Menu

Orang Tua Was-was Anak Harus Sekolah Tatap Muka? Psikolog Sarankan Hal Ini, Catat Moms!

21 Januari 2022 13:31 WIB

Psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener, M.Psi (Instagram/@samantaelsener)

HerStory, Bogor —

Saat ini, kegiatan pembelajaran tatap muka (PTM) 100% telah gencar dilaksanakan di beberapa wilayah Tanah Air. Termasuk di Jakarta juga mulai menjalankan PTM 100 persen, meski kasus Covid-19 Omicron di Ibu Kota masih tinggi.

Keputusan PTM ini pun diakui pihak Kemendikbud sudah melalui sejumlah evaluasi baik, dari pemerintah maupun non-pemerintah. Tak hanya itu, PTM ini dilakukan juga lantaran dampak Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang menimbulkan maslaah, salah satunya ketertinggalan mutu pembelajaran.

Psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener, MPsi, Psikolog., juga mengatakan, PJJ yang berkepanjangan bisa berdampak negatif untuk anak-anak, dari risiko putus sekolah, penurunan capaian pembelajaran hingga penurunan kesehatan mental dan psikis anak-anak. Dan, PTM terbatas adalah satu opsi untuk mengurangi dampak negatif tersebut.

“Selain learning loss, PJJ juga tak ayal membuat tingkat stress anak-anak meningkat tajam, kesehatan mentalnya juga terganggu. Jadi memang udah ada surveinya, dari skala nasional maupun global. Jadi saat 6 bulan pandemi saja tingkat stress anak dan ibu ini dari 65% meningkat jadi 95%.Kebayang gak kita sekarang udah 2 tahun. Mungkin ada yang sudah berhasil mengatasi stress ini. Udah berdamai, udah tenang, dan mulai menerima PTM sekarang. Tapi gak bisa dipungkiri masih ada juga yang gak bisa menerima itu karena ada ‘efek samping’ yang dihasilkan,” tutur Samanta, saat sesi Webinar Ruang Keluarga SoKlin Antisep yang bertajuk “PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana Orang Tua Menyikapinya”, sebagaimana dipantau HerStoryKamis (20/1/2022).

Lebih lanjut, Samanta pun tak menampik bahwa kekhawatiran memasuki masa PTM di tengah merebaknya omicron, tentu dirasakan para orang tua. Tapi, Samantha meminta orang tua untuk tidak khawatir berlebihan dan harus senantiasa melatih pemikiran dan mengombinasikan ketakutan dengan hal positif.

Jadi, menurut Samanta, sekarang tinggal bagaimana orang tua mengurangi ketakutan dan pelan-pelan memberanikan diri mengubah pola pikir untuk mengembalikan anak-anaknya ke sekolah. Tentunya, sambil terus mengingatkan anak agar memahami bahaya varian Omicron dan tetap mengajarkan pentingnya protokol kesehatan atau prokes

“Kita sebagai orang tua juga harus menyikapi secara bijak, jangan berlebihan, tapi harus tetap mengingatkan anak bahwa prokes nomer satu. Intinya jangan takut-takuti anak. Jadi kita perlu berdamai sama penyakitnya, Covid-19 itu ada dimana-mana. Yang bener adalah tetap kita harus jaga kesehatan kita, rajin cuci tangan, bersih-bersih,” tutur Samanta.

Lebih lanjut, Samanta pun menyarankan orang tua untuk mengatasi stres dan rasa cemas akibat kasus Omicron saat ini. Yakni, dengan menulis jurnal atau journaling. Seperti apa?

“Pertama, kita kenali diri kita sendiri kebutuhannya apa. Kita orang yang tipe pemikir atau perasa. Kalau kita tipe pemikir, kita bisa menuliskan apa yang kita khawatirkan, lalu rating 1 s.d 10. Yang kita khawatirkan itu perlu dipikirkan seberapa penting atau seberapa dalamnya sih? Misalkan, yang aku khawatirkan ini si anak gak bisa jaga prokes di sekolah, jadi ini nomer 1. Jadi kita akan tahu solusinya nanti apa,” tutur Samanta.

Kemudian, jika kita termasuk tipe perasa, lanjut Samanta, kita juga bisa menuliskan apa yang kita khawatirkan, tapi ratingnya dengan perasaannya.

“Misalnya, aduh aku belum siap deh anak kembali ke sekolah, yaudah rating aja, kekhawatirnya ada di angka berapa, misalnya 8 atau 7, lalu kita tarik napas, keluarin. Nah setelah itu kita bisa merasakan bahwa tingkat kekhawatiran kita bisa berkurang, bahwa kita tuh gak merasakan kalau kita sendirian. Moms yang lain juga pasti merasakan. Kita sudah melewati varian sebelumnya, dan kita bisa melewatinya kan,” tutur Samanta.

“Dan ada satu teknik lagi, ini adalah kita bisa melakukan penyusanan kalimat. Dan ini harus ditulis ya. kenapa harus ditulis? Karena ketika kita menulis, kita meresapi itu ke dalam otak kita sehingga kita memberikan informasi yang baru dan itu menenangkan kita. Contoh, virus Omicron berbahaya, tapi saya mampu kok melalui ini. Afirmasi tapi two things are true. Jadi 2 hal yang benar. Satu negatif, tapi satunya positif. Kita kombinasikan,” sambung Samanta

Samanta bilang, optimisme dalam menghadapi pandemi Omicron ini memang penting. Namun, penting juga untuk kita berpikir realistis. Jadi, saat menulis, pastikan terdapat satu fakta yang sulit, juga satu fakta yang optimistis. Dengan begitu, kita bisa menyeimbangkan realita kondisi pandemi Covid-19 yang sulit dengan kepercayaan bahwa dirinya akan baik-baik saja.

"Kita kan tahu Omicron itu ada, tapi akan jadi lebay kalau kita bilang ‘ah Omicron gak ada, atau ah aku gak akan tertulas’, itu kan lebay. Jadi yang benar itu kan virus Omicron itu ada dan berbahaya, tapi aku bisa kok melaluinya. Itu lebih optimistis dan realistis," tandas Samanta.

Selanjutnya, Samanta juga memaparkan tentang tips mengurangi kekhawatiran orang tua ketika anak PTM. Yang pertama yang harus orang tua lakukan adalah mempersiapkan perlengkapan prokes yang perlu dibawa anak ke sekolah dan selalu mengeceknya sebelum ke sekolah, apa yang perlu diganti atau ditambahkan.

“Sebelum berangkat, anak juga bisa di-briefing dulu, tentunya ini disesuaikan dengan karakter dan temperamen anak. Pelan-pelan, jangan diburu-buru apalagi dimarahi. Kemudian, orang tua juga harus membiasakan diri mendengarkan cerita anak setelah pulang sekolah,” ujar Samanta.

Gak cuma itu, koordinasi dengan guru atau pihak sekolah terkait bagaimana situasi di sekolah juga penting dilakukan. Lalu, orang tua pun harus melatih diri untuk dapat tenang dan sabar, saling percaya pada pihak sekolah yang sudah menaati aturan prokes.

“Jangan mudah terhasut hoaks atau gossip juga, usahakan selalu kroscek sumber berita juga,” pungkas Samanta Elsener.