Menu

Kisah Sukses Alamanda Shantika, Rela Angkat Kaki dari Go-Jek Demi Lahirkan Binar Academy: Sekolah Coding Gratis!

15 Oktober 2021 22:45 WIB
Kisah Sukses Alamanda Shantika, Rela Angkat Kaki dari Go-Jek Demi Lahirkan Binar Academy: Sekolah Coding Gratis!

Alamanda Shantika Santoso, Founder dan Presiden Direktur Binar Academy (Instagram/@alamandas)

HerStory, Bogor —

Alamanda Shantika Santoso, wanita satu ini sangatlah menarik perhatian. Betapa tidak, Ala, begitu ia kerap disapa, merupakan satu dari sekian wanita di Indonesia yang  bisa masuk di dunia teknologi, bidang yang kerap identik kaum Adam.

Bagi orang-orang yang memperhatikan perkembangan digital startup di Indonesia pasti gak asing dengan namanya. Bersama Nadiem Makarim, Ala merintis Go-Jek dari nol hingga bisa menjadi salah satu digital startup paling besar di Indonesia. Tapi, di saat Go-Jek sudah mulai stabil, dia justru memilih hengkang dan untuk fokus meraih mimpinya saat kecil di bidang pendidikan, yakni membangun Binar Academy.

Lantas, seperti apa kisah awal Alamanda sehingga ia bisa sampai di titik menemukan mimpinya?

Saat sesi  iStyle.id Webinar Series #1 - Taking Chances and Build Your Own Dream like Seo Dal Mi in K-Drama “Start Up”, Alamanda pun tak segan berbagi kisah hidupnya hingga menjadi sesukses sekarang. Seperti apa?

“Jadi singkat cerita aku itu waktu kecil suka bolos sekolah. Aku benci banget sama yang namanya sekolah. Tapi aku bolos sekolah buat ngejalanin kesukaan aku di rumah, yaitu main komputer untuk explore internet. Dan di saat umur 13 tahun, dimana internet masih eksklusif banget ya di Indonesia, jadi gak begitu banyak yang bisa mengaksesnya. Tapi aku punya kesempatan itu di rumah. Jadi saat itu aku bener-bener ‘wah ini maenan baru nih, kok aku bisa lihat dunia lebih luas, dari sekedar kotak yang ada di mataku’. Nah berangkat dari curiousity itu aku sampai akhirnya belajar coding, programming, belajar desain, belajar bikin musi, dsb. Jadi a lot of thanks yang aku lakuin di komputerku. Dan di situ aku menemukan bahwa belajar itu menyenangkan. Aku gak ngeliat belajar itu sebagai beban tapi jadi sesuatu hal yang aku tunggu-tunggu. Sampai aku membongkar komputer sampai ke dalam-dalamannya, karena pengen tahu part-part yang ada di dalam. Jadi aku itu sebenarnya anak yang gak suka sekolah, tapi aku suka banget sama yang namanya belajar. Selain main komputer aku juga suka baca buku. Suka cari buku indie yang ada di Kwitang. Dan di situ aku banyak nemuin buku-buku sufi dan di situ aku mulai suka baca dan akhirnya aku pun bisa ngeluarin bukuku juga, yaitu kumpulan puisi dan prosa saat aku masih kuliah. Dan bukuku yang kedua juga baru launching beberapa tahun kemarin, judulnya Purpose - Living in The Purpose,” papar Ala, sebagaimana dipantau HerStory, Jumat (15/10/2021).

Dengan pengalaman di masa kecilnya  itu, Ala pun punya mind set sendiri bahwa harusnya belajar itu menjadi hal yang natural yang harus dilakukan semua orang. Saat SMP, Ala bilang ia masuk kelas akselerasi, tapi saat itu Ala mengaku bahwa ia adalah murid yang paling bandel. Dia pun mengaku tak pintar soal pelajaran geografi.

