Menu

Red Flag Gangguan Bicara pada Anak, Dokter: Kuncinya Stimulasi!

23 November 2021 09:55 WIB

Dokter Anak & Rehab Medis, dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR-K., saat webinar Baby Happy Diapers x Sekar Indonesia, Senin (22/11/2021). (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Moms, setiap anak tentu memiliki kemajuan tumbuh kembang yang berbeda termasuk dalam hal belajar bicara. Adapun, tahapan belajar berbicara si kecil merupakan salah satu proses yang perlu diperhatikan orang tua. Namun, Moms juga perlu ingat bahwa tahapan kemajuan perkembangan setiap anak berbeda dan tak sedikit anak yang mengalami keterlambatan berbicara atau yang biasa disebut dengan speech delay lho Moms.

Menurut Dokter Anak & Rehab Medis, dr. Luh Karunia Wahyuni, Sp.KFR-K., komunikasi anak itu banyak sekali caranya, bisa dengan bahasa isyarat dengan mengangguk dengan vokal dengan tatap mata, bahasa, dan bicara.

Dan, pada proses bicara ini ini tentu bukan sesuatu proses yang sederhana, namun sangat kompleks. Jadi ini merupakan salah satu hal yang terlibat yang termasuk di dalam bagaimana cara seseorang mengekspresikan, entah itu kemauan, entah itu si anak pengen memilih, kemudian prosesnya itu sangat kompleks.

“Jadi memang kita harus paham dulu. Bahasa reseptifnya sendiri harus baik. Kemudian pemahaman itu nantinya diterjemahkan ke dalam bentuk bicara. Jadi ada komponen sentral yang bicara di sini. Sehingga tadi saya sudah menyimak ada beberapa pertanyaan, apakah kemudian misalnya kejang atau misalnya ada riwayat prematuritas atau autism, nah itu akan mempengaruhi kemampuan bahasa ekspresifnya, dalam hal ini adalah kemampuan bicara. Nah setelah kemudian dipahami, kemudian disimpan didalam memori, kemudian hendak diungkapkan apa yang diucapkan dalam verbal itu ada jalurnya lagi, ada jalur lagi untuk bagaimana kemudian mampu berucap. Nah berucap itulah akhirnya membutuhkan suatu kerja dari organ-organ yang terlibat pada produksi bicara. Mulai dari kerja dari otot pernafasan, kemudian pita suara, kemudian juga organ-organ yang terlibat di sini, baik itu bibir, lidah, rahang, langit-langit dan seterusnya,” papar dr. Luh, saat webinar Baby Happy Diapers x Sekar Indonesia dengan tema ‘Kupas Tuntas Tahapan Perkembangan Bicara pada Anak & Solusi Tepat Atasi Speech Delay’, sebagaimana dipantau HerStory, Senin (22/11/2021).

dr. Luh mengatakan, gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab terhambatnya tumbuh-kembang anak yang sering ditemui. Menurutnya, pada saat anak disebut dengan gangguan bicara, maka organ-organ yang terlibat dalam hal tersebut adalah produksi bicara.

“Jadi bisa gangguan suara, bisa gangguan artikulasi, namanya memproduksi kata-kata, atau gangguan di kelancarannya. Nah ini gangguan artikulasi itu yang kita sebut dengan telo atau gagap. Tapi ada juga gangguan produksi bicara yang suaranya menjadi sengau atau serak, nah itu juga termasuk gangguan bicara,” imbuhnya.

Lebih jauh, dr. Luh juga memaparkan soal perbedaan antara speech delay dan speech disorder. Menurutnya, speech delay itu artinya terlambat. Artinya, seluruh prasyarat yakni pemahaman anak bagus, memori bagus, bisa mengekspresikan kemauan dan semua prasyarat untuk produksi bicaranya bagus, itu termasuk dalam kelompok terlambat.

“Jadi semua prasyaratnya bagus, tapi dia belum mencapai perkembangan yang seharusnya. Nah itu dinamakan speech delay. Sedangkan kalau speech disorder atau gangguan bicara, berarti ada yang terganggu di setiap prasyarat tersebut. Bisa gangguan di pemahaman, gangguan paham tapi gak bisa mengungkapkan, nah itu gangguan. Jadi dua hal yang sangat berbeda, terlambat itu modal dasarnya oke. Tapi kalau ada gangguan berarti memang ada gangguan ya prasyarat tadi,” beber dr. Luh.

“Lalu, apakah speech delay ini adalah satu gangguan? Delay itu keterlambatan, jadi dia itu Bahasa Indonesianya artinya terlambat. Terlambat itu bisa jadi penyebabnya berbagai macam hal, jadi bisa faktor si anak, bisa juga faktor lingkungan. Jadi artinya mesti dievaluasi dulu secara menyeluruh baik itu aspek reseptifnya, bisa dalam hal ekspresif di tahapan yang mana. Itu semua artinya harus dievaluasi secara menyeluruh,” imbuhnya.

