ilustrasi toxic parent (pinterest/edited by herstory)
Tentu saja setiap orangtua pasti ingin hal-hal yang terbaik untuk sang anak. Moms pasti ingin kehidupan anaknya bisa terjamin ketika dewasa dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memenuhi segala kebutuhannya. Namun sayangnya, hal itu juga diiringi dengan ekspektasi dan obsesi yang akhirnya kasih sayang malah berubah menjadi pola asuh yang toxic jarena sifatnya sangat otoriter dan tak memberikan anak kebebasan sama sekali dalam kehidupannya.
Bahkan, tanpa disadari beberapa orangtua mungkin menciptakan lingkungan asuh yang toxic bagi sang anak dengan dalih ingin selalu memberikan yang terbaik. Segala sesuatu yang berlebih tentu tak akan baik jadinya, termasuk dengan pola asuh orangtua yang seperti tak mengenal batas terhadap anak-anaknya.
Lantas, seperti apa sih pola asuh yang toxic dan tanpa disadari memberikan dampak minimnya batasan orangtua terhadap anak? Yuk, simak selengkapnya Moms!
Salah satu tanda bahwa orangtua memiliki pola asuh yang toxic adalah kurangnya privasi antara anak dengan orangtua. Menceritakan kejadian sehari-hari kepada orangtua memang sah-sah saja dilakukan, bahkan sebenarnya baik. Namun, hal ini tak menjadi baik ketika orangtua secara sadar ingin mengetahui seluruh hal tentang anaknya dan tak memberikan mereka ruang privasinya sendiri.
orangtua secara sadar ingin selalu mengawasi anak-anaknya hingga sang anak tak percaya diri untuk memutuskan dan mencari solusi atas permasalahan yang mereka miliki.
Salah satu tanda bahwa orangtua menerapkan pola asuh yang toxic adalah, orangtua secara sadar selalu ikut andil dalam segala hal dan selalu ingin dilibatkan dalam kehidupan sang anak. Mereka merasa bahwa anak belum bisa memutuskan dengan tepat, jadi orangtua bersikap manipulatif untuk menekankan otorisasi untuk memutuskan segala sesuatu di dalam hidup si anak.
orangtua yang memiliki pola asuh toxic agaknya minim akan validasi perasaan anaknya sendiri. Saat kecil, kita mungkin familiar dengan kalimat “jangan menangis,” tapi, orangtua mengatakan kalimat tersebut sembari marah bahkan sampai memukul.
orangtua disebut gagal memvalidasi perasaan sedih sang anak, tapi memaksakan emosinya (marah) terhadap si anak. Anak akan merasa bahwa perasaan yang ia miliki salah, dan hanya orangtua yang berhak memiliki emosi, karena pada dasarnya anak kecil belum mengerti protes.
orangtua juga kerap kali merasa paling tahu tentang apa yang terbaik bagi anak mereka. orangtua kerap merasa bahwa mereka yang paling mengenal si anak, dan mengerti apa yang mereka butuhkan. Maka dari itu, sebuah batasan antara orangtua dan anak sebenarnya harus diciptakan. Kenapa? Bahwa tak selamanya orangtua itu tahu yang terbaik bagi si anak, apalagi anak yang telah beranjak dewasa. Anak memiliki Hak Asasi Manusia untuk memutuskan pilihan hidupnya sendiri. Itu yang mungkin seringkali dilupakan atau diabaikan orangtua.
Sejatinya, anak adalah sebuah pelajaran paling kompleks yang dimiliki orangtua seumur hidupnya. Maka, jangan pernah berhenti untuk belajar menjadi orangtua yang jauh lebih baik.
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.
Share Artikel: