Menu

Sistem Matrilineal Gak Berarti Besar, Begini Nasib Wanita yang Berpolitik di Sumatera Barat!

16 Juli 2020 12:48 WIB
Sistem Matrilineal Gak Berarti Besar, Begini Nasib Wanita yang Berpolitik di Sumatera Barat!

Ilustrasi gadih minang dengan pakaian adat Padangpanjang (Pinterest/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Tahukah kamu, saat Emma Yohana, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), mencalonkan diri menjadi Wali Kota Padang pada tahun 2013, ia terganjal kampanye hitam dari sekelompok orang. Mereka meminta publik supaya gak memilih Emma karena “perempuan gak bisa jadi imam.”

Dilansir dari beberapa sumber, Emma merasa beberapa kali terhambat karena pemahaman soal imam itu. Padahal ia gak dalam rangka ibadah salat, tetapi ibadah yang lain.

Anehnya, meskipun Sumatra Barat menganut sistem matrilineal yang menempatkan ibu sebagai kepala dan penguasa seluruh keluarga, hal ini ternyata kurang berpengaruh dalam mendorong kemenangan wanita dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di provinsi tersebut. Pada Pilkada untuk periode 2016-2021, dari tujuh kota dan 12 Kabupaten yang ada di Sumatra Barat, wali kota dan bupati terpilih seluruhnya adalah pria.

Dosen Universitas Negeri Padang, Selinaswati, pernah melakukan penelitian berjudul “Women in Politics in Matrilineal Society (a Case Study of West Sumatra”, Indonesia) yang diterbitkan pada 2014. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa para politisi wanita yang menjadi responden sebetulnya mampu mengembangkan strategi dari status tradisional mereka.

Sistem matrilineal menguntungkan responden dalam hal menjangkau konstituen wanita yang dituakan dan merupakan pengambil keputusan, bahkan dalam mengakses aset tradisional seperti rumah gadang yang bisa mereka gunakan untuk kegiatan politiknya. Namun keuntungan ini ternyata belum berhasil menambah jumlah perempuan yang terpilih dalam pilkada. Para responden masih merasa kewajiban terhadap rumah dan keluarga harus diutamakan. Dalam masyarakat juga tercipta persepsi bahwa wanita kurang mampu menjadi politisi ketimbang pria.

Inilah fakta-faktnya, Beauty:

1. Politik Dinasti

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, konsep matrilineal di Sumatra Barat hanya berlaku di ranah sosial kulturalnya tetapi gak masuk ke wilayah politik. Politik di Sumatera Barat ini cenderung konservatif, apalagi ditambah polarisasi politik setelah Pilpres 2019. Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam konteks isu agama.

Agama dan kepemimpinan wanita cenderung gak menjadi isu cuma ketika calon pemimpin wanita merupakan bagian dari politik kekerabatan atau dia memiliki basis massa yang besar. Sebagai contoh dia adalah istri bupati sebelumnya dan memiliki posisi strategis di dalam partai atau memiliki basis massa yang besar sebagai ketua organisasi keagamaan.

Dilansir dari beberapa sumber, aktivis Yefri Heriani, yang mendirikan organisasi Nurani Perempuan di Sumatra Barat, mengatakan masih banyak stigma yang ada dalam masyarakat terhadap ide wanita menjadi pemimpin. Prasangka inilah yang membuat garis start wanita gak sama dengan pria. Padahal di Sumatra Barat banyak contoh wanita dalam kelompok kecilnya dapat memimpin dengan baik.

Salah satu bukti keberhasilan wanita Minang dalam memimpin sebuah kelompok masyarakat dapat dilihat dari sejumlah wanita yang terpilih menjadi wali nagari atau kepala desa. Namun jumlahnya masih tertinggal dari pria di 923 nagari yang ada di provinsi tersebut. Contohnya pada Pemilihan Wali Nagari periode 2020-2026 di Kabupaten Solok, dari 55 wali nagari terpilih hanya ada dua wanita, lho.

Padahal wanita penting banget untuk masuk ke dalam ranah politik, untuk menyuarakan aspirasi yang selama ini gak pernah disampaikan oleh politisi pria, Beauty.

