Menu

Yenny Wahid soal Kesetaraan Gender, Inklusi dan Keberagaman: Secara Cultural, Masih Banyak Hambatan yang Dihadapi Wanita untuk Bisa Maju

04 Maret 2022 23:34 WIB

Direktur WAHID Institute, Yenny Wahid. (Instagram/@yennywahid)

HerStory, Bogor —

Direktur WAHID Institute, Yenny Wahid, menilai bahwa keberagaman dan inklusifitas adalah 2 hal yang sangat penting dan menjadi syarat mutlak bagi suatu bangsa untuk bisa dianggap sebagai bangsa yang besar, yaitu bangsa yang bisa mewujudkan inclusive society sebagai sebuah perwujudan dari cita-cita bersama, dan sebagai refleksi dari apa yang sudah menjadi slogann kita Bhinneka Tunggal Ika yang kuat.

Lebih lanjut, Yenny Wahid mengatakan bahwa inclusive society adalah sebuah masyarakat dimana semua orang bisa berpartisipasi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, untuk mendapatkan kesempatan untuk bisa berkontribusi di masyarakat.

“Nah, saat ini Indonesia agak lumayan, agak lumayan dalam banyak hal, lumayan inklusif, termasuk dalam legal regulation kita, legal law kita sangat inklusif, kenapa? Karena UUD menghormati setiap warga negara, apapun itu latar belakangnya, mau agamanya apapun juga, semuanya boleh mendapatkan haknya setara. Ada kesetaraan di sana,” tutur Yenny, saat menjadi pembicara di acara “Indonesia Inklusif, Indonesia Beragam: Merajut Keselarasan dalam Kemajemukan”, yang digelar oleh CITI Indonesia dan Narasi TV, secara virtual, sebagaimana dipantau HerStory, Jumat (4/3/2022).

Dikatakan Yenny Wahid, keberagaman dan inklusifitas sangat penting sekali karena di beberapa negara hal tersebut tak selalu ada, baik dalam dokumen legal negaranya maupun dalam konstitusinya.

“Jadi ada ke-khususan untuk beberapa etnis tertentu misalnya, Indonesia tidak. Di Indonesia ada kesetaraan, itu yang pertama. Yang kedua, kita melihat bahwa ada kelompok-kelompok di masyarakat yang cukup punya peran besar. Ya kalau di negara lain mungkin belum seaktif di Indonesia, contoh gampangnya ada beberapa simbolisme lah, ada beberapa kelompok yang memang kalau kita ingin melihat masyarakat kita dianggap sebagai masyarakat inklusif, memang ada berapa kelompok masyarakat yang memang harus difasilitasi agar suara mereka didengar,” papar Yenny Wahid.

“Nah, yang paling jamak merasakan tentunya adalah anita, lalu kelompok difabel, juga anak-anak muda, juga kelompok minority, apakah mereka berangkat dari etnis yang minority atau agama dan lain sebagainya. Tapi kalau ada representasi dari ini semua, dalam posisi-posisi formal di negara kita maka sebetulnya secara simbolikada pengakuan ya keberagaman,” sambung Yenny Wahid.

Yenny Wahid pun berpandangan, di Indonesia sendiri, wanita sebetulnya cukup mendapatkan tempat yang cukup besar di masyarakat, bisa berkiprah dengan lebih luas bila dibandingkan dengan beberapa negara lain.

“Di sini tidak aneh kalau menterinya wanita, kalau kemudian country head-nya wanita, Presiden juga pernah wanita, tapi intinya bahwa di Indonesia di satu sisi ada simbolisme, ada wanita di posisi-posisi strategis, tetapi secara cultural masih banyak hambatan yang dihadapi oleh wanita untuk bisa maju,” terangnya.

Lebih jauh, Yenny Wahid tak menampik soal hambatan-hambatan yang dihadapi wanita Indonesia untuk maju. Menurutnya, hambatan itu datang baik dari sifatnya internal maupun eksternal.

“Tetapi bahwa ada upaya untuk memberikan ruang bagi wanita dan ada upaya dari wanita nya sendiri untuk mau maju. Nah itu satu sisi. Tapi di sisi lain kita juga melihat bahwa kelompok difabel misalnya masih sangat jauh dari mendapatkan fasilitas yang layak. Saya sendiri berasal dari keluarga di mana ada anggota keluarga kami yang difabel, ayah saya difabel, ibu saya dafabel, jadi kerasa sekali ya ketika melihat bahwa ada fasilitas-fasilitas yang tidak diperbolehkan di Indonesia. Nah tapi kalau gus Dur sama Bu Shinta banyak yang bantu jadi lebih mudah. Nah ini yang masih menjadi PR besar,” terang Yenny Wahid.

