Menu

Pernah Merasa Anxiety, Bahaya Gak Ya? Cek Penjelasan Psikolog Ini

25 November 2021 18:17 WIB
Pernah Merasa Anxiety, Bahaya Gak Ya? Cek Penjelasan Psikolog Ini

Psikolog Klinis, Tara de Thouars, (Instagram/@tara_dethouars)

HerStory, Bogor —

Beauty, di masa pandemi ini bukan hal yang sangat mudah untuk kita dalam hal menjaga kesehatan mental. Dan tak bisa dipungkiri, kesehatan mental, terutama kecemasan, saat ini menjadi issue yang paling banyak dialami semua orang.

Menurut Psikolog Klinis, Tara de Thouars, setiap orang pasti pernah menghadapi suatu masalah hingga memantik rasa cemas atau bahkan anxiety. Kata dia, munculnya kecemasan sendiri biasa diawali dari rasa takut, atau bahkan kewalahan saat dihadapkan berbagai tekanan hidup. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijak, anxiety tersebut dapat menggiring seseorang ke dalam kondisi stress bahkan depresi.

Lantas sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan anxiety itu sendiri?

“Tubuh kita itu didesain untuk bisa survive, ada mekanisme dalam tubuh kita untuk bisa survive. Nah mekanisme itu ada di bagian otak kita. Jadi otak kita itu ada semacam alarm, yang fungsinya untuk memberikan tanda pada tubuh kita kalau seandainya kita sedang mengalami situasi yang membahayakan atau yang mengancam. Tubuh kita juga punya radar untuk mendeteksi bahaya. Radarnya adalah anxiety.Jadi saat kita anxiety,maka tandanya kita sedang merasa ada hal-hal yang sedang mengancam diri kita. Ancamannya sendiri macem-macem. Bisa kegagalan, bisa ditolak, bisa melakukan melakukan kesalahan, dinilai negative sama orang lain, bisa sakit, dikhianati, direndahkan, dll. Nah untuk itu tugas kita adalah menghindari ancaman itu. Kita harus bisa survive sebisa mungkin. Dan kalau kita bsia survive, maka biasanya yang kita lakukan, kita akan terus memprediksi situasi. Kita akan coba untuk memastikan bahwa segala hal itu harus berjalan dengan aman, harus sesuai dengan keinginan kita, itu sebabnya kita paling cemas kalau ketemu dengan uncertainty atau ketidakpastian. Terus kita jadi mengantisipasi segala sesuatu, dan malah berlebihan. Bahkan yang mungkin terjadinya itu 0,000 sekian persen, udah kita antisipasi. Belum tentu terjadi udah diekspetasikan dulu. Nah semakin kita berekspetasi, ini akan memunculkan gejala cemas. Masalahnya adalah gak semua hal bisa kita pastikan, ada banyak hal yang kita gak akan pernah tahu dan gak bisa cegah. Seperti halnya pandemi, masa depan kita, atau kesehatan kita sendiri. Tetap ada hal-hal yang tidak bisa kita pastikan,” jelas Tara, saat sesi virtual press conference TALKINC ‘Unlocking Limitless Imagination’, sebagaimana dipantau HerStory, Kamis (25/11/2021).

Kemudian, Tara pun memaparkan apa yang bakal terjadi ketika di tubuh saat kita mengalami rasa cemas atau anxiety.

Menurutnya, saat kita cemas, tubuh akan otomatis berubah menjadi survival mode. Pada saat ituyang terjadi adalah tubuh akan tegang, nanti nafasnya tersengal-sengal,jantung akan dipompa jadi deg-degan, dan sistem pencernaan kita pun akan mengami shut down.

Kenapa sistem percenaan bisa shut down? karena laper nggak dibutuhin untuk survival. Gak mungkin pada saat kita lagi butuh survival, di saat yang bersamaan kita laper, nggak mungkin. Makanya kalau kita lagi cemas biasanya asam lambung naik semua tuh. Atau kalau cemasnya udah panik banget pengen muntah, mulut juga jadi kering karena sistem pencernaan shut down. Selain itu, sistem imun juga akan shut down, makanya penyakit bakal muncul semua, otak kita juga semakin waspada, dan pikiran negatif kita akan semakin kencang karena kita harus memprediksi atau mengantisipasi,” imbuh Tara.

Tara pun mengungkapkan, kenapa survival mode ini dibutuhkan oleh tubuh kita saat kita terancam, karena ini akan membuat kita bereaksi menjadi 3 reaksi.

“Pada saat kita berada dalam survival mode, kita akan terdorong untuk melakukan tiga reaksi yang tujuannya adalah melindungi diri kita untuk memproteksi diri kita. Antara kita bisa jadi seperti Macan. Macan itu kan dia tahu dia punya cakar, dia punya taring, macan itu kalau lebih dalam keadaan cemas yang tinggi banget yang dilakukan dia pasti akan melawan. Macan ketikaada musuh, musuhnya akan diserang. Kalau dalam keseharian kita jadi macan, maka kita akan jadi marah-marah, akan agresif, defensive, akan jadi nyerang orang, nyalahin orang, itu contohnya. Itu adalah reaksi survival mode,” jelas tara.

Selain ‘menjadi’ macan, lanjut Tara, kita juga akan jadi seperti kelinci. Dimana, kelinci itu gak punya taring, gak punya cakar, tapi dia paham dia bisa meloncat jauh.

