Menu

Keterwakilan Perempuan di Politik Rendah, KPI Harap Revisi UU Pemilu Wujudkan Kesetaraan & Perlindungan Nyata

05 Mei 2025 22:06 WIB
Keterwakilan Perempuan di Politik Rendah, KPI Harap Revisi UU Pemilu Wujudkan Kesetaraan & Perlindungan Nyata

ilustrasi Pemilu (istimewa)

HerStory, Jakarta —

Keterwakilan perempuan dalam dunia politik di Indonesia masih terbilang rendah, dan hal ini kembali menjadi sorotan setelah Pemilu 2024, apakah alasannya? Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai bahwa sistem pemilu yang ada belum sepenuhnya mendukung kesetaraan gender. Mereka pun mendesak revisi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar peran perempuan dalam politik dapat lebih diperkuat.

Menurut Staf Manajemen Informasi Sekretariat Nasional KPI, Bayu Sustiwi, revisi terhadap UU Pemilu tidak boleh hanya sebatas pada aspek teknis, namun juga harus menyentuh substansi afirmasi politik secara menyeluruh. Dalam Pemilu 2024, keterwakilan perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR belum mencapai angka minimal 30 persen yang diharapkan. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan dalam sistem yang diterapkan, yang seharusnya berpihak pada kesetaraan gender.

"Karena banyak sekali hambatan yang dialami oleh perempuan, seperti masalah pendidikan, akses informasi, hingga budaya patriarki," ujar Bayu dalam Diskusi Media yang diadakan pada 28 April 2025 lalu seperti dikutip dari laman Hukum Online.

KPI juga menilai bahwa regulasi afirmatif yang ada saat ini hanya bersifat simbolis dan belum menyentuh akar masalah yang mendalam. Kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen seringkali hanya dipenuhi secara formalitas tanpa adanya upaya sungguh-sungguh untuk memberdayakan perempuan dalam politik. Bahkan, banyak perempuan yang hanya "dipasang namanya" untuk memenuhi kuota tersebut tanpa benar-benar terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Selain itu, KPI juga mengkritisi dominasi laki-laki dalam struktur kepemimpinan alat kelengkapan dewan di DPR. Hingga kini, posisi-posisi penting seperti pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan lainnya masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini menjadi persoalan besar, terutama di komisi yang membidangi isu-isu perempuan. Contohnya adalah Komisi VIII yang menangani urusan perempuan, kesehatan, dan agama, di mana pimpinan komisi tersebut masih didominasi oleh laki-laki. Bayu berpendapat, bagaimana mungkin laki-laki bisa memahami sepenuhnya kebutuhan perempuan, seperti soal kesehatan reproduksi, ekonomi rumah tangga, atau kekerasan berbasis gender?

Masalah lainnya adalah kekerasan berbasis gender yang sering kali dialami perempuan dalam kontestasi politik, terutama di dunia maya. Menurut catatan KPI, sedikitnya ada 23 perempuan yang terlibat dalam Pemilu 2024 menjadi korban kekerasan online, seperti doxing dan perundungan di media sosial. Kekerasan ini terjadi pada berbagai tahapan Pemilu, mulai dari masa kampanye, pencoblosan, hingga pasca pemilu. Bayu pun menekankan pentingnya agar revisi UU Pemilu mencantumkan perlindungan khusus bagi calon dan penyelenggara perempuan, terutama terkait dengan kekerasan seksual dan digital.

Lebih lanjut, KPI juga menekankan perlunya meningkatkan kapasitas legislator perempuan. Agar perempuan yang duduk di parlemen bisa lebih berdaya, mereka harus dibekali dengan kemampuan negosiasi, lobi, dan penggalangan dukungan. Bayu menegaskan, dunia politik di parlemen itu keras, dan perempuan harus memiliki "amunisi" yang cukup agar bisa bertahan dan berkontribusi secara efektif.

Namun, meskipun ada desakan kuat untuk melakukan revisi UU Pemilu, Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada keputusan resmi mengenai revisi UU Pemilu di parlemen. Keputusan mengenai waktu dan forum pembahasan masih berada di tangan pimpinan DPR. Rifqi pun menegaskan bahwa Komisi II siap mendukung penuh proses pembahasan revisi tersebut jika diputuskan untuk dibahas bersama pemerintah.

“Komisi II ini sudah terbiasa menjadi makmum yang baik,” ujar Rifqi, sebagaimana dikutip dari laman Antara melalui laman Hukum Online.

Kondisi ini menunjukkan bahwa, meskipun ada dorongan kuat untuk memperbaiki sistem dan meningkatkan peran perempuan di dunia politik, keputusan politik yang jelas dan tegas masih diperlukan agar perubahan tersebut dapat terjadi secara nyata. Revisi UU Pemilu menjadi kunci untuk menciptakan sistem yang lebih inklusif dan berpihak pada perempuan, serta memastikan bahwa perempuan yang berpartisipasi dalam politik dapat dilindungi dan diberdayakan secara maksimal.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Share Artikel:

Oleh: Ida Umy Rasyidah

Artikel Pilihan