Menu

Perjuangan Konvensi ILO 190: Say No To Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja!

14 Oktober 2021 19:50 WIB
Perjuangan Konvensi ILO 190: Say No To Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja!

Para narasumber di sesi talkshow tentang Pekerja Muda Bicara; Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, Kamis (14/10/2021). (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Sejumlah kelompok sipil hak-hak pekerja mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) tentang perlindungan pekerja dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Diketahui, ILO beberapa waktu lalu menyepakati Konvensi 190 pada 21 Juni 2019.

Asal tahu saja, Konvensi ILO 190 adalah konvensi yang mengatur penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Bersama Rekomendasi No. 206, KILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja ini mendorong agar para pekerja mendapatkan jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, terutama bagi pekerja-pekerja perempuan.

Ratifikasi ini semakin mendesak karena hingga saat ini UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tak mengatur kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.

Lusiani Julia, perwakilan dari ILO, menuturkan secara spesifik tentang apa aja yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Menurutnya, concern kenapa konvensi ini ada adalah karena banyak hal-hal seperti kekerasan, pelecehan, bahkan diskrimiansi yang dialami para pekerja wanita, dan selama ini dibiarkan. Padahal, hal seperti itu menyebabkan ketidaknyamanan pada pekerja yang akhirnya menimbulkan kerugian baik untuk fisiknya, untuk psikologisnya, bahkan juga untuk ekonomi pekerja itu sendiri.

“Nah itu yang ingin protect, jangan sampai ini malah membuat si pekerja kehilangan atau mengalami kerugian yang lebih banyak lagi. Jadi konvensi mengatur tentang hal itu. Dimana pun kita bekerja, bahkan sekarang trennya wanita itu bekerja gka cuma di pabrik, di kantor, tapi kita juga ada yg bekerja sebagai content creator yang bekerja dari rumah, lalu penyanyi, semua itu dikategorikan sebagai tempat kerja. Itu masuk ranahnya tempat kerja, dimana kita melakukan pekerjaan, dimana kita melakukan semacam perintah atau ada order dari pihak lain, dan kita menerima upah. Jadi apapun jenis pekerjaan kita, siapapun kita, itu dilindungi oleh konvensi. Dan bahkan konvensi juga, termasuk rekomendasi 206-nya ini mengidentifikasi sektor-sektor yang rawan atau lebih tinggi risikonya uuntuk  terkena pelecehan dan kekerasan,” tutur Lusiani, di sesi diskusi tentang Pekerja Muda Bicara; Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, sebagaimana dipantau HerStory, Kamis (14/10/2021).

Lusiani melanjutkan, semakin banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, ternyata Konvensi ILO 190 ini makin relevan. Karena kata Lusi, sekarang orang yang bekerja dari rumah pun bukan berarti dia aman. Tapi, dia bisa aja terpapar oleh kekerasan domestik.

“Dan di dalam rekomendasi itu juga mengakui, ada hubungan antara kekerasan dengan tempat kerja. Karena bisa timbal balik. Kalau kita bekerja dengan orang yang stress di tempat kerja, jadi pulang ke rumah dia bisa marah-marah juga, bisa stress, akhirnya terjadilah kekerasan domestik. Jadi Konvensi ILO dan rekomendasi ini mengidentifikasi bahwa akan terjadi hubungan seperti ini, dan diharapkan para pengusaha juga bisa mengenali ini. Nah kenapa harus dikenali? Itu dia, untuk mengenali dampaknya sebenarnya di dunia kerja,” tuturnya.

Lebih jauh, Lusiani pun menuturkan kenapa ILO sangat mempromosikan soal ratifikasi Konvensi 190 ini. Kata Lusiani, karena di dalam konvensi ini gak cuma bicara soal aturan aja, pengusahanya harus bagaimana, dll, tapi juga memang konvensi  ini diakui, dan bahwa ini juga kewajiban semua orang.

“Ini harusnya sudah dilakukan bersama-sama. Karena memang prinsip dari ILO 190 ini harus dilakukan bersama-sama. Jadi misalkan dia harus aman dari dia bekerja sampai pulang ke rumah, itu memang hak kita. Jadi pengusaha juga gak boleh takut kalau misalnya kita bekerja di PT A doang, berarti PT A doang yang bertanggung jawab, gak gitu. Dimanapun rangkaian itu terjadi, orang harus tetap aman bekerja,” imbuhnya.

Lalu, sambung Lusiani, konvensi juga bicara soal penegakkan hukum dan pemulihan bagi si korban tadi. Dan menurutnya, hal ini yang masih sangat-sangat kurang diperhatikan.