“Jadi, jangan tanya aku Paris itu negara atau kota, karena aku gak bisa membedakan, kalau nanya matematika boleh deh. Jadi waktu di sekolah tuh geografi tuh jelek, orang tuaku dipanggil. Dan saat itu semua mata langsung tertuju ke aku, pikirannya kan orang tua dipanggil itu berarti ada apa-apa. Karena hal itu, nilai aku jelek, orang tuaku dipanggil, aku jadi merasa dipermalukan dan mengalami trauma jadi gak pengen belajar. Padahal yang aku pelajari dari hidup, kita itu belajar justru dari kesalahan yang diperbuat,” bebernya.

Wanita lulusan Universitas Bina Nusantara ini pun mengaku bahwa ia sangat menyukai matematika dan IT karena mampu membuatnya belajar lebih dalam tentang problem solving. Ketertarikannya untuk memecahkan masalah juga terlihat dari seringnya dia melakukan bongkar-pasang mobil mainan sewaktu kecil.

“Aku suka banget sama matematika, karena papaku pas aku umur 3 tahun itu ngasi buku matematika, ngajarin berhitung, makanya aku jadi jatuh cinta sama matematika,” imbuh Ala seraya sambal tertawa.

Dan ketika sudah bisa coding, Ala pun tak segan mempraktikkan kemampuannya dengan membuat halaman blog sendiri yang berisi esai-esai, puisi-puisi, desain buatannya. Ya, selain matematika dan IT, Ala juga suka menulis dan mendesain.

Menariknya, ketika akan lulus SMP pun Ala mengaku sudah punya gambaran tentang masa depannya. Kata dia, ia berkeinginan kuliah di jurusan matematika, lalu ingin menjadi guru di SMA tempatnya menimba ilmu. Ia pun juga punya mimpi untuk mengambil S2, jadi dosen, hingga jadi guru besar. Dan itu sudah ada di pikiran Ala saat masih SMP.

Namun, apa yang dimimpikan Ala itu gak bisa berjalan mulus. Ketika akan kuliah, ayahnya terserang stroke kedua kalinya, hal ini membuat Ala harus berjuang membiayai diri sendiri dan pendidikannya. Termasuk berjualan DVD bajakan, jaket replika Adidas, dan jadi guru privat, demi memenuhi biaya hidupnya saat itu. Hingga akhirnya ia punya perusahaan sendiri pada usia 21 tahun.

“Ya, siapa sangka ya, ternyata jalan hidup orang bisa berubah. Pas aku mau kuliah papaku kena stroke yang kedua, dan akhirnya orang tuaku gak bisa menyekolahkan aku ke kuliah dan di situ aku harus struggle untuk membiayai diriku sendiri dari hidup sampai kuliah. Jadi dari situ aku melakukan berbagai macam hal untuk bisa hidup. Dari mulai jualan DVD bajakan, jualan jaket replika Adidas, sampai ngajar privat matematika, fisika, kim,a untuk anak SD, SMP, dan SMA. Dari situ aku struggle, yang akhirnya apa yang aku punya, modal yang aku punya, nol rupiah, karena aku cuma punya diri sendiri doang gitu, jadi segala kemampuan yang aku punya aku kerahkan hingga akhirnya aku punya perusahaan sendiri di umur 21 tahun,” terang Ala.

Dikatakan Ala, berkat ilmu coding yang ia pelajari dari umur 13 tahun, akhirnya ia pun membuat perusahaan yang mem-provide bikin website untuk fashion-fashion brand lokal di Indonesia saat itu.

“Itu di tahun 2011, di saat masih sedikit banget orang-orang yang bisa bikin website. Jadi hidup aku dulu itu akhirnya yang mengantarkan aku ke dunia teknologi digital, dan akhirnya dari situ barulah aku jadi entrepreneur. Tapi aku mikir, aku masih terlalu muda untuk jadi entrepreneur, dan aku bilang ke diriku, aku pengen kerja dulu deh sama orang. Jadi aku akhirnya banting setir. Aku kerja sama orang, mulai lagi dari nol, di umur aku yang sekitar 23-24 tahun. Aku menapaki karir dari bawah banget. Kerja di tempat orang dan akhirnya aku ketemu Mas Nadiem Makarim dan akhirnya membangun Go-Jek waktu itu dari nol, dari aplikasinya belum ada aku ngebangun timnya,” tutur Ala.

