Menu

Di Balik Keputusan TNI AD Hapus ‘Tes Keperawanan’, Simak Kisah Inspiratif Inisiator Pembuat Petisi, Latisha Rosabelle, Berikut Ini

01 September 2021 14:05 WIB
Di Balik Keputusan TNI AD Hapus ‘Tes Keperawanan’, Simak Kisah Inspiratif Inisiator Pembuat Petisi, Latisha Rosabelle, Berikut Ini

Inisiator pembuat petisi #StopVirginityTestsID atau penghapusan ‘tes keperawanan’ bagi calon prajurit wanita, Latisha Rosabelle. (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Inisiator pembuat petisi #StopVirginityTestsID atau penghapusan ‘tes keperawanan’ bagi calon prajurit wanita, Latisha Rosabelle, merasa lega sekaligus bahagia, karena perjuangannya saat masih siswi kelas 10 atau kira-kira tahun 2016 lalu itu direspons positif oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD), Jenderal Andika Perkasa.

Ya seperti diketahui, baru-baru ini Jenderal Andika Perkasa menegaskan bahwa institusinya telah resmi menghentikan praktik kontroversial ‘tes keperawanan’ pada perempuan calon prajurit.

Meski belum ada dokumen terbuka secara formal bahwa ‘tes keperawanan’ itu sudah dihapus, perempuan yang karib disapa Tisha itu bahagia karena setidaknya usahanya selama 4 tahun itu membuahkan hasil.

Lantas, apa sih yang mendorong Latisha menggagas petisi penghapusan ‘tes keperawanan’ bagi calon prajurit wanita ini?

Dalam Konferensi Pers “Penghapusan ‘Tes Keperawanan’ Angkatan Bersenjata: Kemenangan untuk Perempuan?”, Latisha menuturkan bahwa sebagai anak 'Indo', ia pernah punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan militer agar dapat melindungi banyak masyarakat. Tapi, niat menjadi prajurit itu ia urungkan saat tahu di institusi militer itu mewajibkan ada ‘tes keperawanan’.

Ia pun lantas mempertanyakan korelasi tes keperawanan dengan kapasitas dan kualitas para calon prajurit. Bahkan ia sempat bertanya langsung kepada dua prajurit wanita yang ia temuinya meski sesaat, tentang masih ada atau tidak tes keperawanan dilakukan.

“Alasan saya menggagas petisi ini awalnya saat itu saya masih kelas 10 SMA dan masih menulis makalah riset pendek tentang konsep tes keperawanan di Indonesia. Digabung dengan minat menjadi prajurit, ketertarikan kepada kesehatan perempuan dan pertemuan singkat dengan dua prajurit wanita akhirnya saya menulis petisi pada tanggal 18 Maret 2017. Pertemuan dengan dua prajurit wanita itu sebenarnya tak sengaja, saya bertanya ke mereka apakah tes keperawanan masih berlanjut, mereka langsung takut, saling menatap wajar satu sama lain, dan tidak bicara. Itu jadi konfirmasi yang cukup bagi saya. Dari situ saya berpikir, daripada terjun langsung menjadi prajurit dan mengikuti segala rangkaian ‘tes keperawanan’ itu, kesannya apa mau saya jadi bagian institusi yang dimana ada proses ini? Jadi akhirnya oke, saya mending bikin petisi dulu. Ditambah dengan sumber terpecaya seperti Human Right Watch, maka saya putuskan untuk lanjut,” beber Latisha, saat konperensi pers virtual, Rabu (1/9/2021).

Latisha juga mengungkapkan, saat menggagas petisi tersebut, ia dan bahkan keluarganya pun sempat ragu apakah ‘tes keperawanan’ ini masih dilakukan atau tidak.

“Keluarga saya pun bertanya, ‘bagaimana kamu bisa tahu kalau tes itu masih ada’, dan jawaban saya ‘kalau memang sudah berhenti kenapa TNI tidak mengumumkannya’. Komentar-komentar di laman change.org itu juga menunjukan jelas masyarakat Indonesia itu mendukung pemberhentian ‘tes keperawanan’. Dan memang bisa menang dengan langkah seperti ini. Keyakinan inilah yang mendorong saya tetap maju, saat petisi mencapai 43 ribu tanda tangan, saya mulai kontak media dan pemerintah lewat email namun tak ada tim redaksi yang tertarik satupun dan kepada Puspen TNI, Komnas HAM, KemenPPPA, dan KSP, saya meminta dengan pihak berwenang untuk diskusi masalah ini. Dan hanya 1 yang menjawab dan mengundang untuk audiensi, yakni KSP. Audiensi dengan tim peremuan, anak, dan kesehatan di KSP pada 4 Maret 2021 memberikan kredibilitas pergerakan petisi ini,” jelas Latisha.

