Menu

Jurnalis Gak Peduli Penyintas, Kata Perkosa Bukan Diksi Kotor!

16 Juli 2020 20:05 WIB
Jurnalis Gak Peduli Penyintas, Kata Perkosa Bukan Diksi Kotor!

Ilustrasi sepasang tangan seseorang (Pinterest/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Masyarakat harusnya bisa sadar, terutama jurnalis bahwa mengubah diksi "perkosa" dengan kata lain, semisal digagahi supaya terkesan halus justru menjadi sebuah penghianatan

Pemerkosa memang layak dipermalukan, selain dihukum. Gak usah diperhalus dengan bilang bahwa dia "menggagahi" atau sebutan menjijikan lainnya. Memutarbalikkan fakta seolah-olah pelaku pemerkosaan berada di posisi yang nyaman dengan membuat diksi-diksi halus, itulah penghianatan. Semua orang tahu apa itu kata “perkosa”, gak perlu bikin diksi-diksi baru supaya kelihatan ‘manusiawi’, toh pemerkosaan sama sekali bukan tindakan manusiawi.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat 792am kurun waktu 12 tahun. Dalam jangka waktu tersebut, tercatat 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan hingga akhir 2019. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, pada 2019, terjadi 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak. Korbannya terdiri dari 71 anak laki-laki dan 52 anak perempuan.

Mirisnya, dilansir dari beberapa sumber, kasus ini terjadi dalam jenjang yang merata mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Bahkan menakutkannya pelaku bukan cuma orang asing, tapi orang-orang terdekat seperti ayah, paman, kakek dan kakak. Sudah sebengis itukah orang lingkungan terdekat?

Banyak ulasan-ulasan, judul artikel, hingga judul berita yang sering melegitimasi pelaku dengan memutarbalikkan peran subjek dalam kasus pemerkosaan. Kamu pasti sering baca artikel yang bukannya mempermalukan pelaku dengan memampang fotonya, yang ada justru memamerkan foto korban. Kejahatan jurnalistik maupun yang terjadi di masyarakat ini dianggap biasa, padahal korban butuh perlindungan, bukan perundungan.

Bahkan ada yang gak disadari banyak orang, yaitu korban malah menjadi subjek yang kesannya hina ketimbang si pelaku pemerkosaan. Semisal, “Gadis AF diperkosa seorang pria paruh baya” Atau, “Mawar disetubuhi ayah tirinya”. Kondisi darurat soal ruang aman bagi semua gender justru selalu membuat korban sebagai objek yang pantas dipermalukan.

Jenis-jenis diksi tersebut seharusnya jangan lagi digunakan dalam artikel dan berita mana pun. Bukannya melindungi penyintas, justru diksi itu membuat pelaku seolah-olah dalam posisi yang aman. Apa susahnya mengubah diksi “diperkosa” menjadi “memerkosa”?

Menunjukkan kebiadaban pelaku jauh lebih terhormat bagi sebuah media daripada membuat korban sebagai objek clikbait sebuah media. Enggak lagi dengan kalimat “Gadis AF diperkosa seorang pria paruh baya”, tapi “Pria paruh baya bernama X memerkosa seorang gadis”. Gak susah, kan, tetap menggunakan istilah “perkosa” ketimbang rudapaksa, setubuhi dan gagahi?

Apa yang dibutuhkan bukanlah diksi aesthetique intelek yang nampak pintar kalau disampaikan dan terlihat keren ketika dibaca, tapi yang dibutuhkan adalah mengukuhkan diksi “perkosa” sebagai tindakan yang memang berbahaya, jahat dan perlu balasan setimpal tanpa rasa empati pada pelaku.

Semakin diksi “perkosa” diubah menjadi lebih halus, semakin bingung masyarakat. Bukankah masyarakat berhak mendapatkan edukasi yang adil? Apalagi diksi-diksi ini berperan penting dalam membentuk sikap masyarakat terhadap kasus perkosaan.

Jangan buat masyarakat menjadi nggak peduli dengan kasus perkosaan, termasuk korbannya karena pelaku dilindungi terus dengan pengubahan diksi ini.

Itu pula mengapa masih ada oknum berdasi yang gak peduli dengan kasus kekerasan seksual dan menunda-nunda bahkan ingin menggagalkan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Padahal, UU itu nantinya bisa menolong para para korban yang selama ini gak pernah mendapat perlakuan adil, bahkan di lingkungan sosial.

Penjahat kelamin tetaplah penjahat kelamin. Pelaku tetaplah pelaku. Perkosa tetaplah perkosa. Gak ada gunanya mengubah-ubah diksi menjadi sesuatu yang membingungkan sekaligus berbahaya bagi korban, mulai biasakan, berhenti seolah-olah kata ini terlalu kotor karena perilaku pelaku-lah yang kotor dan gak manusiawi.

Baca Juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual, KemenPPPA Ajak Masyarakat dan Kaum Perempuan Pahami UU TPKS, Cek di Sini Beauty!

Baca Juga: Berkaca dari Skandal Rebecca Klopper, Ini yang Perlu Dilakukan Orang Tua Jika Anak yang Jadi Korban, Psikolog: Jangan Menyalahkan

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.