Ilustrasi wanita rentang terjerat pinjol.(Shutterstock/Melimey)
Moms, di tengah himpitan ekonomi, ternyata banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga yang terpaksa mengambil jalan pintas dengan meminjam uang dari layanan pinjaman online (pinjol). Namun, dana hasil pinjaman yang awalnya dimaksudkan sebagai solusi darurat, justru sering kali berubah menjadi sumber penderitaan baru.
Hal itu bisa dilihat dari data Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa perempuan korban pinjol sangat rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bahkan sampai ke titik perceraian.
Hal itu disampaikan oleh Sondang Frishka Simanjuntak sebagai Wakil Ketua Komisi Parpurna Komnas Perempuan dikutip dari Kompas.com.
“Ada yang sakit, ada yang menjadi korban KDRT, ada yang menjadi korban kekerasan seksual. Kemudian ada juga yang bahkan yang paling ekstrem itu ingin melakukan bunuh diri."
Sebagai informasi Moms, mayoritas korban pinjol adalah perempuan yang sudah menikah. Mereka terjebak dalam tekanan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang terus meningkat, sementara kondisi ekonomi keluarga tak menentu. Dalam situasi ini, pinjol sering kali dianggap sebagai "jalan keluar cepat". Namun sayangnya, ketidaktahuan akan bunga yang mencekik dan praktik penagihan yang tak manusiawi justru menyeret mereka ke jurang yang lebih dalam.
"“Berdasarkan pengaduan yang masuk, alasan utama meminjam itu bukan untuk kebutuhan konsumtif, tapi untuk kebutuhan keluarga. Jadi itu banyak ada yang guru, ada yang ibu rumah tangga,” jelas Sondang.
Komnas Perempuan mencatat adanya pola kekerasan yang muncul setelah perempuan terjerat utang pinjol. Mereka bukan hanya mengalami kekerasan ekonomi, tetapi juga kekerasan psikis dan fisik dari pasangan. Tak jarang, tekanan utang dan konflik rumah tangga yang menyertainya berujung pada perceraian.
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa pinjol ilegal diketahui menggunakan cara-cara ekstrem dalam menagih utang, seperti ancaman, intimidasi, bahkan menyebarkan data pribadi korban. Dalam sejumlah kasus, nyawa perempuan yang berutang pun ikut terancam.
Masalah ini tidak bisa dianggap sepele. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, lembaga hukum, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk memberantas praktik pinjol ilegal serta memberikan perlindungan yang layak bagi perempuan. Edukasi keuangan, akses terhadap bantuan hukum, dan dukungan sosial sangat dibutuhkan agar perempuan tidak terus menjadi korban berulang.
Maka dari itu, Sondang pun berharap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) bersama dengan Kementerian Sosial (Kemensos) bisa menyediakan wadah yang bisa membantu para perempuan korban pinjol.
“Kami juga merekomendasikan supaya Kementerian Sosial dan Kementerian PPPA itu dia punya unit tanggap responsif terhadap kebutuhan korban (pinjol),” tutur Sondang.
Perempuan bukan sekadar angka dalam statistik pinjol. Di balik setiap kasus ada cerita tentang beban yang tak terbagi, perjuangan mempertahankan keluarga, dan harapan yang kandas karena sistem yang tidak berpihak. Sudah saatnya negara hadir, bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung.
Lebih lanjut Sondang pun berharap Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) bisa melakukan pengawasan ketat terhadap transaksi layanan pinjol legal dan pastinya memerangi pinjol yang ilegal agar tak lagi ada korban perempuan mengalami kekerasan karena urusan pinjol.
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.