Lantas, bagaimana cara mengenali anak yang mengalami keterlambatan bicara? Dikatakan dr. Luh, yang pertama adalah Moms and Dads harus memahami tahapan kemampuan si anak. Ketidaksesuaian perkembangan atau kemampuan itulah yang disebut dengan keterlambatabn atau ada gangguan apabila prasyaratnya tak terpenuhi.

“Anak yang mengalami keterlambatan biacara artinya prasyarat untuk mampu berbicaranya tak terpenuhi. Misalnya, si anak di usia 8-9-12 bulan itu harusnya sudah bisa mengucapkan 8-10 kata. Yang 18 bulan hampir seperempatnya tuh sudah bisa dipahami. Sampai 2 tahun itu 20-50 kosa kata, jadi bisa menyusun kalimat dengan 2 suku kata. Jadi 50% masih dimengerti. Kemudian, anak usia 2-3 tahun ini sudah 200 sampai 300 kosa kata, merangkai 1 kalimat dengan 3 suku , misalnya aku mau makan. Jadi 75% sampai 90at dimengerti. Sedangkan pada 4-5 tahun sudah mampu bercerita, jadi bisa mengungkapkan apa yang diinginkan ke dalam satu kalimat yang utuh,” tutur dr. Luh.

“Jadi artinya kejelasan bicara itu pun ada perkembangannya. Jadi bisa saja anak pada usia 2 tahun banyak kosa kata belum kita pahami, tapi jangan kecil hati, karena kalau kita melihat bahwa akan sangat jelas kosa kata itu diucapkan pada usia 5 tahun. Lantas, bagaimana red flag-nya? Jadi ini adalah tanda-tanda tadi sebagian ini sudah menyebutkan tapi saya fokus ke kata-kata Jadi kalau udah 15 bulan tapi kosa katanya masih kurang dari 3 suku kata, kemudian 18 bulan atau 2 tahun hanya kurang dari 25 kosa kata, umur 3 tahun kurang dari 200 kosa kata, artinya red flag ini bisa digunakan sebagai pegangan oleh orang tua,” sambung dr. Luh.

Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua jika anaknya mengalami keterlambatan bicara atau speech delay? Dikatakan dr. Luh, yang pertama harus Moms dan Dads lakukan adalah mengenali dulu milestone si anak, tingkat perkembangannya, kemudian memahami apa yang mesti diketahui sebagai red flag.

“Ingay, screetime-nya si anak harus sesuai, Moms and Dads harus tahu bahwa di bawah usia 2 tahun itu gak boleh sama sekali screentime. Kemudian, sebaiknya ajarkan atau stimulasi anak dengan bahasa ibu dulu, jangan langsung bilingual. Lalu komunikasikan jika ada red flag. Nah kenapa sih harus stimulasi? Karena sebetulnya proses komunikasi itu adalah proses belajar. Jadi sangat tergantung dari lingkungan. Lingkungannya sendiri adalah lingkungan yang aktif, yang memberikan stimulus yang sedemikian rupa, yang tantangannya makin lama makin ditingkatkan dan yang terbaik adalah melakukannya sesuai dengan konteks aktivitas hidup sehari-hari,” papar dr. Luh.

dr. Luh menuturkan, terkait perkembangan otak, anak iharus mendapatkan satu pengalaman, baik dari menggunakannya bahasa di kehidupan sehari-hari, dan itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang aktif, lingkungan yang dua arah sehingga gadget dalam hal ini menjadi tidak ideal karena otak itu hanya dua pilihan, digunakan akan berkembang, tidak digunakan akan rontok.

“Jadi kita lihat dis ini bahwa ada satu perkembangan dan pertumbuhan otak yang sedemikian rupa sehingga sangat sangat memerlukan stimulasi dari lingkungan. Nah jadi apa itu pembelajarannya? Pembelanjarannya itu membutuhkan pengulangan yang terus-menerus. Jadi artinya lingkungan yang aktif, lingkungan yang memberi tantangan, lingkungan yang menstimulasi anak untuk untuk bisa melakukannya itu adalah lingkungan yang optimal. Jadi lingkungan dalam hal ini bukan hanya Moms tapi juga Dads, atau siapapun yang ada di lingkungan yang paling dekat dari anak. Jadi artinya sekedar menunjukkan saja bahwa dibutuhkan proses pembelajaran yang berulang-ulang, berkali-kali dan itu harus berlangsung aktif dan terlibat dengan kepentingan hidupnya sehari-hari,” jelas dr. Luh.

Kemudian, dr. Luh juha bilang, cara melatih stimulasi anak yakni dengan melatih bonding, kedekatan mental, kedekatan emosional, dan kemudian melatih bahasa ekspresif dalam hal ini mengungkapkan isi pikiran, mengerti lingkungan, dan memberikan respon yang tepat,salah satunya adalah latihan gerakan oromotor.

