Menu

Inspiratif! Rangkul Perempuan Penyandang Disabilitas, HWDI Gelar Program Pelatihan Kewirausahaan, Seperti Apa?

22 Desember 2021 19:42 WIB

Wike Devi Erianti, Staff Monitoring dan Evaluasi HWDI. (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Dewasa ini, penyandang disabilitas banyak dianggap sebagai kaum marjinal atau terpinggirkan, sehingga taraf hidupnya terbelakang. Kabar baiknya, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) pun merangkul dan mendorong para penyandang disabilitas, utamnya perempuan penyandang disabilitas mempunyai usaha sendiri yang bernilai jual di tengah-tengah masyarakat.

Wike Devi Erianti, Staff Monitoring dan Evaluasi HWDI, mengungkapkan, pihaknya memang memiliki program untuk pemberdayaan perempuan disabilitas. Pada dasarnya, program bertajuk 'Jadi Pengusaha Mandiri' ini adalah adalah program pemberdayaan untuk kewirausahaan.

“Untuk spesifikasi program yang dikhususkan kepada penyandang disabilitas, judul programnya adalah 'Jadi Pengusaha Mandiri People With Disabilities' atau Japri PWD. Program ini berlangsung dari tahun 2020 sampai 2022 di 5 Kota/Kabupaten, yaitu di Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kota Kediri, Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo, serta Kota Malang. Nah program kerja dari Japri PWD ini 80alah penyandang disabilitas di setiap kota dan kabupatennya. Jadi dalam program ini bagaimana kita memberikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk teman-teman penyandang disabilitas, baik itu perempuan dan laki-laki, dalam konteks ini perempuan untuk bisa berdaya dalam bidang kewirausahaan, khususnya di Jawa Timur,” tutur Wike, saat sesi webinar bertema “Satu Dekade UNGPs on BHR: Bagaimana keadaan Perempuan Disabilitas di Indonesia saat ini?,” sebagaimana dipantau HerStory, Rabu (22/12/2021).

Wike memaparkan, program Japri ini adalah program untuk meningkatkan peluang usaha yang dikhususkan bagi anak muda perempuan dan juga penyandang disabilitas. Adapun, pelaksana kegiatan dari program Japri ini semuanya adalah NGO atau non-government organization yang berbentuk konsorsium, terdiri dari International Institute of Education, Prestasi Junior Indonesia, Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan, serta HWDI sendiri.

Kata Wike, diharapkan dengan program ini, anak muda, perempuan, dan penyandang disabilitas, memiliki peningkatan keahlian, disamping peningkatan keahlian pelatihan yang sudah difasilitasi atau diberikan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.

“Jadi kami ingin memberikan peningkatan atau pengetahuan di bidang kewirausahaan, bagaimana mereka menggunakan konsep-konsep kewirausahaan untuk bisa mengembangkan kemampuan pelatihan yang sudah mereka dapatkan dari organisasi kemasyarakatan ataupun pemerintah daerah dan pusat,” ujarnya.

Lantas, apa aja kegiatan utama dari program Japri PWD ini?

Wike menuturkan, karena program Japri PWD fokusnya adalah tentang bidang kewirausahaan, maka program ini memiliki kegiatan-kegiatan utama dari awal sampai akhir yang berkesinambungan satu dan lainnya. Dimulai dari awal itu ada adaptasi modul, kemudian membuat pelatihan perspektif dan interaksi untuk disabilitas dan non-disabilitas, training of trainer, training of coach, entrepreneurship training atau pelatihan kewirausahaan, pendampingan atau coaching, kemudian bisnis motivation workshop, bisnis model kanvas, dan yang terakhir adalah bantuan modal.

“Esensi dari program ini adalah ingin memberikan perubahan mindset atau paradigma berpikir bahwa penyandang disabilitas itu adalah sumber daya manusia yang produktif. Jadi termasuk adalah salah satu sumber daya manusia yang bisa diberdayakan melalui kewirausahaan, maka untuk bisa meningkatkan partisipasi penuh dari penyandang disabilitas dalam bidang kewirausahaan, maka perlu mengubah karakter atau interaksi dan juga pola pikirnya, baik itu dari komunitas maupun sistem kerjanya, dan juga mitra-mitra lokal di daerah. Maka sebelum kita melakukan tahap persiapan, kita melakukan terlebih dahulu, pertama adalah adaptasi modul, kemudian ada assessment juga, bagaimana harus mengutamakan perspektif ramah disabilitas gitu ya terhadap pelaksana dari program itu,” terangnya.

Wike melanjukan, walaupun mungkin nantinya HWDI akan merekrut peserta yang merupakan penyandang disabilitas, tapi kata dia peserta penyandang disabilitasnya belum tentu sudah saling berinteraksi antar ragam disabilitas satu sama lain.

