Menu

Gustika Jusuf Hatta Bongkar Habis soal Pemberdayaan Perempuan hingga Kesetaraan Gender, Yuk Simak!

14 Agustus 2021 21:45 WIB
Gustika Jusuf Hatta Bongkar Habis soal Pemberdayaan Perempuan hingga Kesetaraan Gender, Yuk Simak!

Gustika Jusuf Hatta. (Instagram @gustikajusuf/Edited By HerStory)

Gustika lalu mengatakan, saat ini di Indonesia sendiri kebijakan-kebijakan yang pro perempuan itu masih sangatlah kurang.

“Kalau ditanya ada gak kebijakan untuk perempuan, masih kurang ya, masih kurang perspektif gender. Jadi kayak ada contoh mengenai ada orang yang masih mencari ruangan RS Covid-19 bagi Ibu menyusui, bagi ibu hamil, itu sangat-sangat sulit, Itu menunjukkan kurangnya perspektif gender, perspektif perempuan, dalam kebijakan-kebijakan yang ada. Dan itu salah satu yang mungkin jadi PR kita banget dibahas. Karena masalah perempuan itu seringkali ada miskonsepsi bahwa feminisme artinya ingin menginjak laki-laki. Namun, kenyataan bukan seperti itu,” jelas Gustika.

Menurut Gustika, di atas kertas istilahnya, perempuan Indonesia itu memang terlihat setara. Tapi implementasi di lapangannya itu berbeda.

“Misalnya aja gini, masuk militer atau kepolisian itu syarat tes keperawanan aja masih aja dilakukan. Kalau misalnya ini dibilang budaya, kan bukan juga. Jadi menurut saya, jika perempuan masih dinilai dari moralitas, apakah perempuan bisa dibilang sudah sepenuhnya berdaya? atau memang secara individu kita berdaya, tapi negara yang membuat kita tidak berdaya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Gustika  mengatakan bahwa organisasi UNESCO sendiri pernah memaparkan bahwa ¾ jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan. Dan memang perempuan sangat rentan untuk dilecehkan secara seksual, secara daring, seperti di media sosial misalnya..

“Saya juga pernah, ada orang yang gak suka sama saya, diancam mau diperkosa, pokoknya diobjektifikasi sedemikian rupa, dan itu kerap terjadi ternyata terhadap jurnalis perempuan. Makanya, saya pasti tahu banyak yang mengatakan di sekitar kita ‘ah perempuan sekarang sudah bisa jadi jurnalis, berarti kesetaraan sudah ada’. Namun nyatanya, akses kesananya juga masih sangat-sangat terbatas dan perlindungannya belum ada,” terang Gustika.

Lalu, jika kita memaknai merdeka itu dengan istilah bebas bergerak, apakah perempuan itu bebas bergerak dalam melakukan pekerjaannya? Terkait hal itu, Gustika menjawabnya, tidak.

“Kalau dulu perempuan Indonesia mungkin dijajah oleh penjajah, bedanya sekarang mungkin perempuan Indonesia dijajah oleh korporasi jahat. Dulu kan pernah ada kasus yang sampai ada buruh yang keguguran kan karena dipaksa kerja. Jadi mungkin sesuatu yang sifatnya acsessible buat saya, dan itu bentuk pemberdayaan, belum tentu itu bisa acsessible ke perempuan pekerja atau buruh yang ekonominya menengah ke bawah,” terang Gustika.

“Contoh lainnya mungkin kita semua tahu juga bahwa Ibu Kartini memperjuangkan soal pendidikan untuk perempuan, Tapi apakah hak-hak itu acsessible ke semua perempuan? Karena ketika membicarakan perempuan berdaya, kita tidak bisa membicarakan apa yang ‘hitam di atas putih’, tapi juga harus membicarakan faktor sosialnya, karena masih banyak sekali yang merasa perempuan tidak harus sekolah tinggi-tinggi, baiknya di rumah saja, dll. Jika itu dilakukan perempuan secara sadar ya tidak masalah, tapi kalau dipaksa itu tentunya keberdayaan mereka berkurang,” sambung Gustika.

Baca Juga: Banyak Wanita Jadi Korban Diskriminasi di Tempat Kerja, Ripy Mangkusoebroto Punya Solusinya Nih Beauty!

Baca Juga: PMSM dan Binus University Gelar Diskusi Ciptakan Lingkungan Kerja Makin Kondusif dan Bebas Diskriminasi, Gimana Cara Mencapainya?

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Halaman: