Menu

Meski Sering Dianggap 'Menteri Keuangan' di Rumah, Ini 3 Alasan Literasi Keuangan Para Perempuan Masih Rendah

29 April 2025 10:35 WIB
Meski Sering Dianggap 'Menteri Keuangan' di Rumah, Ini 3 Alasan Literasi Keuangan Para Perempuan Masih Rendah

Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Tengah, Nawal Arafah Yasin (istimewa)

HerStory, Jakarta —

Di banyak keluarga Indonesia, perempuan kerap dijuluki sebagai "menteri keuangan" rumah tangga. Mulai dari mengatur belanja bulanan, mencatat pengeluaran harian, sampai menentukan tabungan untuk pendidikan anak — semuanya berada di bawah kendali mereka. Namun, di balik peran strategis tersebut, ternyata tingkat literasi keuangan perempuan Indonesia masih tergolong rendah.

Fakta ini diungkap dalam Webinar Edukasi Keuangan dalam rangka Hari Kartini yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Jawa Tengah pada Senin (28/4/2025). Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Tengah, Nawal Arafah Yasin, menegaskan pentingnya literasi keuangan bagi perempuan, terutama karena peran mereka yang begitu sentral dalam keluarga.

"Perempuan mungkin tahu perbankan dan tabungan. Tetapi, perempuan belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang cara kerja lembaga, produk, dan jasa keuangan serta manfaat dan risiko-risikonya," ujarnya dikutip dari laman Jateng Pemprov.

Hal ini membuat banyak perempuan belum mampu memanfaatkan sistem keuangan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi mereka.

Mengapa bisa begitu? Berikut tiga alasan utama mengapa literasi keuangan perempuan masih tertinggal, meski perannya begitu penting dalam urusan keuangan rumah tangga.

1. Ketimpangan Gender dan Beban Ganda

Salah satu tantangan paling nyata adalah ketimpangan gender yang membuat perempuan harus menanggung beban ganda: bekerja di luar rumah dan tetap mengurus rumah tangga. Meski sibuk, mereka sering bukan pengambil keputusan utama dalam urusan finansial besar seperti investasi, pembelian properti, atau perencanaan pensiun.

"Perempuan dihadapkan pada banyak peran dan tanggung jawab, tapi masih jarang yang benar-benar diberi ruang untuk mengambil keputusan besar dalam keuangan keluarga," kata Nawal.

Hal ini berdampak pada rendahnya minat dan kesempatan perempuan untuk belajar lebih dalam mengenai strategi pengelolaan keuangan jangka panjang.

2. Rendahnya Pendapatan dan Partisipasi Kerja

Rendahnya literasi keuangan juga berkaitan dengan realitas ekonomi perempuan. Berdasarkan data tahun 2023, hanya sekitar 50 persen perempuan di Jawa Tengah bekerja sebagai tenaga profesional. Bahkan, kontribusi pendapatan perempuan terhadap ekonomi daerah hanya 35,21 persen, di bawah rata-rata nasional. Selain itu, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih jauh di bawah laki-laki: 58,31 persen berbanding 83,74 persen.

Dengan pendapatan yang lebih rendah dan posisi pekerjaan yang kurang strategis, perempuan memiliki akses dan daya beli yang lebih terbatas terhadap produk dan jasa keuangan seperti asuransi, investasi, atau pensiun mandiri.

3. Akses Informasi dan Edukasi Keuangan yang Terbatas

Ini menjadi tantangan besar karena tanpa edukasi, sulit bagi perempuan untuk memahami cara kerja dunia keuangan yang terus berkembang , mulai dari investasi, pinjaman, hingga risiko-risiko seperti penipuan dan peretasan data.

“Perempuan juga masih jarang mendapatkan kesempatan pelatihan-pelatihan terkait keuangan,” ujar Nawal.

Sayangnya, kondisi ini membuat banyak perempuan menjadi sasaran empuk kejahatan keuangan, seperti investasi bodong, pinjaman online ilegal, hingga pencurian data pribadi.

Mengapa Literasi Keuangan Itu Penting bagi Perempuan?

Memahami keuangan bukan hanya soal menghitung uang belanja. Lebih dari itu, literasi keuangan memberdayakan perempuan agar mandiri secara ekonomi, mampu merencanakan masa depan yang aman, dan bahkan mendanai pengembangan diri seperti pendidikan tinggi.

Dengan perkembangan teknologi digital, dunia keuangan kini bisa diakses hanya melalui genggaman tangan. Tapi itu juga berarti risikonya lebih besar. Karena itulah, edukasi keuangan menjadi sangat penting.

"Kalau perempuan sebagai menteri keuangan tidak bisa mengelola dengan baik, maka apa yang sudah didapatkan tetap tidak akan cukup," ujar Direktur Pengawasan OJK Jawa Tengah, Tisa Retnani.

Sebaliknya, pengelolaan keuangan yang cerdas bisa membuat keluarga tetap sejahtera, meski dalam keterbatasan.

Baca Juga: Cara Atur Prioritas Usai Terima THR, Beauty Sudah Bisa Bedakan Keinginan dan Kebutuhan Belum?

Baca Juga: Lewat Women Festive, BCA Syariah Hadirkan Kajian dan Literasi Keuangan :Perempuan Perlu Memiliki Pemahaman Finansial

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Share Artikel:

Oleh: Ida Umy Rasyidah

Artikel Pilihan