“Misalnya, temen rungu belum tentu sudah berinteraksi dengan disabilitas dengan ragam daksa atau netra. Jadi dengan adanya tahap-tahap persiapan ini kita ingin memastikan bahwa adanya perubahan mindset dan juga memastikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak dari need assessment itu, apakah memang sudah dapat difasilitasi atau diberikan kepada mereka. Maka setelah kita yakin, barulah kita melaksanakan trainng of trainers dan juga training of coach,” bebernya.

Dikatakan Wike juga, kegiatan utama yang esensial bagi program Japri, yaitu pelatihan kewirausahaan dan juga pendampingan usaha atau coaching. Jadi sebelumnya HWDI akan mencetak pelatih kewirausahaan maupun pendamping kewirausahaan, tapi siapa yang dilatih dan siapa yang didampingi itu adalah peserta yang ada di setiap kabupaten kota.

“Nah peserta-peserta tersebut dilatih platform-nya adalah di dalam pelatihan kewirausahaan yang juga didampingi platform-nya adalah dalam kegiatan coaching,” imbuhnya.

Dalam kegiatan pelatihan kewirausahaan ini, kata Wike, para penyandang disabilitas tidak diberikan pelatihan hard skill seperti pelatihan menjahit, pelatihan memasak, dan sebagainya, tapi diberikan pelatihan kapasitas mengenai teori-teori tentang pengembangan bisnis atau kewirausahaan.

“Nah itu yang menggunakan konsep bisnis model kanvas. Jadi bagaimana mereka yang sudah memiliki kemampuan misalkan menjahit itu ya, mereka bisa menggunakan konsep bisnis model kanvas itu untuk membuat rencana bisnisnya. Nah targetnya yaitu 1.000 penyandang disabilitas di 5 kabupaten/kota tadi. Dalam setiap kegiatan pelatihan kewirausahaan itu kita memastikan bahwa mereka belajar untuk membuat rencana bisnis, seminimal-minimalnya yaitu kita meminta mereka untuk membuat rencana rancangan produk atau jasanya, kemudian bagaimana mereka membuat rencana marketing, dan juga rencana keuangan, yang nanti akan difasilitasi oleh trainer atau pelatih kewirausahaan di tingkat lokal,” paparnya.

Kemudian, setelah teman-teman disabilitas mengikuti pelatihan kewirausahaan, kata Wike, mereka akan didampingi secara personal atau individual oleh coach di tingkat lokal. Nah, program pendampingan usaha ini atau coaching menjadi program yang sangat bermanfaat bagi mereka untuk bisa mem-follow up atau menindaklanjuti rencana bisnis yang sudah mereka buat dalam pelatihan kewirausahaan.

“Jadi dari sini mereka bisa menata apa saja sih masalah yang mereka hadapi, tantangannya apa, kemudian dari proses coaching itu akan terus digali bagaimana mencari solusi dan juga tindak lanjut. Dari sini juga kita lihat pengukuran indikatornya, yaitu mengisi survei peningkatan usaha dari pertemuan pertama sampai ke-4,” imbuhnya.

WIke melanjutkan, kegiatan tindak lanjut setelah kegiatan tersebut adalah business motivation. Kata Wike, ini akan menjadi booster kegiatan wirausaha.

“Karena tidak semua peserta itu memulai dengan mental sebagai pengusaha atau mereka sudah memiliki mental keberanian untuk mau maju, untuk mau berkarya, berusaha, karena berbeda-beda tantangannya, berbeda-beda juga masalah yang mungkin mereka hadapi. Nah maka di dalam bisnis motivation workshop ini kita ingin memberikan pelatihan untuk memotivasi mereka secara grup, nanti dari workshop ini kita akan melihat pemecahannya bagaimana mem-boosting secara konsep bahwa teman-teman disabilitas itu setara dan bisa menjadi pengusaha secara mandiri sama seperti dengan pengusaha non-disabilitas,” tandasnya.

Berikutnya, lanjut Wike, follow up-nya itu adalah bisnis model kanvas. Ini adalah satu kegiatan pengayaan atau penajaman dari pelatihan kewirausahaan yang sebelumnya. Jadi pada kegiatan ini, teman-teman penyandang disabilitas yang baru memulai usaha maupun yang sudah punya usaha bisa menjadikan program ini sebagai bentuk dari membuat model bisnis usahanya menjadi lebih practical.

“Nah itu nanti dibuat dalam sektoral bisnisnya ada beberapa macam, yaitu di bidang kuliner, jasa, perdagangan, fashion, peternakan, dll,” ujarnya.

Berikutnya, lanjut Wike, ada kegiatan mentoring yang saling berhubungan. Kegiatan mentoring ini pada dasarnya adalah memberikan program fasilitas sebagai akomodasi yang layak ada teman-teman penyandang disabilitas dalam membuat proposal bisnis.

