Menu

Fix! Validasi Membangun Asertif, Feminis Toksik Cuma Akal-Akalan!

11 Agustus 2020 16:00 WIB
Fix! Validasi Membangun Asertif, Feminis Toksik Cuma Akal-Akalan!

ilustrasi wanita yang saling memeluk (Pinterest/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, ada banyak banget tayangan di sosial media yang menampilkan tentang feminitas toksik. Mirisnya, keadaan ini dilakukan oleh sesama wanita yang sudah terdoktrin patriarki kelas kakap, sehingga melawan patriarki artinya melawan paham mereka.

Ini sama sekali berbeda tentang kondisi feminis menurut agama Islam, dimana Feminis Kultural adalah paham yang dipegang untuk tetap memegang nilai-nilai Islam di dalam kesetaraan gender. 

Ketika ada wanita yang merasa feminis ini terlalu toksik, sampai meminta tempat duduk di angkutan umum, minta dijemput, dibayarin saat belanja dan lainnya yang menggunakan gender untuk mendapat keistimewaan.

Wanita yang dijatuhkan ini adalah korban patriarki yang juga disalahkan. Padahal, Beauty harus mengetahui bahwa wanita bisa menganggap dirinya lemah dan inferior karena sekian lama didoktrin oleh paham yang patriarkal.

Wanita enggak bisa selalu disalahkan karena sudah lama lahir dan tumbuh dengan didikan patriarki. Apalagi untuk mereka yang nggak mempunyai akses terhadap bahan bacaan terkait kesetaraan gender.

Mereka memilih banyak berpasrah dan menganggap ini adalah hal yang lumrah, padahal ini sama sekali nggak baik.

Operating system otak para wanita ini diset untuk menerima patriarki sebagai kebakuan dan norma hidup. Ingat kalau di sekolah seringkali pengajaran tentang norma menitikberatkan wanita harus selalu lemah lembut dan nggak melawan, nggak bisa menjadi pemimpin dan lain-lain.

Sebuah keberuntungan bagi wanita yang bisa mendapatkan pengetahuan tentang batasan-batasan antar gender, apalagi pengetahuan soal kesetaraan gender ini.

Adapun wanita yang cenderung nggak punya akses untuk melakukan hal yang lebih baik untuk dirinya dan lingkungan karena patriarki yang mendarah daging ini. Bukan kesalahan juga kalau mereka tetap menuntut haknya sebagai wanita, harusnya ia bisa mendapat akses terhadap ekonomi dan pendidikan yang bisa membuatnya berdaya. Makanya ia menuntut.

Beberapa wanita nggak bisa berbicara dengan lantang untuk mengambil keputusan, kultur patriarki inilah yang jadi masalahnya, membuat doktrin bahwa hanya pria yang sanggup mengambil keputusan, kalau wanita pasti menggunakan perasaan saja.

Bagaimana dengan wanita yang bahkan selalu menggunakan pikirannya bukan perasaannya? Generalisasi inilah yang membuat stigma soal kultur patriarti nggak habis-habis.

Persoalan psikologis itu penting banget, makanya para feminis ataupun mereka yang masih belajar tentang feminis, menyadari ini menjadi hambatan wanita dalam bersuara. Sisa-sisa patriarkal inilah yang menghambat wanita untuk bicara lantang, Beauty.

Ada pula hal yang harus diperhatikan wanita supaya jadi asertif. Butuh validasi dari sesama wanita, lebih mudah lagi kalau memberikan validasi ini berasal dari lingkungan yang menjadi support system dalam hidupnya, contoh keluarga, teman dekat, ataupun sanak saudara.

Jadi, penting banget untuk menarik orang-orang dari paham patriarki yang menjerat wanita sampai dianggap nggak sanggup melakukan apapun dan nggak berhak menuntut kesetaraan. Banyak bentuk penyadaran yang harus dilakukan, ingat memulai segala hal dari diri sendiri, ya!

Baca Juga: Ini 5 Cara Dorong Kesetaraan Gender dalam Perusahaan ala Grant Thornton, Apa Saja?

Baca Juga: KemenPPPA Bongkar 4 Kunci Kesetaraan Gender: Jadi Penggerak Ekonomi hingga Sejahterakan Keluarga!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.