“Nah ini yang saya rasa masih sangat kurang, terutama penegakkan hukumnya. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan atau pelecehan itu gak diapa-apain. Yang akhirnya banyak org yang bilang fenomena gunung es, yang muncul itu biasanya yang kecil, nah ya itu tadi penyebabnya. Udah muncul, masih juga dicemooh. Dibilang kok baru melapor sekarang lah, kemaren kemana aja? Nah itu juga bikin korban enggan melapor. Karena dia bukan cuma ngerasain trauma, eh dia masih dihujat juga. Ini juga yang harus dipikirkan bahwa gak ada laporan bukan berarti gak ada persoalan. Karena memang gak ada akses. Itu sering banget terjadi. Jadi memang konvensi ini menekankan harus ada penegakkan hukum yang sistem atau mekanismenya untuk pelaporan termasuk penanganannya harus disediakan,” beber Lusiani.

Yang disarankan lagi, kata Lusiani, menariknya jika ada kasus kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, dalam konvensi ini kasus tersebut gak cuma akan dibawa lewat jalur pidana aja, tapi juga lewat jalur perburuhan.

“Sebenarnya, banyak negara gak punya jalur perburuhan untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelecehan di tempat kerja, akhirnya itu dibawa ke ranah pidana. Dan kita tahu kalau udah masuk ke ranah pidana, ya itu tadi, kerahasiaan korban gak terjamin, justru dia malah makin dihujat. Dan bahkan bagi pengusaha sebenernya jika punya jalur perburuhan untuk menyelesaikan kasus di perusahaannya mungkin itu jauh lebih baik, karena kasusnya dia bisa selesaikan sesuai dengan kondisi di perusahaannya tapi memuaskan untuk korban dan juga mungkin pelakunya bisa dihukum secara pantas, sesuai tindakannya dia, berat atau ringan,” papar Lusiani.

Di kesempatan yang sama, Vivi Widyawati, selaku perwakilan dari Perempuan Mahardhika, mengatakan, dengan adanya konvensi ini, pihaknya ingin memperjuangkan suatu sistem kerja yang gak eksplotitatif.

“Kalau kita ngomongin pekerja kan macem-macem ya, ada target, gaji, jam kerja sampai malam. Itu menurut saya eksploitatif. Dimana kita diminta bekerja sebanyak-banyaknya, tapi upah kita kecil. Ada malah yang gak dibayar. Nah sistem kerja yang eksplotitatif ini juga bentuk kekerasan. Dia bisa berdampak kekerasan fisik, psikologis, mental, dsb,” tutur Vivi.

Menurut Vivi, dengan masih banyaknya kekerasan, pelecehan, dan bahkan diskriminasi di tempat kerja, maka berarti ada yang salah dalam hal perlindungan buruh.

“Berarti ada juga sesuatu yang harus diperbaiki juga, menurut saya ini yang sedang dilakukan teman-teman serikat buruh dan teman-teman organisasi semacam Konde, Sindikasi, dll, itu menginginkan ada sistem yang berpihak, melindungi sepenuh-penuhnya buruh tanpa syarat tanpa memandang gender, dan sistem kerja yang bebas dari segala macam bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminatif. Itu yang menjadi roh atau spirit perjuangan kita semua,” tandas Vivi.

Terkait dengan ratifikasi konvensi ILO, kata Vivi, bahwa sebenernya jauh sebelum konvensi ini ada, dan bahkan ketika masih menjadi draft, temen-teman di serikat buruh dan organisasi wanita Indonesia itu sudah menyuarakan dan sudah punya concern terhadap isu kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

“Banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh serikat-serikat dan organisasi yang concern dengan isu ini agar didengarkan, bahwa kekerasan dan pelecehan itu nyata. Dia bukan mitos. Nah apa yang dilakukan teman-teman serikat buruh dan organisasi wanita se-Indonesia itu juga dilakukan oleh teman-teman di kancah internasional. Karena memang kekerasan dan pelecehan itu problem dunia, problem global. Dan itu dampaknya akut, bisa sampai kehilangan pekerjaan, dll,” terang Vivi.

