Menu

Perkuat Kualitas Hidup Penyandang Hemofilia dengan Terapi Profilaksis, Seperti Apa?

27 April 2022 10:00 WIB

Forum bersama Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) bertajuk "Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia".

HerStory, Jakarta —

Inovasi dan pengembangan metode pengobatan hemofilia di dunia telah berkembang pesat, tetapi belum semua pasien di Indonesia dapat mengaksesnya. 

Tantangan akses untuk memperoleh pengobatan sesuai standar medis, pembiayaan, dan deteksi dini menjadi faktor penghambat penanganan hemofilia yang optimal dan berkualitas. 

Padahal, pemerintah melalui  Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana  Hemofilia (PNPK Hemofilia) sejak 2021, yang memuat ketentuan-ketentuan penanganan dan ragam pengobatan yang bisa menjadi pilihan berdasarkan kebutuhan pasien. 

“Kita melihat keberhasilan dalam menjangkau lebih banyak penyandang hemofilia melalui program  jaminan kesehatan nasional. Namun, masih ada penyandang hemofilia yang belum tertangani  dengan baik, sehingga kita perlu melihat kembali metode, praktik, dan pendekatan penanganan  klinis agar lebih maksimal," kata Ketua  HMHI Prof. Dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K). 

"Saya percaya, kita perlu mengoptimalkan kemitraan, kebijakan, dan  kemajuan, sehingga akses pengobatan konvensional ataupun inovatif dapat tersedia secara luas bagi  para penyandang hemofilia, apapun kondisi medis dan latar belakang ekonominya,” sambungnya.

Meskipun metode pengobatan terkini melalui terapi inovatif sudah tercantum dalam PNPK  Hemofilia, implementasi di lapangan dinilai masih belum berjalan lancar, terutama bagi penyandang  hemofilia A berat yang diperkirakan mencapai 20–30 persen dari keseluruhan kasus hemofilia A.  

Pengobatan metode on demand, yang diberikan hanya saat perdarahan terjadi, belum cukup efektif  karena perdarahan sendi pada hemofilia A berat bisa terjadi 3–4 kali per bulan. 

Akibatnya, selain  waktu yang terbuang dan biaya pribadi yang harus dikeluarkan untuk mendukung pengobatan,  muncul pula dampak psikologis serta risiko kecacatan dan kematian akibat perdarahan berulang  yang enggak tertangani secara efektif.  

Standar pengobatan hemofilia di dunia telah berfokus pada pengobatan inovatif dengan  penggunaan profilaksis atau terapi pencegahan untuk mengurangi kejadian perdarahan, meningkatkan luaran klinis dan memperbaiki kualitas hidup penyandang hemofilia. 

Sementara, paket INA-CBG saat ini belum memadai untuk mengakomodasi kebutuhan perluasan metode  pengobatan profilaksis yang sifatnya preventif. 

“Pengobatan metode profilaksis ini dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa  faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk pasien-pasien dengan antibodi faktor VIII,  maupun obat inovatif non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab. Dari Data National Health  Service dan standar tata laksana klinis di Inggris, Amerika Serikat dan Swedia, terapi profilaksis  terbukti lebih cost-effective dibandingkan on demand dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien  secara lebih baik,” ujar Dokter Spesialis Anak Dr. dr. Novie Chozie Amalia, Sp.A(K). 

Dari perspektif biaya, dr. Novie menambahkan bahwa pengobatan inovatif enggak selalu diasosiasikan dengan biaya yang tinggi. Terdapat beberapa pengobatan inovatif yang lebih baik dari segi manfaat, tapi juga lebih efisien dari segi total biaya perawatan yang tidak hanya terkait biaya obat. 

Sebuah studi lokal menggunakan pendekatan model simulasi mengenai pemberian profilaksis dengan obat  inovatif emicizumab terbukti menghemat anggaran negara sebesar 51 milyar dalam waktu 5 tahun  dibandingkan dengan tanpa emicizumab. 

Studi ini sebelumnya telah dipresentasikan di HTAsiaLink dan Konas HMHI tahun lalu dan sedang dipersiapkan untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah. 

Penyandang hemofilia dr. Satria Dananjaya dan spesialis kesehatan anak dr. Fitri Primacakti Sp.A(K) menyebutkan bahwa kualitas hidup yang baik menjadi harapan bagi para penyandang hemofilia, khususnya anak-anak dalam masa pertumbuhan. 

Hal tersebut membantu mereka dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Jika enggak didukung pengobatan yang baik, penyandang hemofilia akan kesulitan untuk menjalani aktivitas sederhana akibat perdarahan yang terjadi berulang kali. 

Harapan terbesar dari  para penyandang hemofilia adalah adanya perbaikan terhadap tatalaksana hemofilia di Indonesia.  Dalam mewujudkan akses yang lebih luas bagi para penyandang hemofilia, perlu didukung dengan  upaya penyebaran informasi agar urgensi dan kesadaran tentang hemofilia dapat dimiliki oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. 

Selain itu, kemitraan antara pemerintah, lembaga yang  relevan, dan media akan memperkuat implementasi PNPK Hemofilia di Indonesia.

“Kami menerapkan pertimbangan berdasarkan benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek lainnya dalam  mewujudkan perluasan akses pengobatan. Bukan soal obat yang berbiaya tinggi, jika treatment yang  baru lebih baik, maka bisa saja menggantikan treatment yang lama. Namun dalam prosesnya, perlu  melalui tahapan Formularium Nasional (FORNAS). Jika sudah masuk dalam FORNAS, maka  pengobatan akan dapat diakses masyarakat dengan mudah. Harapannya, ke depan kami bisa  semakin memberi kemudahan dari sisi obat untuk pasien,” tutur Sekretaris Direktorat Jenderal  Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja, S.Si., Apt., MM.

Dari sisi pembiayaan, penting untuk membangun sinergi antar lembaga pemerintah, swasta, dan  masyarakat, untuk memastikan bahwa transformasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang  tengah berlangsung dapat memperluas akses penyandang hemofilia dalam mendapatkan  perawatan yang sesuai standar. 

Optimalisasi kebijakan akses pembiayaan dan standar perawatan  perlu terus dilakukan agar masyarakat Indonesia memiliki kualitas kesehatan yang semakin baik,  termasuk para penyandang hemofilia.

Share Artikel:

Oleh: Tasha Rainita