih luas bagi perempuan. Kemudian memberikan perlindungan kerja yang layak. Dan memberikan Kebijakan yang mendukung kesetaraan gender,

Dan tentu saja, perubahan mindset bahwa perempuan bekerja bukanlah "cadangan," tapi bagian penting dari pembangunan ekonomi.

Baca Juga: Cerita Putri Kusuma Wardani yang Menjadi Perempuan Indonesia Pertama yang Juarai Korean Masters

Baca Juga: Canva Menjadi Startup dengan Pemimpin Wanita dan Pendapatan Sebesar US$ 3 Miliar

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Share Artikel:

Oleh: Ida Umy Rasyidah

Artikel Pilihan