Dari situ,  Ala pun akhirnya menjelma menjadi sosok wanita yang menyuguhkan pendekatan berbeda di lingkungan kerjanya. Cara berpikirnya bukan tentang menciptakan aplikasi teknologi semata. Ala punya mata yang jeli untuk mengidentifikasi persoalan dan menawarkan solusi. Sedangkan jiwa artistiknya, melahirkan sisi humanis yang sangat membantu dalam memahami karakter orang-orang yang bekerja dengannya.

Namun, setelah Go-Jek cukup besar, dan jadi first unicorn company di Indonesia, Ala pun memutuskan meneruskan mimipinya di bidang pendidikan. Sebelum terjun ke start-up teknologi, Ala bercerita selalu punya ketertarikan untuk berkarier di dunia pendidikan.

“Akhirnya aku keluar untuk memutuskan aku pengen persuit my dream in education. Jadi balik lagi, di situlah turning point-nya, di mana aku akhirnya banting setir pengen fokus di education tapi ternyata jalan aku yang kemarin aku masuk di dunia digital itu bener-bener membekali aku nyampe ke titik yang aku impikan,” papar Ala.

Lantas, apa sih tantangan yang dihadapi Ala selama mengejar dan mewujudkan mimpi?

“Mungkin aku cerita sedikit gambaran dulu ya, terkait apa sih masalah yang aku soft dari Binar Academy ini. Tadi kan aku cerita soal ketidaksukaan aku sekolah. First, itu jadi satu pegangan di Binar. Jadi di situ aku mem-package pembelajaran itu jadi sesuatu yang menyenangkan. Kita punya materi gratis, dan bisa dicoba-coba baca. Jadi satu chapter di Binar Academy itu sama dengan kita membaca 200 halaman buku. Nah karena tujuan utamaku adalah yang dulu aku bilang sama diriku sendiri, aku tuh suka banget baca, belajar, tapi kenapa ya buat temen-temenku tuh belajar jadi hal sulit buat mereka. Aku pikir mungkin mereka gak menemukan enjoyment, gak menemukan kebahagiaan dalam belajar. Nah itu salah satu hal yang kita sebenernaya banyak banget ngelakuin riset di Binar, gimana caranya menciptakan cara belajar yang sangat menyenangkan, jadi kita mau membumikan teknologi bahwa semua orang itu bisa belajar. Dunia teknologi itu gak semenyeramkan yang dibayangkan, semua orang bisa masuk. Jadi kita menggunakan bahasa-bahasa yang simple. Jadi gak kayak aku dulu ya kalau mau masuk kelas itu kayak masuk ke planet laen,” beber Ala.

Karena hal itu, Ala pun mengaku, beberapa waktu ke belakang dirinya mendalami bagaimana cara otak manusia itu bekerja. Karena ternyata semua yang dia bikin itu selalu berhubungan dengan otak manusia.

“Kayak dulu waktu aku bikin aplikasi Go-Jek, sebenernya yang aku lakukan adalah membuat produk dan bagaimana manusia ini bisa bereaksi dengan produk yang aku bikin. Sama seperti aku membuat cara belajar yang baru. Itu bener-bener yang berhubungan banget sama otak manusia. Jadi salah satu yang aku pelajari tentang cara otak manusia bekerja ya. Yang di sekolah dan kuliah itu dulu salah melakukannya, dimana manusia itu kalau mau belajar ke satu titik, dia itu harus mulai dari satu titik yang dia mengerti dulu,” imbuhnya.

