Menu

Seksis, Ternyata Gini Feminisme dan Pop Culture di Indonesia!

16 Juli 2020 13:00 WIB
Seksis, Ternyata Gini Feminisme dan Pop Culture di Indonesia!

ilustrasi feminisme dan pop culture (Pinterest/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, budaya pop sering banget diremehkan, lho, dilihat sebagai banalitas dan sekadar hiburan. Padahal berbagai penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa budaya pop memiliki dampak besar terhadap anak-anak dan remaja.

Dilansir dari beberapa sumber, penelitian dari lembaga Amerika, Media Education Foundation menunjukkan bahwa lebih dari US$2 miliar dihabiskan setiap tahun untuk konten dengan target konsumen remaja, dan bahwa rata-rata anak Amerika akan telah menyaksikan lebih dari 200.000 perilaku kekerasan di televisi pada usia 18 tahun. 

Statistik lain tentang cara media dan budaya pop memengaruhi anak-anak muda mengungkapkan bahwa 42 persen murid wanita kelas 1-3 SD ingin mengurangi berat badan mereka dan sekitar 81 persen anak gadis usia 10 tahun takut menjadi gemuk. Anak-anak muda menerima lebih dari 5.260 pesan tentang kecantikan per tahun hanya dari iklan di televisi. Parahnya 73 persen anak gadis menyalahgunakan pil diet dan 79 persen remaja wanita yang punya kebiasaan memuntahkan lagi makanannya sering membaca majalah perempuan dan kebugaran.

Sekitar 12 tahun lalu, ada laporan yang dikeluarkan Gugus Tugas Asosiasi Psikolog Amerika tentang seksualisasi anak. Dari situ ditemukan bahwa seksualisasi telah dimulai ketika mereka masih semuda dua tahun dan bahwa gambaran-gambaran dalam iklan dan budaya pop terbukti membahayakan bagi citra diri dan perkembangan anak perempuan dan perempuan muda. Laporan ini melihat konsekuensi seksualisasi sejak dini dan dampaknya terhadap perkembangan wanita serta identitas mereka. Menariknya, laporan ini menemukan bahwa gak peduli apa pun yang mereka pelajari di rumah dan di sekolah tentang potensi mereka untuk menjadi pemimpin dan individu-individu berdaya, pesan-pesan media dan budaya pop tentang wanita yang menyentuh mereka, Beauty.

Budaya pop dan media berperan banget, nih, dalam membentuk impresi orang-orang tentang dunia. Melalui kedua hal itulah anak muda belajar mengidentifikasi diri dan teman-teman mereka. Jadi, sangat penting untuk menganggap serius budaya populer dan gak menganggapnya sebagai sesuatu yang terpisah dari kehidupan nyata, tetapi sebagai sesuatu yang menginformasikan dan mencerminkan hidup itu.

Gak penting apakah kamu mengonsumsi budaya pop dan media atau nggak. Tapi yang penting adalah bahwa keduanya ada pada skala yang masif, diperjual-belikan dan berdampak sangat nyata kepada semua orang.

Beauty menyadarinya, kan, dalam beberapa tahun terakhir sudah terlihat diskusi global yang lebih luas mengenai feminisme, banyak di antaranya muncul berkat masuknya gagasan-gagasan feminis dalam budaya pop. Penampilan Beyonce dalam MTV Video Music Awards tahun 2014 mengubah feminisme menjadi sesuatu yang aspirasional dan diidamkan hanya dalam hampir semalam. Dalam 24 jam setelah penampilan tersebut, Beyonce disebut dalam dua pertiga twit dan muncul lonjakan jumlah pencarian mengenai Beyonce dan “Feminist Beyonce”. Gak lama setelah itu, aktris Emma Watson berpidato di Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pentingnya kesetaraan gender. Sementara itu di acara Paris Fashion Week, panggung Channel menunjukkan demonstrasi para feminis di akhir pertunjukan.

Kalau di Indonesia masih jauh dari menyerap nilai feminisme, budaya pop di Indonesia masih marak dengan pesan-pesan misoginis dan budaya pemerkosaan, seperti disampaikan musisi dan aktivis Kartika Jahja dalam diskusi yang sama di Kinosaurus. Nah, salah satu contohnya adalah sebuah band punk dari Bandung bernama Love Chaos yang menciptakan lagu “Ewe Paksa”, yang liriknya adalah tentang cara memperkosa. Kemudian, ada penyebaran meme-meme seksis, termasuk yang menggambarkan transformasi “ugly duckling” (anak bebek buruk rupa) Aurel Hermansyah, “sulit dipercaya dia bisa cantik.” Lama kejadian gini tapi tetap bisa jadi bahan "mereka" berkomentar". Fenomena feminisme dalam budaya pop masih berfokus untuk membuktikan bahwa feminisme gak seburuk anggapan orang-orang, alih-alih lebih menggali lapisan-lapisan patriarki.

Para wanita yang membela diri mereka sering kali perlu meminta maaf setelah dirundung, seperti kasus aktris Dian Sastrowardoyo, yang ditegur karena menolak berfoto dengan salah seorang penggemarnya. Penggemarnya, seperti terlihat dalam sebuah video yang viral, memegangnya secara paksa, lalu Dian melepaskan pegangan itu dan terlihat bergidik. Padahal difoto dengan penggemar bukanlah tugas moral selebritas. Ia dirundung karena ia melindungi ruang dan tubuhnya sendiri.

Sebenarnya budaya pop adalah sebuah senjata yang kuat dan sebuah jalur untuk memasukkan pesan-pesan feminisme. Ia paling dikenal melalui aktivismenya dengan grup Mari Jeung Rebut Kembali dan pesan body positivity yang termaktub dalam lagu “Tubuhku Otoritasku”. Usaha-usaha untuk mempopulerkan feminisme ini kenyataannya akan lebih berat karena tingkat patriarki dan salah paham wanita lain soal feminisme ini sering terjadi, Beauty.

Baca Juga: Ini 5 Cara Dorong Kesetaraan Gender dalam Perusahaan ala Grant Thornton, Apa Saja?

Baca Juga: KemenPPPA Bongkar 4 Kunci Kesetaraan Gender: Jadi Penggerak Ekonomi hingga Sejahterakan Keluarga!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.