Menu

5 Tradisi Upacara Adat Unik di Jawa Timur, Sudah Tahu?

07 April 2021 14:40 WIB
5 Tradisi Upacara Adat Unik di Jawa Timur, Sudah Tahu?

Rumah Joglo Situbondo, Rumah Adat Provinsi Jawa Timur. (Pinterest/Widya)

HerStory, Bandung —

Jawa Timur adalah salah satu daerah provinsi di Indonesia yang memiliki ragam kekayaan budaya yang melimpah. Berbagai etnis dan suku bangsa turut mendiami wilayah ini dengan berbagai warna dan keunikannya masing-masing.

Jawa Timur juga dikenal sebagai daerah dengan banyak upacara ada yang memiliki keunikan tersendiri. Meski beberapa telah dipengaruhi oleh berbagai budaya dari luar, upacara adat Jawa Timur masih memiliki karakter yang khas dan patut untuk ditelusuri.

Berikut lima upacara adat Jawa Timur yang telah dirangkum dari berbagai sumber, (07/04/2021).

1. Larung Sembonyo 

Larung Sembonyo adalah upacara adat sedekah laut yang telah dilakukan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang oleh masyarakat lokal nelayan Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan bentuk ungkapan rasa syukur bagi masyarakat setempat atas hasil laut yang melimpah.

Selain itu, upacara Larung Sembonyo juga merupakan bentuk permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika mencari ikan di laut. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kebudayaan Kota Trenggalek, terutama masyarakat pesisir Pantai Prigi.

Konon, upacara Larung Sembonyo ini lahir dari cerita rakyat mengenai peristiwa gaib ketika seorang Tumenggung dan pasukannya melakukan babat alas atau perluasan wilayah di daerah tersebut. Cerita tersebut juga melahirkan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat pesisir Pantai Prigi.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara Larung Sembonyo juga merupakan bentuk rasa hormat kepada leluhur yang telah membuka wilayah tersebut sebagai pemukiman. Tumenggung Yudho Negoro dan keempat saudaranya dianggap tokoh penting sebagai orang yang pertama kali membuka lahan di daerah tersebut.

Ketika tradisi ini tak dilaksanakan, masyarakat akan merasakan ada sesuatu yang kurang. Dipercaya bahwa apabila upacara adat ini tidak dilaksanakan, maka akan terjadi berbagai kesulitan, seperti gagal panen, tangkapan ikan yang sulit, wabah penyakit, hingga bencana alam dan berbagai kesulitan lainnya.

Pada tahun 1985, dikabarkan bahwa Upacara Larung Sembonyo ini berkembang kembali dan diselenggarakan secara besar-besaran, yang sebelumnya pernah berhenti karena kondisi politik yang kurang mendukung. Sampai saat ini, tradisi ini telah menjadi agenda rutin warga Trenggalek dan didukung oleh pemerintah Kabupaten Trenggalek sebagai pelestarian budaya.

Upacara Larung Sembonyo biasa diselenggarakan pada Senin Kliwon, bulan Selo, menurut penanggalan Jawa. Upacara ini juga memiliki berbagai istilah lain, seperti: Sedekah Laut, Upacara Adat Sembonyo, Mbucal Sembonyo, atau Bersih  Laut.

2. Upacara Dam Bagong

Upacara Dam Bagong merupakan salah satu upacara adat Jawa Timur, khususnya pada masyarakat Dam Bagong, Kelurahan Ngantru, Kabupaten Trenggalek. Upacara ini berupa persembahan kepala kerbau yang dilarung ke bendungan Dam Bagong sebagai penghormatan terhadap seorang leluhur pahlawan tani, Ki Ageng Menak Sopal.

Dikisahkan, Ki Ageng Menak Sopal dikenal sebagai seorang pemuka agama yang berjuang meyebarkan Agama Islam di daerah Trenggalek. Selain itu, beliau juga dianggap sebagai pahlawan tani yang telah berjasa membangun pusat irigasi persawahan dan membangun bendungan Dam Bagong.

Pelaksanaan upacara Dam Bagong ini diawali dengan penyembelihan satu ekor kerbau. Daging kerbau tersebut nantinya akan dibagikan kepada masyarakat. Sedangkan kepalanya akan dilarung ke Sungai Bagong. Sebelum dilempar ke bendungan, potongan kepala kerbau tersebut dan beberapa tubuh lainnya akan diarak keliling kampung menuju makam Ki Ageng Menak Sopal.

Dengan diadakannya upacara seperti ini, masyarakat setempat berharap agar wilayahnya senantiasa mendapatkan kedamaian dan ketenteraman.

3. Upacara Kebo-Keboan

Kebo-Keboan adalah sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Osing (Using) yang mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Tradisi Kebo-Keboan sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian, yang dilaksanakan untuk meminta kesuburan tanah, panen yang melimpah, serta terhindar dari malapetaka, baik yang menimpa tanaman maupun manusia.

Menurut cerita yang berkembang, tradisi Kebo-Keboan ini berawal ketika daerah Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu munculnya berbagai hama penyakit yang menyebabkan matinya tanaman pertanian.

Untuk mengatasi bencana tersebut, seorang tokoh masyarakat bernama Buyut Karti melakukan sebuah ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah,

Rupanya, ritual tersebut dianggap mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Dari situlah, tradisi Kebo-Keboan kemudian diadakan secara rutin setiap tahun sekali.

Upacara Kebo-Keboan di Dusun Krajan ini biasa dilaksanakan setiap tahun sekali, yaitu pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Suro (tanpa melihat hari pasaran).

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan keramat. Sementara hari Minggu adalah hari dimana masyarakat libur bekerja, sehingga dapat mengikuti jalannya upacara tersebut.