“Itu yang kelinci lakukan pada saat dalam keadaan tak menyenangkan atau saat cemas. Jadi dia akan menghindari situasinya. Contohnya pada kita misalnya kita jadi menghindari pekerjaan, atau seseorang yang bikin dia cemas, itu contohnya kalau kita jadi kelinci,” kata Tara.

Selain itu, sambung Tara, kita juga bisa juga seperti kura-kura. Dimana, kura-kura itu gak punya taring, gak punya cakar, gak bisa ngelawan, tapi dia juga nggak bisa kabur karena dia membawa tempurung.

“Jadi biasanya yang kura-kura lakukan dalam keadaan cemas tinggi dia kan diem aja, masuk ke dalam temkurung, baru kalau situasinya udah aman, dia. Ya kalau kalau di manusia kita sebutnya reaksi freeze. Contohnya seperti kita biasanya kita akan nggak ngerasain apa-apa ini, jadi blank. Mau kabur gak bisa, ngelawan juga gak bisa,” imbuh Tara.

Dikatakan Tara, kesemua reaksi yang dianalogikan seperti macan, kelinci, dan kura-kura merupakan reaksi yang ekstrem, bukan ideal. Reaksi itu akan muncul ketika kita dalam keadaaan survival mode. Dalam kondisi tertentu, kata dia, kita boleh bereaksi seperti ini.

“Jadi ketika kita sedang dalam keadaan atau berpikir negatif, maka di dalam otak kita, kita bisa mengolahnya lewat dua cara. Ada jalur cepat, ada jalur lambat. Jalur cepat itu berarti kita akan mengaktifkan otak berwarna merah. Otak berwarna merah ini adalah tempatnya tadi alarm, yang akan menyalakan survival mode.Begitu si alarm ini nyala, tubuh kita langsung berubah jadi survival mode, kita langsung akan reaktif, mau fight, flight, atau freeze,” papar Tara.

Menurut Tara, jika kita mau mengolah situasi dan pikiran negatif kita melalui jalur yang lambat, maka kita akan menggunakan otak berwarna biru. Dan otak biru ini, kata dia, tempatnya learning brain.

Jadi otak warna biru ini adalah tempatnya kita menyimpan data, informasi, dan memori-memori yang membuat kita bisa menganalisa sebuah masalah. Jadi kalau otak warna merah itu pusat emosi, otak warna biru itu pusatnya rasional, tempatnya kita belajar. Maka disebutnya learning brain. Nah kalau kita menggunakan learning brain pada saat pada situasi yang tidak menyenangkan atau yang mencemaskan, maka kita proses dulu nih. Ini aku harus cemas gak, situasinya seperti apa, faktanya bagaimana. Ini kalau kita menggunakan learning brain, kita bisa merespon dengan baik,” jelasnya.

Nah permasalahannya, kata Tara, otak merah dan biru tak mungkin bisa aktif bersamaan. Jika otak merah kita sedang aktif, lanjutnya, otak biru pasti nonaktif. Yang bisa kita lakukan adalah menjembataninya terlebih dulu.

“Ketika otak merah aktif banget perlu dijembatani dulu dengan cara briefing, supaya kita bisa mengakses otak biru. Karena kalau otak birunya gak bisa diakses, kita nggak bisa berpikir dengan kreatif dengan optimal, dengan objektif, gak bisa. Harus dijembatani supaya otak merahnya nonaktif dulu. Sekedar tarik nafas yang dalam, buang perlahan-lahan, lakukan ini paling tidak 3 sampai 5 menit. Tetapi dengan bener-bener otaknya kita fokusin ke nafas ya, bukan sambil bernafas kita sambal mikiran masalah. Seperti ini malah kita gak akan turun cemasnya. Take your self down, supaya kita bisa terus chill. Dengan kita lebih chill, baru kita bisa mengakses otak warna biru ini untuk bisa berpikir dengan lebih baik. Itu sebabnya dalam keadaan emosi tinggi kita nggak akan bisa menggunakan otak biru. Padahal otak biru itu adalah tempatnya data, informasi, memori, yang bisa membuat kita berkreasi seluas-luasnya. Jadi bisa dibayangkan, ketika kita tidak bisa mengakses otak warna biru, maka kemampuan kita akan jadi sangat terbatas,” imbuh Tara.

Lalu, apa yang terjadi saat kita tidak bisa mengakses otak warna biru? Yang pertama, kata Tara, kita akan jadi bereaksi berlebihan, antara fight, flight atau freeze.

“Tiba-tiba kita bisa marah-marah atau tiba-tiba malah jadi mematung. Terus bisa menghambat proses berpikir kita, karena otak birunya tidak aktif kita nggak bisa mengakses segala informasi yang kita punya di otak kita, sehingga kreativitas kita jadi ke-block. Nggak bisa mikir, nggak bisa punya ide, nggak bisa membuat keputusan dan itu akan mengacaukan keseimbangan tubuh kita. Dan yang terakhir itu akan membuat kita merasa kita berada bukan di area comport zone. Karena saat kita dalam keadaan cemas, begitu otak merah itu aktif, otak itu akan menginstruksikan kita untuk mencari aman supaya kita bisa survive. Ini akhirnya bikin oang jadi stuck di zona nyaman, dan bikin dia gak berkembang dan gak bisa mengoptimalisasikan potensinya. Karena otak kita ini selalu memprediksi bahaya,tuntas Tara.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.