Menu

Plan Indonesia: Medsos Sangat Berperan Penting untuk Dorong Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

10 Desember 2022 08:08 WIB

Acara diskusi bertajuk “Media Sosial: Ruang Aman bagi Anak dan Perempuan”, yang digelar Plan Indonesia melalui proyek Raise the Bar secara virtual, Jumat (9/12/2022). (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Beauty, dengan jumlah pengguna yang sangat besar, media sosial atau medsos bernilai strategis untuk mendorong kesadaran kesetaraan gender dan mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak dan perempuan. 

Namun demikian, tak sedikit tantangan untuk mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah kreatif dan sinergis dari berbagai elemen agar kampanye digital yang dilakukan berdampak luas.

Berdasarkan data We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia meningkat 21 juta (+12,6 persen) antara tahun 2021 dan 2022. Hingga awal 2022, ada 191,4 juta pengguna media sosial di negeri ini atau lebih dari setengah populasi Indonesia.

Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti, mengungkapkan, meski jumlah penggunanya banyak, sebagian besar pengguna belum terdorong untuk mengampanyekan pentingnya kesetaraan gender. Hal ini seperti tercermin dari salah satu temuan Baseline Study yang dilakukan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dalam proyek Raise the Bar tahun 2022.

“Dalam studi tersebut, 92i 181 responden, yang mayoritas perempuan, merupakan pengguna aktif media sosial. Namun, hanya 48% yang menyatakan ingin berpartisipasi dalam kampanye di kesetaraan gender. Oleh karena itu, upaya mengampanyekan kesetaraan gender di ruang digital perlu untuk terus didorong, karena media ini bernilai strategis,” ujar Dini saat memberikan sambutan pada acara diskusi bertajuk “Media Sosial: Ruang Aman bagi Anak dan Perempuan”, yang digelar Plan Indonesia melalui proyek Raise the Bar, Jumat (9/12/2022).

Adapun, acara ini sendiri bertujuan untuk membuka ruang refleksi sekaligus mengajak berbagai pihak untuk berdiskusi serta menyusun agenda lebih lanjut bersama jejaring dalam mengampanyekan kesetaran gender di ruang digital.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut antara lain, Dewi Komalasari, Koordinator Raise the Bar Project; Luviana Ariyanti, Pendiri dan Chief Editor Konde.co; Wan Ulfa Nur Zuhra, Direktur Eksekutif Indonesian Data Journalism Network/IDJN; dan Indiana Salsabila Digital Communications Specialist Perspectiva.

Dini melanjutkan, dalam kampanye-kampanye kesetaraan gender melalui media sosial, Plan Indonesia menemukan berbagai tantangan. Salah satunya, arus teknologi informasi dan sistem algoritma media sosial yang cepat berubah dari waktu ke waktu dan cenderung didominasi oleh nilai-nilai patriarki. 

Pesan tentang kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan mudah tenggelam, tergantikan dengan pesan lain yang justru melanggengkan ketidakadilan gender.

Oleh karena itu, diperlukan langkah taktis dalam berkomunikasi di media sosial, termasuk dengan mengikuti tren isu terkini, agar pesan kampanye kesetaraan gender mendapat perhatian khalayak.

“Melalui proyek Raise the Bar, kami berusaha mengampanyekan secara digital tentang perspektif baru bahwa kesetaraan gender itu tidak sekadar dalam hal siapa yang kuat mengangkat galon, tetapi lebih besar dari itu. Mulai dari skala keluarga, menyuarakan kesetaraan gender dapat dimulai dengan pembagian pekerjaan rumah secara adil tanpa didasarkan gender,” ujar Dini.

Sementara itu, Dewi Komalasari menyampaikan strategi yang dilakukan Raise the Bar dalam kampanye kesetaraan gender melalui ruang digital di antaranya mulai dari mengajak mitra strategis, seperti Srikandi BUMN dan asosiasi bisnis, seperti APINDO, mengundang KOLs / influencer untuk kampanye bersama, berkolaborasi bersama content creator hingga mengadakan challenge-challenge yang diharapkan dapat menarik minat kaum muda.

“Semua dirancang untuk membangun percakapan seluasnya soal kesetaraan gender. Selain itu, juga untuk menggali pengalaman kaum muda saat berhadapan dengan norma gender tradisional, baik di ranah privat maupun di tempat kerja,” ungkap Dewi.

Di kesempatan yang sama, Luviana Ariyanti mengungkapkan besarnya peran media, termasuk media sosial, dapat dimanfaatkan untuk mengampanyekan sekaligus mengadvokasi isu kesetaraan gender, kepemimpinan, dan keterlibatan perempuan dalam mengubah pola pikir dan perilaku secara transformatif.

“Kita perlu menempatkan posisi untuk mendengarkan pengalaman perempuan dalam upaya mencapai situasi masyarakat yang setara dan tanpa kekerasan berbasis gender,” imbuh Luviana.

Indiana menyampaikan bahwa di dunia digital, algoritma menjadi faktor penting yang mempengaruhi kesuksesan penyampaian pesan kampanye. Algoritma dapat dipengaruhi oleh politik dan budaya, yang tidak jarang menciptakan bias dan diskriminasi.

 “Saat mengkampanyekan kesetaraan gender di media sosial, kita perlu membaca dulu diskusi dan narasi masyarakat di platform-platform yang akan kita gunakan —bukan hanya agar kampanye kita relevan, tapi juga untuk memperkaya perspektif terkait isu dan memastikan algoritma dapat memperluas jangkauan pesan kita alih-alih menutupinya,” ujar Indi.

Selanjutnya, Wan Ulfa, mengatakan bahwa data merupakan hal krusial dalam mendukung jurnalisme terutama di media sosial. Selain data, representasi sangat penting dalam memberikan nafas baru bahwa kesetaraan gender bukanlah sesuatu yang terkesan negatif.

 “Jika informasi yang didapatkan merupakan informasi yang positif, seperti kesetaraan gender, hal ini dapat memberikan dampak positif ke pengguna karena ilmu yang didapatkan dapat bereskalasi menjadi tindakan berupa dukungan aksi,” jelas Wan Ulfa.