Seminggu menjelang upacara Kebo-Keboan, biasanya masyarakat Dusun Krajan akan mengadakan kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan rumah dan dusun.

Kemudian sehari sebelum upacara, ibu-ibu bersama-sama mempersiapkan sesajian yang terdiri dari: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, ingkung ayam, dan sebagainya. Selain untuk acara selametan, seluruh sesajian tersebut nantinya akan diletakkan di setiap perempatan jalan Dusun Krajan.

Acara Kebo-Keboan dibuka dengan sebuah upacara sederhana di Petaunan yang dihadiri oleh panitia, para tokoh, dan beberapa warga Krajan. Upacara pembuka ini hanya berupa kata sambutan, doa, dan dilanjutkan dengan makan bersama.

Lalu, upacara dilanjutkan dengan pawai ider bumi berkeliling Dusun Krajan menuju bendungan air yang diikuti oleh para tokoh, seorang pawang, dua pasang kebo-keboan, para pembawa sesajian, dan para pemain musik hadrah dan barongan.

Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami palawija oleh para pemuda.

Sementara para peserta upacara menuju ke area persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah, kebo-keboan mulai memperlihatkan perilakunya yang menyerupai seekor kerbau yang sedang membajak sawah dan berkubang.

Saat mereka berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah dan menanam benih padi. Setelah tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru saja ditanam tersebut. Benih-benih tersebut dipercaya dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan, serta membawa berkah.

Di saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai sehingga kesurupan tersebut akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, kebo-keboan tersebut tidak sampai mencelakai karena telah dikondisikan oleh pawang.

Setelah selesai, para kebo-keboan tersebut disadarkan kembali oleh sang pawang dan kembali ke Petaunan.

4. Upacara Seblang

Upacara Seblang adalah sebuah ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Osing di Desa Bakungan dan Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Ritual ini dilakukan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala, supaya lingkungan desa dalam keadaan aman dan tentram.

Pelaksanaan ritual Seblang di dua desa tersebut memiliki sejumlah perbedaan. Di Desa Olehsari, ritual ini dilaksanakan seminggu setelah hari raya Idul Fitri dengan penari perempuan yang masih perawan. Sedangkan di Desa Bakungan, diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha dengan penari yang telah menopause.

Dalam ritual tersebut, sang penari akan menari selama tujuh hari berturut-turut dalam kondisi kerasukan roh leluhur. Para penarinya sendiri dipilih secara gaib oleh seorang gambuh atau pawang, yang biasanya penari yang dipilih juga berasal dari keturunan penari Seblang sebelumnya.

Ritual tari Seblang ini dimulai dengan sebuah upacara yang dibuka oleh sang gambuh. Sang penari ditutup matanya oleh kaum ibu-ibu yang berada di belakangnya, sembari memegang sebuah tempeh (nampan bambu).

Sang gambuh lalu mengasapi sang penari dengan asap dupa sembari membacakan mantra. Setelah sang penari mengalami kejiman (kerasukan) yang ditandai dengan jatuhnya tempeh yang dipegangnya, pertunjukan tari Seblang pun dimulai.

Penari Seblang yang telah kejiman tersebut lalu menari-nari dengan gerakan monoton, mata terpejam, serta mengikuti arahan sang gambuh dan irama gendhing yang dimainkan. Bahkan, sang penari sampai berkeliling desa sambil menari.

Setelah beberapa saat, penari Seblang tersebut melempar selendang yang digulung ke arah penonton. Penonton yang terkena lemparan selendang tersebut harus mau ikut menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka ia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.

5. Grebeg Suro Ponorogo

Grebeg Suro adalah sebuah acara tradisi budaya tahunan masyarakat Ponorogo dalam bentuk pesta rakyat. Berbagai kesenian dan tradisi ditampilkan meliputi Festival Reog Nasional, Pawa Lintas Sejarah dan Kirab Pusaka, dan Larungan Risalah Doa di Telaga Ngebel.

Acara ini biasa dirayakan setiap tahun pada tanggal 1 Muharram atau 1 Suro menurut kalender Jawa. Acara ini merupakan kegiatan awal dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Jawa Timur setiap tahun.

Rangkaian acara Grebeg Suro biasanya diawali dengan prosesi penyerahan pusaka ke makam bupati pertama Ponorogo. Lalu disusul dengan pawai ratusan orang menuju pusat kota dengan menunggang bendi dan kuda yang telah dihiasi.

Berikutnya, lalu ada Festival Reog Nasional di alun-alun Kota Ponorogo. Puluhan grup reog di Jawa Timur, bahkan dari Kutai Kartanegara, Jawa Tengah, Balikpapan, hingga Lampung, turut tampil memeriahkan festival tersebut.

Dalam sejarahnya, acara Grebeg Suro Ponorogo ini berawal dari kebiasaan masyarakat, terutama kalangan warok, yang setiap malam 1 Suro mengadakan tirakatan semalam suntuk dengan mengelilingi kota dan berhenti di alun-alun Ponorogo.

Sampai pada tahun 1987, Bupati kala itu, Soebarkah Poetro Hadiwirjo, melihat fenomena ini dan melahirkan gagasan kreatif untuk mewadahi kegiatan mereka dengan kegiatan yang mengarah pada pelestarian budaya.

Bermula dari ditengarainya minat para pemuda yang mulai luntur terhadap kesenian khas Ponorogo, diadakanlah Grebeg Suro Ponorogo dan memasukkan kesenian reog di dalamnya.

Baca Juga: Resep Praktis Krengsengan Ayam Khas Jawa Timur Obat Ampuh Tangani Perut Keroncongan, Nasi Pasti Langsung Ludes Moms!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.