“Itu kenapa kita seneng banget lihat di Instagram konten-konten yang relateable sama kita. Jadi cerita-cerita yang relateable sama kita kemudian baru dari cerita itu ditambahkan knowledge baru. Nah itu caranya. Jadi hal-hal ini yang kita riset dalem banget di Binar Academy, agar temen-temen itu bisa belajar dengan tidak perlu merasa struggle untuk belajar sesuatu. Jadi itu yang pertama aku bener-bener mengubah bagaimana cara belajar dan kayak tadi aku bilang bahwa Binar Academy itu harus jadi sekolah yang saved place. Di Binar Academy kan kita ngajarin digital skill, programming, kita ngajarin desain aplikasi, bagaimana jadi seorang product manager, bagaimana membuat data menjadi insightfull, its all about technology. Jadi in fact, di Binar Academy itu tiba-tiba aja ada dokter ikutan kelas. Dan dokter ini bilang ke kita, saya walaupun dokter dan jauh dari dunia teknologi tapi saya merasa nyaman belajar di Binar Academy karena orang-orangnya sangat suportif, orang yang belum bisa itu dibantu. Karena yang tadi aku bilang, aku mau menciptakan saved place untuk semua orang bisa belajar, mau orang itu gak ngerti sama sekali, itu kita fasilitasi. Nah, jadi tantangan yang pertama mengenai learning experience,” sambung Ala.

Kemudian, Ala mengatakan bahwa tantang kedua adalah accessability. Menurutnya, problem edutech saat ini adalah anak-anak Indonesia itu cuma 35% yang setelah lulus SMA itu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

“Jadi bayangkan, ada 65% anak-anak Indonesia itu yang gak bisa kuliah jadi ini masalah besar yang harus kita hadapi. Bagaimana ekonomi kita bisa meningkat kalau SDM-nya tidak mampu. Jadi dari masalah itu kita juga sangat bertekad bahwa Binar Academy akan terus menciptakan pendidikan yang berkualitas tapi bisa diakses siapapun. Dan kita juga baru dapat akreditasi dari Finland, dimana udah sangat mirip dengan sistem pendidikan di Finland, kita tahu sendiri sistem pendidikan di Finland itu terbaik kedua di dunia. Jadi sistemnya mengedepankan emotional well-being dari student,” papar Ala.

Dan terakhir adalah employability. Ala bilang, sekarang itu ada sekitar 86% anak-anak Indonesia yang salah jurusan kuliah. Dan ia pun merasakan hal itu sendiri saat ia akan bangun Go-Jek.

“Saat di Go-Jek itu sulit banget untuk mendapatkan talenta-talenta yang aku butuhkan. Jadi ini problem nyata yang kita hadapi di Indonesia dan itulah yang aku coba untuk soft di Binar Academy. Kalau soal tantangan, itu banyak banget. tapi tantangan terbesar buat aku saat membangun perusahaan itu ternyata is not of building a company, tapi gimana aku bisa mengenal diriku lebih dalam lagi. Kalau orang ngeliat aku luarnya itu orangnya confident, kayak gak ada takut-takutnya. Tapi in reality itu setiap hari aku tuh masih ada aja ngelamin ketakutan-ketakutan itu. Dan dengan membangun perusahaan ini, aku nge-push diri aku untuk terus bisa feeling the layers karena aku itu seorang nahkoda yang lagi membawa kapal yang didalamnya ada banyak orang. Dan kapal ini akan berdampak ke lebih banyak orang lagi gitu. Kalau misalnya aku masih mengalami ketakutan-ketakutan itu, aku gak bisa meng-unlock potensi tim aku itu. Dan bagi aku, seorang leader itu sebenarnya udah bukan melulu ke teknikal, tapi lebih kepada bagaimana aku bisa men-support timku menjadi diri mereka yang terbaik. Sehingga itu bisa berdampak lebih banyak lagi kepada yang selama ini kita perjuangkan. Its really spiritual journey for me, menemukan diriku yang sebenarnya,” papar Ala.

Lalu kira-kira, menurut Ala, value apa yang harus dimiliki seseorang utamanya wanita supaya berani? Terkait hal itu, Ala pun punya pandangan yang sangat-sangat menarik.

