Ilustrasi Mengurus Keuangan. (Pixabay/Edited by HerStory)
Dalam rumah tangga Indonesia, sudah jadi rahasia umum kalau para ibu sering dijuluki “menteri keuangan.” Tapi kenyataannya, banyak yang hanya berperan sebagai “kasir” yang bertugas mencatat dan mengeluarkan uang untuk belanja harian, bayar sekolah anak, hingga listrik bulanan. Padahal, potensi ibu-ibu jauh lebih besar dari sekadar pegang dompet keluarga jika dibekali pengetahuan yang mumpuni.
"Ada yang bilang jika para ibu merupakan menteri keuangan di rumah. Namun, kenyataannya di kebanyakan rumah tangga, ibu ibu itu cuma jadi kasir," ujar Annisa Stevani, seorang Certified Financial Planner dalam acara diskusi "Strategi Perempuan Indonesia Memanfaatkan Digitalisasi untuk Efisiensi" yang dilakukan oleh Komdigi.
Selain itu, ada juga masalah lain saat para perempuan mengelola uang. Menurut Annisa, masalah utama yang kerap dialami ibu rumah tangga adalah soal “kasih pinjam” uang. Biasanya karena sungkan, apalagi kalau yang minjem itu ipar atau keluarga dekat. Tapi lama-lama kok terasa, tiap bulan jadi ATM berjalan? Hal-hal seperti ini perlu direnungkan ulang. Annisa menekankan para ibu, sebelum bantu orang lain, pastikan dulu kebutuhan keluarga sendiri terpenuhi.
Apalagi para perempuan itu memiliki beban ganda, bukan hanya soal mengatur keuangan tapi bagaimana uang yang diberikan suami bisa cukup memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Jelas, ini bukan pekerjaan yang ringan, tapi dengan literasi digital yang makin luas, tugas ini bisa jadi lebih mudah dan efisien.
"Berbeda dengan para bapak-bapak yang hanya transfer uang hasil kerjanya, perempuan itu menanggung beban ganda. Setelah transfer bapak-bapak mau tau beres. Bisa dibilang mengelola keuangan itu tak mudah, tapi dengan literasi digital yang baik itu bisa lebih lancar," jelas Annisa.
Tapi sayangnya, belum banyak perempuan yang melek literasi digital. Hal itu bisa terlihat saat 60 persen pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan, ternyata masih banyak yang belum maksimal memanfaatkan teknologi digital. Padahal menurut Annisa, di era sekarang, digitalisasi bukan lagi pilihan. tapi keharusan.
Minimnya literasi digital di kalangan perempuan, membuat banyak perempuan ragu untuk berinvestasi karena merasa takut uangnya akan hilang. Padahal, sekarang ada banyak aplikasi keuangan dan investasi yang sudah diawasi OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Jadi, selama pilih aplikasi yang legal, pastinya aman.
Mau naik umrah? Bisa mulai menabung dollar lewat aplikasi. Mau beli emas? Ada juga aplikasinya. Bahkan buat yang mau jualan, sekarang bikin invoice pun bisa lewat HP. Tinggal klik, semuanya bisa terselesaikan. Tapi tetap, jangan asal promosi yang terlalu muluk. Banyak kasus investasi bodong justru terjadi karena ikut-ikutan dan takut ketinggalan (FOMO), bukan karena tahu ilmunya.
"Zaman sekarang mau investasi bisa dilakukan mudah secara online. Sayangnya kebanyakan ibu-ibu itu masih minim pengetahuannya sehingga memiliki, ketakutan, takutnya hilang. Di zaman sekarang sebenarnya gak perlu ditakutkan lagi, selama aplikasi keuangan itu diawasi OJK, lalu aplikasi jual beli emas diawasi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), bisa dibilang transaksinya sudah dipastikan aman. Maka dari itu, pengetahuan akan investasi itu perlu dicari tahu," cerita Annisa.
Di sisi lain, dengan literasi digital, para perempuan juga bisa memulai usaha. Namun, menurut Annisa hingga sekarang masih banyak perempuan yang merasa malu untuk memulai usaha. Takut dicap butuh uang hingga takut dikira “turun kelas.” Padahal, memulai usaha bukan soal gengsi, tapi soal kemandirian dan keberanian, apalagi yang melakukan seorang perempuan.
Berkat digitalisasi, Annisa mengatakan jika sekarang usaha kecil pun bisa naik kelas. Coba jualan lewat media sosial, manfaatkan fitur QRIS untuk pembayaran, dan catat semua pemasukan-pengeluaran. Gak perlu toko fisik, cukup HP dan kemauan, perempuan sudah bisa menjalankan usaha.
Annisa pun memberikan contoh penjualan produk digital seperti worksheet anak. Buku aslinya bisa mahal, sekitar Rp200 ribuan. Tapi dalam bentuk digital, jauh lebih murah, karena bisa cetak sendiri di rumah, dan untungnya tetap lumayan. Modalnya? Cuma ide dan waktu.
Kesimpulannya, digitalisasi bukan musuh, tapi alat bantu. Dengan memahaminya, para ibu bukan cuma bisa mengatur uang lebih baik, tapi juga bisa menghasilkan.
Selama aplikasinya legal dan diawasi lembaga resmi, manfaatkan teknologi untuk investasi, menabung, mencatat keuangan, bahkan membangun usaha. Karena jadi perempuan cerdas di era digital bukan cuma soal gaya hidup, tapi soal masa depan.
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.