Ketika wanita diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin, banyak isu wanita yang muncul ke permukaan dan disuarakan oleh mereka.

2. Kebijakan Afirmasi

Sebenarnya tigma bahwa wanita cukup di rumah saja membuat wanita tertinggal di ranah politik. Makanya aktivis wanita memperjuangkan kebijakan affirmative action yaitu kuota 30 persen untuk wanita, untuk mengejar ketertinggalan ini, meskipun kebijakan afirmasi 30 persen kuota untuk wanita tersebut gak berlaku dalam proses pencalonan kepala daerah, padahal itu membantu wanita saat mencalonkan diri, lho!

Makanya, dalam situasi politik Indonesia yang gak inklusif ini, calon wanita memang harus membangun betul-betul tiga modal utama, yaitu modal elektabilitas, politik, dan finansial. Hasil riset Perludem pada Pilkada 2018 menunjukkan, hanya ada 31 wanita dari total 342 orang yang terpilih menjadi kepala daerah sejumlah 14 orang dan wakil kepala daerah sejumlah 17 orang. Fakta ini memperlihatkan partisipasi wanita pada tingkat pilkada masih cenderung stagnan.

Para wanita yang terpilih didominasi oleh wanita yang memiliki jaringan kekerabatan (54,84 persen), kader partai (48,39 persen), eks dan anggota legislator (41,94 persen), dan petahana (29,03 persen). Dilansir dari beberapa sumber, latar belakang wanita yang terpilih menjadi kepala daerah ini gak berdiri secara tunggal dan berkelindan satu sama lain. Itulah kenapa kalau wanita itu bukan pribadi yang kuat dari segi posisi tawar politik, secara sosial, dan kuat secara finansial, sulit bagi wanita untuk dilirik oleh partai. Ketika para wanita ini diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin, banyak isu wanita yang muncul ke permukaan dan disuarakan oleh mereka, Beauty.

3. Sistem partai dan edukasi politik masih buruk

Faktor yang paling wanita untuk mencalonkan diri adalah modal finansial. Kalau partai politik masih belum mengubah sistem perekrutan calon yang akan diusung untuk maju pada Pilkada, maka sulit bagi wanita untuk terjun menjadi kepala daerah.

Hal ini cukup rumit karena kalau sudah miliaran wanita harus cari ke mana, sedangkan itu baru tahapan mendaftar. Partai politik harus membenahi tata kelola internal partai yang masih mengedepankan elite sebagai penentu proses kontestasi. 

Sistem di internal partai harus diperbaiki, termasuk perekrutan kader partai wanita. Dan tentu edukasi politik dari parpol perlu berjalan ke masyarakat. Edukasi politik ini harus dijalankan oleh partai politik karena sebetulnya di luar sana banyak wanita yang memiliki basis massa seperti misalnya Ketua Fatayat atau Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).

Banyak wanita yang memiliki basis massa besar dan sangat berpotensi tetapi mereka minim edukasi politik. Padahal, kalau diberikan edukasi politik yang komprehensif wanita ini juga bisa maju secara independen. Tapi selain edukasi kepada masyarakat, yang perlu diperhatikan bersama adalah komitmen partai dalam memberdayakan kader-kader wanitanya. Sebab wanita selama ini ditarik-tarik untuk menjadi kader partai tetapi gak dibarengi dengan penguatan edukasi politik agar mereka bisa maju dalam kancah pilkada maupun pemilu legislatif.

Kultur di daerah dan juga pandangan masyarakat tentang politikus wanita harus dibentuk sebagai sesuatu yang menyuarakan tentang wanita, supaya masyarakat juga paham betapa pentingnya 30% kehadiran wanita dalam kursi legislatif.

Baca Juga: Dari Fashion ke Hospitality, Intip Yuk Perjalanan Serpil Guney Menjadi GM Umana Bali, Bisa Jadi Inspirasi Nih Beauty!

Baca Juga: Raih Successful Woman 2024, Valeriana Rosmaya Berikan Pesan untuk Para Wanita: Harus Produktif Demi Meningkatkan Kesejahteraan!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.