Ilustrasi orang tau suka ngomong 'enggak' terhadap anak (Freepik/Edited by HerStory)
Untuk bertumbuh dewasa, lingkungan pertama yang dijadikan sebagai tempat belajar seorang anak adalah rumah dan keluarganya yakni ayah, ibu, dan saudara kandung.
Dalam interaksi sehari-harinya, biasanya anak meniru kegiatan dan tingkah laku orang terdekatnya. Itulah mengapa tingkat keintiman dan intensitas emosional dalam keluarga akan berpengaruh pada perkembangan kecerdasan emosional anak seiring dengan pertumbuhannya lho Moms.
Menurut Ratna Megawangi, seorang feminis indonesia, bahwa anak akan menjadi individu yang berkarakter jika dibesarkan dalam lingkungan yang berkarakter. Oleh karena itu, setiap anak memiliki potensi untuk berkembang secara maksimal jika dibesarkan dalam lingkungan yang positif.
Sebab, lingkungan anak tak hanya terbatas pada keluarga inti, tetapi juga melibatkan berbagai pihak seperti sekolah, media, dunia usaha, dan lainnya yang turut memengaruhi perkembangan kepribadian anak. Dengan kata lain, membentuk generasi penerus bangsa yang berkarakter baik merupakan tanggung jawab bersama.
Setiap keluarga memiliki pola asuh yang berbeda-beda, seringkali dipengaruhi oleh warisan pola asuh dari generasi sebelumnya. Pola asuh dapat diartikan sebagai pola interaksi antara anak dan orang tua yang mencakup pemenuhan kebutuhan fisik seperti makanan dan minuman, serta kebutuhan psikologis seperti rasa aman dan kasih sayang.
Selain itu, pola asuh juga mencakup norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, agar anak dapat hidup harmonis dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, pola asuh yang dilakukan orang tua dalam mengembangkan karakter anaknya sangatlah penting.
Pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan menggunakan kepemimpinan otoriter, kepemimpinan otoriter, yaitu pemimpin yang memutuskan segala kebijakan, langkah dan tugas yang akan dilakukan. Seperti diketahui, pola asuh otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bersikap keras dan condong diskriminatif.
Ciri-cirinya adalah adanya tekanan pada anak untuk menuruti segala perintah dan keinginan orang tua, pengawasan yang sangat ketat terhadap tingkah laku anak, anak tak mendapat kepercayaan orang tua dan ketika anak mencapai prestasi, jarang mendapat pujian ataupun hadiah. Pola pengasuhan otoriter ini ditandai dengan hubungan orang tua dengan anak yang tak hangat, terbatasnya kebebasan bertindak dan kurang ajakan berkomunikasi, berdiskusi dan bercerita, juga bertukar pikiran dengan orang tua.
Orang tua bahkan beranggapan bahwa semua sikap yang dilakukan adalah benar, sehingga tak perlu meminta anak mempertimbangkan terlebih dahulu setiap keputusan yang mengangkat masalah anaknya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Shapiro, seorang ahli teori politik bahwa orang tua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak. Anak-anak diatur oleh berbagai aturan yang membatasi perlakuan mereka. Perlakuan seperti ini sangat ketat bahkan bisa berlaku sampai anak tersebut dewasa.
Mengutip dari Klikdokter, pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sebuah pengakuan orang tua terhadap kemampuan anaknya, ada tindakan verbal memberi dan menerima, kemudian orang tua bersikap hangat serta penyayang kepada anaknya, anak diberi kesempatan untuk tak selalu tergantung kepada orang tua.
Memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Orang tua dengan jenis pola asuh ini dapat mengarahkan anak secara rasional.
Anak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pengendalian internal untuk secara bertahap mengembangkan sedikit demi sedikit dalam bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Pola asuh permisif adalah membiarkan anak bertindak sendiri, tanpa orang tua menghukum atau mengendalikannya. Pola asuh ini ditandai dengan anak diberi kebebasan tanpa batas untuk berperilaku sesukanya, orang tua tak pernah memberikan aturan atau pedoman kepada anak tersebut. Karena orang tua bersifat longgar dan menuruti semua keinginan anak
Shapiro juga mengemukakan bahwa orang tua permisif berusaha menerima dan mendidik anaknya sebaik mungkin tetapi cenderung sangat pasif ketika sampai pada masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketakpatuhan.
Namun, anak-anak yang menerima pola asuh permisif ini jarang belajar menghargai orang lain dan sulit mengendalikan perilaku mereka. Mereka mungkin mendominasi, egois, tak patuh dan memiliki kesulitan dalam hubungan teman sebaya, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri walaupun terkadang bertentangan dengan norma sosial.
Mengutip dari Klikdokter, pola asuh neglectful merupakan pola asuh di mana orang tua jarang terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini tak memiliki banyak waktu untuk bersama anak-anak mereka, sehingga menyebabkannya berhubungan dengan ketakmampuan sosial terhadap anak.
Pada pola asuh ini orang tua hanya memenuhi kebutuhan fisik dasar anak, seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian. Di mana secara psikologis dan emosional jarang terpenuhi.
Ada berbagai faktor yang dapat mendasari orang tua menerapkan pola asuh ini, misalnya, kurang pengetahuan tentang pola asuh yang baik, orang tua yang mengalami depresi, menjadi korban pelecehan atau kekerasan atau pernah diabaikan semasa anak-anak sehingga mereka menerapkan hal yang sama pada anaknya.
Anak-anak dari orang tua yang mengabaikan, mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua adalah yang lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini condong kurang kompeten secara sosial. Banyak yang memiliki kontrol diri yang buruk dan tak mengelola kemandirian dengan baik. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tak dewasa dan mungkin merasa terasing dari keluarga.