Latisha melanjutkan, selang empat hari pertemuan dengan pihak KSP, tepatnya pada Hari Perempuan Sedunia, ia pun melanjutkan mengirim surat resmi dengan menyertakan 5 permintaan terkait penghapusan ‘tes keperawanan’. Adapun, surat itu mencantumkan jumlah pendukung petisi yang saat itu berjumlah 63 ribu tanda tangan dan ditujukan ke KASAD, KSAU, KASAL.

“Dalam surat itu saya memberikan 3 alasan terutama mengapa ‘tes keperawanan’ ini harus dihapus. Pertama, prosedurnya itu tak berbasis ilmiah. Kedua, melanggar HAM. Dan ketiga, tes ini adalah bentuk diskriminasi berbasis gender. Dan selain menunggu surat dari KASAD, KSAU, dan KASAL, ketiga surat itu juga saya tembus ke Presiden RI, Panglima TNI, Kapolri, Dirjen Pertahanan Keamanan Kemenkumham, deputi bidang keseteraaan gender di KemenPPPA, Dirjen HAM KemenkumHAM, Komisioner pemantauan Komnas HAM, KSP, dan masih banyak lagi,” paparnya.

Ia pun membeberkan, di tengah proses perjuangannya itu, ia pun dibantu orang-orang yang menurutnya sangat berjasa dan bekerja keras hingga akhirnya petisi ini pun menang.

“Dan di tengah proses itu saya dibantu oleh orang-orang yang ada di panel ini. Yakni, Brigadir Jenderal (Purn.) Sri Rumiyati (penggerak penghentian ‘tes keperawanan’), Faye Simanjuntak (pendiri Rumah Faye), Andreas Harsono (peneliti Human Rights Watch), dan dr. Putri Widi (dokter dan penggerak isu perempuan). Merekalah yang telah bekerja keras dalam gerakan ini, mereka melakukan penelitian utama, audiensi dengan pihak-pihak berwenang, dan kenal langsung dengan perempuan-perempuan luar biasa yang hak-haknya dilanggar karena ingin mengabdi untuk Negara,” terang Latisha.

Lalu, pada tanggal 30 Juli, lanjut dia, Komnas HAM merespon surat yang dikirimkannya. Jawaban Komnas HAM, tak akan ada tindak lanjut karena sesuai undang-undang. Tetapi langkah Tisha sudah melewati proses yang lebih efektif, yaitu kontak TNI secara langsung.

Dan 3 hari selanjutnya, lanjut Latisha, Human Right Watch pun menerbitkan artikel tentang KASAD yang menghapuskan ‘tes keperawanan’ di TNI. Saat itu, KASAD bilang tes kesehatan buat laki-laki dan perempuan akan dibuat sama.

Kini, setelah perjuangannya ‘menang’ dan direspon oleh KASAD, Latisha pun tak langsung berpuas diri. Ia berharap, penghapusan ‘tes keperawanan’ di TNI AD sendiri akan diresmikan dalam dokumen yang terbuka ke publik dan diimplementasikan secara efektif.

“Saya juga harap para pemimpin pemimpin TNI mengimbau atau setidaknya mengajak pihak TNI AL dan AU untuk menunjukkan komitmen yang sama," tandasnya.

“Sebetulnya setelah menutup kemenangan di change.org, saya sempet menyesal wah jangan-jangan terlalu cepat lagipula kebijakan tersebut belum diimplementasikan, tak kelihatan publik, dan pihak TNI AL dan AU belum menunjukan komitmennya,” sambung Latisha.

Lebih jauh, Latisha pun berterimakasih ke semua orang yang berpartisipasi dalam gerakannya ini. Menurutnya, 68 ribu tanda tangan itu telah memberikan gerakan ini sebuah panggung buat platform, karenanya ia pun sangat-sangat berterima kasih ke semua orang yang telah bersedia membubuhkan tanda tangan di petisinya.

“Dan kepada pihak TNI AL dan AU, saya senantiasa menunggu bukti lebih bahwa ‘tes keperawanan’ sudah berhenti. Dan jika setelah panel ini masyarakat belum melihat bukti perubahan dari TNI, saya bersedia untuk membuka petisi lagi dengan permintaan yang lebih khusus. Lebih baik saya yang salah dan malu kalau memang tes sudah berhenti, daripada membiarkan kemungkinan lebih banyak perempuan akan trauma,” pungkas Latisha.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.