“Sebelum ke value, menurutku yang penting juga itu purpose. Purpose orang itu beda-beda. Kayak aku waktu itu menemukan purpose-ku adalah waktu di Go-Jek, dimana di situ aku baru sadar. Jadi sebelum di Go-Jek kan aku struggle banget dimana ‘menyelamatkan hidup’, gimana caranya bisa makan. Dulu kan aku makan itu cuma dua kali dalam sehari, karena keterbatasan uang. Dan gimana caranya mengembalikan kehidupan keluargaku, karena dulu orang tuaku sangat berada. Tapi akhirnya pas aku di Go-Jek, di situ aku menemukan arti tujuan hidupku yang baru, dimana saat pertama kali aku launch apps Go-Jek saat itu aku merasa ‘wow banyak banget kehidupan orang yang aku beri dampak’. Karena sampai sekarang pun driver-driver Go-Jek itu pas aku ulang tahun, pas valentine, masih selalu ke rumah. Karena segitunya mereka berterima kasih, dan aku gak nyangka juga apa yang aku bikin itu sampai diapresiasi orang sebegitunya, karena itu bener-bener ber-impact ke hidup mereka. Di situ juga aku bisa menemukan bahwa source of inspiration itu bisa ditemukan bukan cuma dari Steve Jobs, atau orang-orang yang sudah sukses, tapi my source of inspiration itu mereka yang ada di jalanan. Karena di situ aku belajar banget tentang kehidupan. Akhirnya di situlah aku menemukan purpose baru dalam hidupku. Makanya juga aku bikin Binar Academy yang accessible karena aku pengen mengubah hidup banyak orang,” terang Ala.

“Itu yang harus kita punya pertama, setelah itu baru kita bisa ngomongin value apa yang bisa kita percayai di dalam hidup ini. Bagi aku yang pertama adalah selalu mengerjakan sesuatu itu dengan hati. Kalau udah punya purpose, kita jadi gak ada beban, karena kita tahu tujuan hidup kita apa. Kita juga harus punya semangat belajar, harus punya intergrity dan selalu juga punya kebiasaan untuk selalu bersyukur,” tandas Ala.

Lebih lanjut, Ala pun mengaku gak mengenal prinsip men's world dalam mengidentifikasi minatnya. Ia lebih memilih membebaskan pemikirannya yang secara tak langsung juga membebaskan dirinya sendiri.

“Jadi sebenarnya mind set yang aku bentuk di kepala ku sendiri untuk bisa jam in ke notebene tempatnya cowok. Yang pertama aku gak punya pemikiran itu. Karena aku dari kecil tuh emang seneng mobil-mobilan kan, itu sudah pasti aku bongkar. Karena boneka kan kalau dibongkar itu kapas. Jadi aku gak pernah men-separate antara ‘oh ini tuh mainan cowok, ini mainan cewek’. Jadi akhirnya aku gak mengkotakkan diriku sendiri. Aku bener-bener membebaskan pemikiran itu dan membebaskan diri aku sendiri. Aku seneng dapat orang tua yang support juga. Mereka bener-bener memberikan kebebasan ke aku. Karena dari hal yang kita sukai itu tumbuhkan rasa curiosity. Jadi prinsip aku pertama itu, aku gak pernah mengkotakkan diriku sendiri dan gak pernah memandang ‘oh itu tempat kebayakan laki-laki’. Jadi buat aku, jadi stereotip tentang pemisahan antara dunia pria dan wanita itu jangan diomongin terus. Karena semakin kita omongin, stereotip itu semakin besar,” papar Ala.

Kemudian, saat memulai Binar Academy, Ala juga bilang bahwa partisipasi murid wanita hanya 10 persen, namun sekarang sudah menyentuh 50 persen. Angka ini pun dicapai tanpa merilis program khusus wanita.

"Jadi kami memperbanyak fasilitator perempuan, yang mana akhirnya orang lihat, ini ternyata bukan tempat hanya untuk pria. Kami memperbanyak role model untuk para wanita,” pungkas Ala.

Nah Beauty, itulah kisah sukses seorang Alamanda Shantika Santoso, semoga menginspirasi kamu ya!

Baca Juga: Siapa Sih Sosok Ci Mehong? Yuk Simak Kisah Inspiratifnya Sebagai Ibu Empat Anak yang Sukses Berbinis!

Baca Juga: Lika-Liku Perjalanan Bisnis Sambal Bu Rudy: Dari Pelarian hingga Sukses yang Gak Disengaja

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.