Menu

Mengenal Nokeso, Upacara yang Dilakukan Anak Perempuan demi Menyambut Usia Dewasa Khas Sulawesi Tengah

16 April 2021 18:00 WIB

Ayah yang disebut Langgai Ntoniasa dan anak perempuan yang disebut Toniasa menjalankan prosesi adat Nokeso di Salena, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (13/1/2020). (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/ama)

HerStory, Jakarta —

Beauty, kamu tahu nggak bahwa di Palu, Sulawesi Tengah ada tradisi untuk menyambut usia dewasa lho. Tradisi tersebut dikenal dengan upacara Nokeso.

Upacara ini dilakukan dengan cara menggosok gigi bagian depan sampai rata bagi seorang anak perempuan (Toniasa) menjelang baligh. Biasanya upacara ini dilakukan sebelum anak perempuan mengalami menstruasi atau menarche. Jika anak yang sudah mengalami menstruasi dan belum melakukan tradisi Nokeso, orang tua pun akan merasa malu untuk mengupacarakannya, akan tetapi karena tuntutan adat maka harus tetap dilakukan. Namun, pelaksanaannya sudah kurang sempuma karena toniasa dinilai sudah cukup gadis (randalamo).

Teknis upacara Nokeso ini ditentukan oleh vati sesuai status sosial dan atau warisan yang pernah diterimanya dari orang tua atau nenek moyangnya. Bagi keturunan raja/bangsawan vati, ditentukan oleh ketua dewan adat.

Melansir laman Budaya Indonesia (16/4/2021) upacara bertujuan untuk mengantar anak perempuan memasuki masa gadis (karandaa) agar dapat menjalani kehidupan yang bahagia tanpa gangguan mental dan fisik. Selain itu, berharap agar anak perempuan tersebut memiliki perkawinan yang baik dengan panjang umur, sehat serta dilimpahkah rezeki. Sesungguhnya upacara ini adalah suatu upacara peresmian/pernyataan orang tua bahwa putrinya telah mengakhiri masa kanak-kanaknya dan memasuki alam kedewasaan.

Sejarah mengungkapkan bahwa upacara ini berlangsung selama 7 hari 7 malam lho bagi para bangsawaan. Umumnya upacara ini dilaksanakan pada siang hari dan dipentaskan oleh Ketua Dewan Adat Kerajaan. Tempat upacara dilaksanakan di rumah adat (baruga), sekarang dilaksanakan di tempat kediaman raja,/bangsawan dan di lapangan terbuka. Upacara ini adalah upacara terbesar yang dilakukan oleh raja dalam upacara daur hidup di luar upacara pesta perkawinan.

Setelah menentukan waktu anak perempuan atau Toniasa di pingit selama 3 hari 3 malam. Sebutan Toniasa berasal dari kata to = orang; niasa = singkatan dari nipakasa = orang yang diresmikan atau disahkan sebagai orang yang masuk dewasa. Tempat pingitan tersebut disebut songgi yang dibuat di dalam rumah diberi kelambu (boco) dan diberi sampiran dari 7 lapis kain mesa (tenunan kain galumpang dari Sulawesi Selatan).

Selama dipinggit 3 hari 3 malam, Toniasa dilarang untuk ke luar dari songgi. Mereka melakukan segala aktivitas di dalam songgi, termasuk makan, minum dan buang air.

Saat dipingit, mereka juga melakukan perawatan tubuh dengan menggunakan bedak khusus yang diberi bermacam-macam campuran dari tumbuhan yang wangi. Bedak tersebut dibuat dari beras ketan agar Toniasa tampil cantik dan bersih ketika upacara berlangsung. Selain itu, mereka juga mewarnai kukunya dengan menggunakan daun pacar (no katute).

Ketika selesai dipinggit, para penyanyi pun membuka songgi saat di pagi hari sebelum fajar terbit. Para penyanyi melantunkan n lagu dan syair suci yang terdiri atas 7 orang tua laki mengelilingi songgi, sampai matahari terbit di pagi hari. Setelah songgi dibuka, Toniasa pun diberi makan setelah itu dibawa ke sungai oleh keluarga dengan cara niponde (dipikul di atas bahu dengan kedua kakinya bergantung di bagian dada), dan diiringi dengan bunyi-bunyian instrumen dari bambu, gong, dan gendang.

Di sungai mereka nijunu (dimandikan dengan membasahi seluruh badannya) dan noisu (membersihkan rambut). Selanjutnya toniasa diantar kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Di sepanjang jalan toniasa tak diperkenankan menginjak tanah. Setiap langkah harus menginjak 7 tongkam daun pinang yang disiapkan secara bergantian sampai tiba di rumah.

Sebelum masuk ke rumah, toniasa rnengeliling rumah tiga kali dengan diiringi irama bunyi yang terus bertalu-talu sampai menginjak tangga adat naik (lanjara). Lanjara adalah tangga yang dibuat khusus dari bambu emas sebanyak dua buah, masing-masing tangga naik dan tangga turun khusus bagi para toniasa.

Setelah berada dalam rumah toniasa diberi pakaian adat oleh inonuvelo, dengan diiringi oleh gane-gane (mantera) yang berisi harapan dan doa agar dengan pelaksanaan upacara tersebut toniasa terhindar dari berbagai gangguan.

Ritual selanjutnya adalah melakukan tombak kerbau atau manjaku. Para Toniasa dibawa turun ke tanah untuk menombak kerbau yang sudah siap diikat di dekat tangga yang akan disembelih dalam pesta tersebut.

Setelah selesai, penyanyi kembali melantunkan syair dan lagu yang isinya melukiskan tujuan dan jalannya acara yang telah dan sedang dilakukan selama ini. Isinya penuh harapan dan doa, kiranya toniasa bebas dari gangguan rohani dan jasmani, panjang umur, mudah dan selamat mendapatkan jodoh dan keturunan yang baik-baik. Juga penuh nasihat dan itibar akan sang toniasa jangan membuat orang tua malu, dan hendaknya selalu patuh dan setia kepada orang tua. Setelah selesai, maka toniasa naik ke rumah, dan acara pesta makan pun dimulai.