“Karenanya kemudian, ketika konvensi ini hadir, itu yang membuat kita semakin bersemangat gitu, wah iya nih ternyata kebutuhan suara kita menyatu dan didengarkan dan diakomodir, jadi sebetulnya konvensi ini bukan hadiah. Ini perjuangan. Perjuangan serikat buruh, organisasi perempuan, perjuangan organisasi media, dan siapapun, termasuk LGBT, dsb, yang ingin tempat kerja yang ramah bagi semua orang, tanpa diskriminasi. Jadi menurut saya, Konvensi ILO 190 ini sebuah tonggak, tapi dia gak berhenti. Karena kita tetap harus melanjutkan perjuangan. Karena pertama bukan soal menuntut ratifikasi, tapi bagaimana dunia kerja kita ini hadir sebagai dunia kerja yang bebas dari eksploitasi dan bebas dari segala macam bentuk kekerasan, diskriminasi, dan pelecehan. Jadi ada sebuah sistem yang salah dalam hal perlindungan buruh, dan ini yang ingin kita perbaiki. Dan konvensi ILO adalah sebuah instrumen yang bisa kita pakai untuk memperbaiki sistem itu,” pungkas Vivi.

Sebagai informasi, dalam diskusi ini juga tampak hadir beberapa perwakilan dari pekerja wanita lintas sektor. Salah satunya adalah Nurul Safitri, Dokter Pekerja Penyandang Disabilitas. Nurul bilang, sebagai seorang dokter penyandang disabilitas mental, dirinya pun kerap mendapatkan diskriminasi di tempatnya bekerja. Diskrimasi yang ia maksud pun sudah terlihat sejak ia melamar pekerjaan. Seperti apa?

“Jadi memang saya sebagai dokter sering banget setiap melamar pekerjaan itu harus menyiapkan surat keterangan sehat fisik dan mental. Nah sebelum masuk pun ada ujian patologi psikologi, itu juga disertakan surat sehat fisik dan mental. Jadi kesehatan mentalnya pun akan diuji di beberapa tahap. Dan ketika pun sudah diterima, misal ada jalur disabilitas, kadang-kadang belum terakomodasi kebutuhan untuk layanan disabilitasnya, misalkan aksesibilitas untuk pekerjanya atau kayak akomodasi yang sama atau setara dengan pekerja lainnya. Misalkan saya pekerja dengan disabilitas mental, saya terdiagnosa bipolar, jadi misalnya ketika saya sedang mengalami depresi, saya butuh tenaga ekstra untuk mendorong diri saya untuk bekerja seperti pekerja lainnya. Jadi itu belum diberikan fasilitas atau kemudahan di tempat kerja,” paparnya.

Perlu digarisbawahi, kata Nurul, konsisi psikologis temen-teman pekerja juga seringkali luput oleh perusahaan. Apalagi pas pandemi seperti ini, banyak juga teman-teman pekerja yang mengalami burn out, overwhelmed, itu bisa juga menyebabkan kondisi gangguan psikologis. Hanya saja, sayangnya masih sedikit perusahaan yang aware atau menyediakan lembaga pemulihan yang bisa bekerja sama, atau menyediakan layanan psikologis secara mandiri. Dan menurutnya, ini jadi isu penting karena pekerja juga butuh sehat fisik dan mental.

“Perusahaan kebanyakan kan enggak menyediakan buat pemulihan mental ya. Saya juga sebagai dokter, saat misalnya banyak pasien, gak jarang juga kena burn out, nah itu kan bisa sangat men-trigger, saya bisa kumat lagi. Tapi kebanyakan di tempat pekerjaan saya gak menyediakan buat fasilitas kesehatan mentalnya. Jadi itu harus diperhatikan memang,” tutur Nurul.

Bagi Nurul, sebagai seseorang yang punya disabilitas mental, ia mengaku lebih butuh ruang tenang. Ketika nanti dirinya mengalami burn out atau mengalami beban kerja berlebihan, dia ada tempat untuk menenangkan diri untuk beristirahat sejenak.

“Walaupun cuma istirahat 5 s.d 15 menit, Itu sangat berarti buat saya. Kedua, kami penyandang disabilitas mental juga butuh akomodasi yang layak, contohnya ketika kita harus menyerahkan pekerjaan yang tenggat waktu tapi di satu sisi kita sedang ‘kambuh’, nah itu perlu perhatian dari atasan untuk diberikan waktu ekstra untuk memberikan tugas saat deadline-nya. Termasuk juga nanti ada mekanisme jika ada kekerasan atau pelecehan di tempat kerja, itu juga penting,” tuntas Nurul.

Selain Nurul, beberapa pekerja wanita yang turut hadir menyuarakan soal isu kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi di tempat kerja lainnya adalah Sri Suhartini, Pengemudi Ojek Online Wanita; Anggita Raissa Amini, Pekerja Magang, Ullynara, Penyanyi, dan Agnes Indraswari, Content Creator.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Artikel Pilihan