Menu

Waduh, Paparan Polusi Udara Ternyata Berpengaruh pada Kesehatan Mental? Simak Penjelasan Ini Beauty!

22 Agustus 2023 09:00 WIB

Ilustrasi polusi udara (Freepik/EditedByHerstory)

HerStory, Jakarta —

Polusi udara Jakarta menjadi masalah serius yang menjadi sorotan selama beberapa waktu terakhir. Mengacu pada data website pemantau kualitas udara IQAir, Jumat (18/8/2023) pukul 07.00, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta mencapai 125. Jakarta juga menjadi kota dengan polusi tertinggi kesembilan di dunia, di bawah Shenyang, China.

Buruknya kualitas udara di Jakarta berpotensi membuat masyarakat terserang Infeksi Saluran Pernapasa Akut (ISPA). Sebab itu, kabarnya akan kembali digalakkan kebijakan Work From Home (WFH) sebagai salah satu upaya untuk mengurangi polusi yang berasal dari kendaraan.

Bukan hanya berbahaya bagi kesehatan, terutama yang menyerang sistem penapasan, polusi udara disebut pula berpengaruh pada kesehatan mental lho! 

Diperkirakan sebanyak 280 juta orang di dunia saat ini tengah mengalami kondisi kesehatan mental. Hal itu berhubungan dengan sebuah penelitian yang menunjukkan, adanya paparan polusi udara dapat menyebabkan beberapa kerusakan paling awal dan paling lama pada kognisi kesehatan mental.

Dilansir dari situs IQAir, sejumlah penelitian mengungkap bagaimana polusi udara dapat meningkatkan kesehatan mental. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan polusi udara yang singkat dan sementara dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan mental seperti depresi dan skizofernia yang sudah tersimulasi sejak anak-anak.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, lebih dari 90 persen anak-anak di seluruh dunia mengirup udara yang tercemar pada tingkat yang dianggap merusak kesehatan dan tumbuh kembangnya. Ini dikarenakan otak dan perilaku anak-anak masih berkembang hingga usia remaja akhir dan dewasa awal.

Polusi udara (terutama PM2.5) dapat berdampak pada perkembangan mental dan emosional mereka yang juga berdampak kepada hasil kognitif dan perilaku mereka yang terpapar udara.

Sebuah studi pada 2019 di Environmental Health Perspectives menyebut, paparan jangka pendek terhadap PM2.5 pada lebih dari 6800 anak berusia hingga 18 tahun, dikirim ke unit gawat darurat di Pusat Medis Rumah Sakit Anak Cincinnati di Cincinnati, Ohio untuk gejala-gejala yang dianggap sebagai keadaan darurat kejiwaan. Seperti adanya pikiran untuk bunuh diri, stres dan kecemasan yang intens di mana dipicu oleh peristiwa besar dalam hidunya.

Penelitian itu menyimpulkan, peningkatan kecil dalam jangka pendek pada PM2.5 sebesar 10 mikrogram per meter kubik dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan pada jumlah anak yang dibawa ke rumah sakit karena gejala kejiwaan yang parah.

Para peneliti juga mengatakan, paparan PM2.5 memperburuk peradangan di otak yang disebabkan oleh pemicu stres sehari-hari yang mengakibatkan gejala mental.

Mengutip dari laman Kompas, polusi udara juga dikaitkan dengan adanya perubahan perilaku. Seperti menghabiskan lebih banyak waktu di rumah atau menjalin gaya hidup yan ada kaitannya dengan isolasi sosial.

Sebuah penelitian yang diterbitkan di British Journal of Psychiatry menyebut bahwa peningkatan kecil dalam paparan polusi udara, secara signifikan meningkatkan risiko orang memiliki penyakit mental yang parah dan membutuhkan perawatan.

“Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa paparan polusi udara dapat berdampak buruk pada otak dan meningkatkan risiko gangguan kejiwaan seperti skizofrenia dan depresi,” tulis penelitian itu.

Orang yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi tinggi (21 mikrogram per meter kubik) 17% lebih stres daripada mereka yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi rendah (5 mikrogram per meter kubik).

Dinukil dari laman Tirto.id, Wakil Ketua komisi Perlindungan Anak (KPAI) menyebut, anak-anak memang memiliki kondisi yang rentan terpapar penyakit akibat polusi udara, baik fisik maupun mental.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI, pada Januari hingga Juni 2023, terdapat 638.291 kasus ISPA. Dengan rincian, Januari terdapat 102.609 kasus, Februari 104.638 kasus. Dilanjut Maret 119.734 kasus, April 109.705 kasus, Mei 99.130 kasus, dan Juni ada 102.475 kasus.

Jasra Putra menuturkan, anak-anak tak kuat merespon kondisi cuaca dan iklim selayaknya orang dewasa. Ketika kesehatan fisiknya terserang karena polusi udara, psikisnya pun terganggu.

"Dia punya keterbatasan dan ini butuh bantuan kita untuk memastikan peroleh hak udara yang sehat dan tumbuh kembang anak,” ungkap Jasra.

Terkait kondisi tersebut, KPAI pun meminta kepada pemerintah agar dapat memberikan akses kesehatan kepada anak yang terpapar polutan dan segera menangani kualitas udara yang buruk. Jasra juga mengimbau pihak sekolah untuk menggalakkan kembali penggunaan masker kepada para siswa dan siswi, serta kembali diberlakukan  sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau hybrid sampai dapat dinyatakan udara sehat kembali sesuai standar yang ditentukan.