Kemudian, Yenny Wahid pun menilai bahwa keberagaman dan inklusi adalah berkah buat Indonesia sebagai suatu bangsa, tapi menurutnya, hal ini bukan sesuatu yang bisa di take it or granted,  artinya bahwa kita semua punya tugas dan tanggung jawab untuk terus menjaga inklusifitas dan keberagaman ini dengan cara kita masing-masing.

“Dan tugas untuk menjaga serta memastikan bahwa nilai-nilai inklusifitas dan keberagaman ini tetap dihormati di masyarakat, tidak bisa diserahkan kepada pemerintah. Perlu ada public partnership, perlu juga dukungan semua pihak,” imbuhnya.

Selanjutnya, Yenny Wahid pun bercerita mengenai program yang ia gagas yang bekerjasama dengan beberapa komunitas untuk menciptakan masyarakat yang tahan ‘goncangan’. Kata dia, untuk menjalankan program itu, ia menggunakan 3 pendekatan.

“Pendekatan pertama adalah economic environment, kedua adalah mekanisme penciptaan rasa toleransi, penghormatan terhadap keberagaman dan lain sebagainya. Lalu yang ketiga adalah penguatan peran wanita atau women empowerment. Nah ini selaras dengan program-program yang dilakukan oleh CITI,” tuturnya.

Ia pun mengatakan, dengan semakin banyaknya program-program seperti ia gagas bersama masyarakat itu, maka akan semakin panjang inisiatif-inisiatif semacam ini dilakukan, baik oleh fondation, korporasi, dan organisasi masyarakat lainnya.

“Jad gak nunggu pemerintah, makin baik kita bisa segera mencapai cita-cita bersama akan negara yang betul-betul berbhineka dan menghormati kebhinekaan itu,” terangnya.

Lebih lanjut, Yenny Wahid pun mengimbau anak-anak muda untuk menjadiAgent of Change di tengah lingkungan sosial terutama di keluarga yang mungkin tingkat kesadaran atas keberagaman baik terkait agama Ras, Suku, Agama, ini mungkin dinilai masih cukup kurang baik.

“Pertama ya, anak muda itu pengerak masyarakat. Perubahan banyak terjadi karena anak muda, dan Indonesia ini telah diberkahi dengan anak-anak muda yang kreatif, anak muda yang pintar-pintar, anak-anak muda yang ambisinya untuk bisa berbuat banyak memberikan dampak, melakukan banyak hal yang bisa memberikan dampak di masyarakat itu luar biasa sekali, dan kita kaya akan itu,” terang Yenny Wahid.

Ia menyebut, jika dulu ndonesia kaya akan national resources, maka sekarang justru ia lebih bangga lagi karena Indonesiapunya human resources yang luar biasa.

“Karena lebih dari setengah dari populasi Indonesia itu anak-anak muda semua ini, nah sesuatu yang harus kita panen untuk bisa diberi atau difasilitasi sehingga mereka bisa menyumbangkan energi dan tenaganya untuk melakukan terobosan-terobosan di masyarakat,” ujarnya.

Untuk bisa menjadi Agent of Change, kata Yenny Wahid, maka anak-anak muda ini harus bisa membantu sekelilingnya untuk bisa lebih berpikir secara kritis. Karena menurutnya, banyak generasi-generasi terdahulu itu tidak punya kemampuan untuk berpikir kritis dan menelan apa saja yang masuk ke dalam gadgetnya, tanpa difilter.

“Nah anak-anak muda ini yang lebih ngerti lah tentang apa yang terjadi di medsos dan lain sebagainya bisa memberikan pemahaman bahwa banyak lho banyak perspektif yang berbeda yang ada di masyarakat, lalu juga udah bisa mengedukasi orang-orang sekelilingnya, jangan terjebak kepada algoritma yang ada di sosial media, yang memang membanjiri kita dengan isu-isu yang sepihak, yang memang menganggap kita suka dengan isu tersebut,” tuturnya.

“Gak hanya itu, anak-anak muda ini juga harus membantu orang tuanya, keluarganya, agar bisa lebih banyak ‘piknik’, dalam arti piknik secara fisik maupun mental untuk belajar melihat banyak perspektif, mendengar banyak perspektif, berdialog dan sebagainya, dan mengerti bahwa sesuatu hal itu tidak hanya dari satu kacamata saja, tapi banyak lensa yang harus dipakai untuk bisa memahami suatu masalah secara utuh,” pungkasnya.