“Jadi bagi teman-teman penyandang disabilitas dengan semua ragamnya dapat mendaftarkan program ini. Ini tidak ada batasan, baik itu dari disabilitas fisik sampai disabilitas intelektual,” katanya.

Kemudian, Wike juga memaparkan bahwa untuk memberikan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, selain dari sisi infrastruktur dan juga komunikasi, HWDI juga memberikan akomodasi yang baik untuk kegiatan mentoring untuk membuat proposal program bisnis.

Dalam program mentoring itu, nantinya akan di-follow up menjadi sebuah kegiatan perlombaan yang bernama save funding. Program ini adalah program yang memacu atau memberikan kesempatan kepada teman-teman disabilitas untuk bisa membuat proposal bisnis yang akan diseleksi oleh panelis-panelis dari background atau latar belakang kewirausahaan.

Lebih lanjut, Wike pun mengungkapkan ihwal tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam menjalan program Japri PWD ini.

“Yang kita alami di lapangan yaitu adalah rekrutmen peserta penyandang disabilitas. Jadi dari sisi rekruitmen itu sendiri prosesnya kita menggunakan dua cara, yaitu pertama secara online dan juga secara offline. Secara online yaitu membuka pendaftaran dengan link disebarkan melalui WhatsApp Group di komunitas atau organisasi penyandang disabilitas, baik itu melalui Facebook, Instagram, ataupun WhatsApp,” terangnya.

Kemudian, untuk bisa menjemput bola secara efektif karena tidak semua penyandang disabilitas memiliki akses terhadap informasi dan teknologi, maka HWDI juga melakukan rekrutmen secara offline, yaitu mengundang teman-teman penyandang disabilitas yang memiliki komunitas-komunitas. Misalkan dari komunitas yang baru diinformasikan oleh komunitas yang sudah establish di tingkat lokal.

“Itu juga menjadi satu hal yang kita temukan di lapangan, bahwasanya memang tidak bisa menggunakan metode online begitu saja di tingkat lokal, kita harus beradaptasi untuk bisa langsung jemput bola dan melakukan komunikasi yang intrapersonal terhadap mereka,” ujarnya.

Tantangan lainnya, lanjut Wike, yaitu terkait dengan penggunaan alat teknologi dan komunikasi informasi. Menurutnya, di era pandemi ini semunya ‘dipaksa’ untuk mengalami percepatan dalam hal teknologi dan informasi, termasuk pada kegiatan pelatihan kewirausahaan ini.

“Dalam hal ini tentu kita mengalami tantangan bagaimana menyampaikan pelatihan yang efektif dan dapat diterima terhadap semua ragam disabilitas. Bahwasanya ada keterbatasan misalkan menggunakan platform Zoom, maka kami mencoba menggunakan berbagai macam cara atau metode bukan hanya Zoom tapi juga menggunakan video Youtube, metode learning secara mandiri yang ada subtitle, maupun mengunakan caption, kemudian ada juga penggunaan WhatsApp, bagaimana kita melakukan proses pelatihan intensif dengan WhatsApp Group dimana di dalamnya kita kirimkan materi-materi baik dalam bentuk video, word, voice note, untuk semua ragam disabilitas. Walaupun itu gak selalu efektif, tapi ada interaksi di dalam grup WA tersebut yang membuat mereka tahu atau setidaknya aware bahwasanya ada hal dari beberapa konsep kewirausahaan yang bisa dipelajari untuk mereka, baik secara mandiri maupun grup,” terangnya.

Kemudian tantangan lainnya, sambung Wike, adalah bagaimana mengelola konsistensi dan komitmen secara berkelanjutan daripada mitra lokal. Menurutnya, karena program ini bukan program yang manfaatnya dapat diterima secara langsung oleh penyandang disabilitas, melainkan program yang berkesinambungan yang manfaatnya mungkin akan dirasakan pada saat akhir.

“Nah, bagaimana teman-teman disabilitas dapat memanfaatkan bisnisnya dari awal melalui proses yang harus dilewati beberapa tahap. Tidak hanya melalui pelatihan tapi juga melalui coaching, motivasi, dsb. Jadi dengan adanya konsep atau sistem yang sudah berjalan selama ini kita mencoba untuk bisa mengubah itu dan menunjukan bahwasanya pemberdayaan ini menggunakan konsep yang baru. Harapannya, mudah-mudahan program ini bisa menjadi suatu komunitas yang independen dan bisa diadaptasi baik itu oleh organisasi penyandang disabilitas lokal maupun Pemda di tingkat lokal, untuk semakin banyak memberdayakan penyandang disabilitas menjadi wirausaha dengan adanya aksesibilitas dan akomodasi yang layak,” pungkas Wike.

Artikel Pilihan