Menu

Wanita Berpolitik? Siapkan Diri dari Sekarang!

15 Juli 2020 11:50 WIB
Wanita Berpolitik? Siapkan Diri dari Sekarang!

Ilustrasi affirmative action (Pinterest/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Tahukah kamu kalau pemilihan umum untuk legislatif akan diselenggarakan pada tahun 2024 ini regulasinya akan berbeda dengan Pileg Serentak 2019? Usulan revisi soal UU Pemilu sudah masuk dalam prioritas prolegnas DPR RI tahun 2020 ini.

Wanita yang mau berpolitik harus bergegas siap-siap, nih, kalau mau memastikan tercapainya target minimal 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada 2024. Tindakan afirmasi dan SDGs Perjuangan meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen sudah dilakukan sejak reformasi 1998 ada di negeri ini melalui dorongan kebijakan affirmative action. Tindakan afirmatif ialah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar wanita memperoleh peluang dan akses yang setara dalam bidang politik, Beauty. 

Ini bisa dianggap sebagai tindakan memberikan keistimewaan sementara pada wanita hingga dicapai representasi wanita 30% sebagai critical mass dalam parlemen. Kebijakan afirmasi melalui mekanisme kuota ini dianggap sebagai salah satu sarana memberi ruang yang lebih besar pada perempuan untuk meraih kursi legislatif. Implementasi kebijakan itu berupa kuota perempuan dalam kepengurusan parpol, penempatan perempuan di struktur kepemimpinan parpol, pencalonan minimal 30% di daftar caleg, serta penempatan minimal satu perempuan di antara tiga dalam daftar caleg parpol. 

Tapi ternyata, upaya memasukkan klausul penempatan perempuan caleg di nomor urut 1 di minimal 30rah pemilihan (dapil) dalam daftar caleg setiap parpol belum berhasil, lho. Hal ini terjadi pada Pemilu 2019, sebagian besar perempuan caleg gak berada pada nomor urut kecil. Padahal, hasil penelitian Puskapol UI menunjukkan, lebih dari 60% anggota legislatif terpilih berada pada nomor urut satu. Perpres No 59/2017 tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dikenal dengan istilah SDGs, dalam lampirannya menyebutkan salah satu sasaran pemberdayaan perempuan adalah untuk menjamin partisipasi penuh dan efektif. 

Ini menunjukkan kesempatan yang sama bagi wanita memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan masyarakat dengan sasaran nasional RPJMN, meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR RI. 

Meskipun begitu, nyatanya pada Pemilu Legislatif 2019 anggota legislatif (aleg) yang wanita cuma mencapai jumlah 20,8%, jelas ini gak memenuhi kuota minimal representasi wanita di parlemen. Nah, tren global keterwakilan wanita dalam 20 tahun terakhir ini, menurut laporan Inter-Parliamentary Union pada 2015, sudah terjadi peningkatan luar biasa dari keterlibatan dan keterwakilan wanita dalam parlemen di seluruh dunia.

Rata-rata keterwakilan ini dalam parlemen nasional secara global meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 11,3% di 1995 menjadi sekitar 20,8% di 2019 (naik 13,5 point). Hampir semua kawasan di dunia memperlihatkan peningkatan keterwakilan wanita yang sangat luar biasa antara 1995 hingga 2019. Di antara negara-negara itu ialah Rwanda (61,3% pada 2015), Kuba (53,2% pada 2015) dan Bolivia (53,1% pada 2019). 

Menariknya, negara yang pernah menjadi bagian dari kedaulatan RI, yakni Timor Leste, pada 2019 berhasil melampaui threshold 30%, yaitu 40%, diikuti Nepal (32,7%). Sementara itu, negara lain yang mendekati perolehan itu ialah Filipina (29,5%), Vietnam (26,7%), Tiongkok (24,9%), dan Afghanistan (23,6%). Sebaliknya, Indonesia yang memberikan peluang partisipasi politik sejak pemilu pertama pada 1955 justru mengalami kemunduran dari 18,2% pada 2009 menjadi 16,8% pada 2014 (turun 1,4%). 

Mirisnya perolehan kursi wanita di tingkat nasional (DPR) masih belum menembus angka 30%. Pada Pemilu 2014, jumlah kursi wanita di DPR berkisar 17% yang artinya angka ini lebih rendah dari Pemilu 2009 (18%). Pada 2019 mencapai angka 20,8%. 

KPPI wadah perempuan politik Kaukus Perempuan Politik Indonesia memiliki tugas besar, antara lain mengawal proses demokrasi agar lebih berkualitas dan berkeadilan, melakukan advokasi kebijakan publik sebagai kekuatan pressure group terdepan, melakukan pendidikan politik dan penguatan kapasitas bagi perempuan politik. KPPI akhirnya sebagai pusat rujukan bagi upaya-upaya memperkuat hak-hak wanita, khususnya dalam bidang politik. 

Dalam menghadapi Pilkada Serentak 2020 dan mempersiapkan momentum Pemilu 2024 diperlukan penguatan dan pengembangan organisasi. Khususnya dalam menyiapkan kader perempuan politik untuk berkompetisi di Pemilihan Legislatif 2024. Oleh karena itu, konsolidasi struktural pasca-Pileg 2019 telah dilakukan guna mengukuhkan organisasi, menyiapkan peta jalan sukses perempuan caleg pada Pemilu 2024 dalam bentuk rencana aksi nasional, regional, dan daerah. Kemudian, memberi masukan terhadap regulasi untuk mendorong 30% keterwakilan perempuan di parlemen pada 2024. 

Dalam pandangan KPPI, politik adalah jalan dedikasi dalam memperjuangkan tujuan kehidupan yang mulia, terciptanya masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat. Makanya, wanita yang berpolitik secara individu dan institusional diharapkan mampu memberi solusi atas persoalan kritis dan mendesak, seperti mengawal SDGs. 

Itulah kenapa wanita berpolitik bukan pekerjaan mudah. Tapi gak ada pekerjaan yang sulit kalau dikerjakan secara gotong royong dan kerja sama yang setara dan saling menguatkan dengan para stakeholder, termasuk dengan pemerintah, LSM, perguruan tinggi, ormas perempuan, media, pihak swasta, dan kelompok think tank. Wanita harus bisa menjadi individu merdeka untuk berpolitik, Beauty!

Baca Juga: Dari Fashion ke Hospitality, Intip Yuk Perjalanan Serpil Guney Menjadi GM Umana Bali, Bisa Jadi Inspirasi Nih Beauty!

Baca Juga: Raih Successful Woman 2024, Valeriana Rosmaya Berikan Pesan untuk Para Wanita: Harus Produktif Demi Meningkatkan Kesejahteraan!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.