“Saya ingin menyampaikan bahwa oromotor ini hanya salah satu saja dari aspek bagaimana anak bisa berbicara. Jadi gak bisa digunakan pegangan bahwa oromotornya baik kemudian anak bisa bicara lancar, tidak. Tapi oromotor itu punya peran, perannya adalah terutama pada saat diperlukan produksi artikulasi atau konsonan yang jelas. Lalu, bagaimana melatih bonding? Yang penting adalah kontak mata pada ketinggian yang sama, memberi respon yang tepat, kemudian tunjukkan bahwa kita adalah sosok yang bisa diajak untuk berkomunikasi dua arah. Jadi artinya anak harus diperhatikan, dalam bentuk kontak mata, sentuhan atau yang lain, diberi respon yang sesuai, kemudian diajak bermain di mana anak akan mampu meniru gerakan terlebih dahulu sebelum bisa meniru ucapan,” beber dr. Luh.

“Kemudian, anak diminta untuk bisa memberi tanggapan, apabila diajak untuk berkomunikasi dua arah. Dan yang penting juga adalah ini jangan mengambil alih tanggung jawab yang harus dilakukan anak. Jadi diberikan anak kesempatan untuk melakukan sendiri. Karena pada saat mereka melakukan sendiri mereka akan belajar untuk mengidentifikasi bendanya, bisa memahami prosesnya yang dari awal, kemudian akhirnya tahu output-nya apa. Nah ini sangat penting karena itu pulalah yang terjadi pada saat kita berbicara. Jadi pada anak-anak yang tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjalani suatu proses keseharian karena semua dibantu, misalnya makan, duduk, nasi tinggal disuap, maka dia gak akan belajar proses,” sambung dr. Luh.

dr. Luh juga mengingatkan orang tua bahwa anak pun butuh teman. Karena, lanjut dia, dalam tahap perkembangan berbahasa anak itu ada namanya pragmatik.Jadi, bagaimana bahasa itu dipergunakan pada konteks sosial.

“Jadi si anak ada teman sebaya, ada orang yang diajak berkomunikasi, tidak seperti Tarzan. Tarzan memang normal, tapi karena bergaul dan berinteraksinya dengan bahasa binatang, jadi dia ngomongnya bahasa binatang. Jadi anak ini nantinya sangat bergantung dari faktor lingkungan yang memberikan kesempatan dan peluang anak untuk melakukan ekspresi. Nah khusus untuk oromotor, sekali lagi saya jelaskan bahwa speech delay tidak selalu ada masalah oromotornya, tidak selalu. Tapi ini adalah salah satu hal yang bisa dilakukan untuk memfasilitasi gerakan. Memfasilitasi gerakan untuk bibir, memfasilitasi gerakan rahang gerakan lidah, ya tapi sekali lagi tidak menjamin bahwa fungsi oromotornya bagus kemudian anak tiba-tiba bisa bicara,” jelas dr. Luh.

“Nah latihannya macam-macam, bisa bermain menyedot, bermain alat musik tiup, nah tentu saja kita lihat di sini semua latihan-latihan ini harus dilakukan pada suasana yang nyaman, suasana yang menyenangkan, suasana yang kondusif, yang kemudian memberikan peluang pada anak untuk bisa belajar proses itu dengan mempergunakan seluruh indranya dan kemudian bisa mendapatkan respon yang optimal dari lingkungan,” lanjut dr. Luh.

Lebih lanjut, dr. Luh mengatakan bahwa belajar berkomunikasi untuk anak tidak bisa dilepaskan dari aspek lingkungan. Kemudian, usahakanlah stimulasi dilakukan melalui Interaksi yang menarik, yang riil untuk kehidupannya sehari-hari. Dan pada saat orang tua berikan stimulasi tentu membutuhkan pengulangan, tantangannya makin lama makin ditingkatkan, kemudian dilakukan adaptasi di setiap tahapan tersebut.

“Nah sehingga tentu saja orang tua dan lingkungan memegang peran yang sangat penting. Lantas, kemudian apakah gender itu berpengaruh? Sejauh ini secara evidence base, gender laki-laki atau perempuan itu tidak ditemukan adanya pengaruh, bahwa anak laki-laki lebih lambat daripada anak perempuan. Jadi dari beberapa penelitian yang saya baca, tidak menunjukkan bahwa laki-laki akan lebih lambat. Kemudian juga bagaimana dengan makan yang diemut atau kemudian terlambat tumbuh gigi? jadi makanan diemut itu bisa menunjukkan bahwa gangguan itu ada di aspek sensoris, atau bisa juga ada masalah di ketidakmampuan melakukan gerakan mengunyah. Nah gerakan mengunyah tersebut memerlukan adanya gerakan rahang, gerakan otot bibir, atau lidah, jadi ini bisa jadi merupakan hal yang nantinya bisa berpengaruh, tapi tidak selalu, karena ada juga yang nggak ada masalah bicara, tapi tetep ngemut. Jadi artinya memang harus dievaluasi lebih detail,” pungkas dr. Luh.

Semoga informasinya bermanfaat ya, Moms!