Menu

Bhineka Tunggal Ika Cuma Slogan, Ketidakadilan untuk Wanita Melanesia Salah Siapa?

16 Juli 2020 13:35 WIB
Bhineka Tunggal Ika Cuma Slogan, Ketidakadilan untuk Wanita Melanesia Salah Siapa?

ilustrasi orang melanesia (Pinterest/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Rasialisme kepada orang Papua bukan masalah baru dan gak pernah berhenti, hal ini pun mengerucut pada persoalan ras Melanesia yang menjadi persoalan besar karena menodai keberagaman. Kenyataannya, masalah Papua dengan Indonesia bukan masalah yang sepele, Beauty.

Konflik ini sudah dimulai sejak pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih dari 50 tahun silam. Mama Yosepha Alomang, seorang wanita pejuang hak asasi manusia dari Papua, dalam Konferensi Jaringan Antar Iman di Sentani, Papua, tahun 2014 yang lalu berkata, ”Indonesia masuk ke tanah Papua dengan senjata!”. Dia gak lagi melucu. Mama mengucapkannya dengan berapi-api dan menahan air mata.

Dilansir dari beberapa sumber, wajah Mama Yosepha, seorang wanita asli Maluku yang secara geografis, Maluku punya ras Melanesia tersebar dari Kepulauan Maluku hingga ke Timur Pasifik, termasuk Papua. Kira-kitra sekitar 13 juta jiwa ras Melanesia yang ada di Indonesia dan merupakan yang terbanyak di dunia, lho!

Tapi ras Melanesia ini gak tunggal, Beauty. Ras ini memiliki gradasi yang gak dengan mudah dicirikan dengan berkulit gelap, berambut keriting dan bertubuh atletik. Mereka bisa ditemukan dari orang-orang yang berasal dari Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua yang memiliki kulit lebih terang, rambut agak lurus atau ukuran tubuh yang bermacam-macam dari yang pendek hingga yang menjulang tinggi, menjadikan orang-orang Melanesia sebagai liyan yang belum “tetap”.

Kalau ditampilkan dalam media, pemeran orang-orang Melanesia bisa digantikan oleh pemeran dari suku lain dengan menggunakan patokan yang umum itu. Tapi hal ini gak berlaku kalau yang ditampilkan adalah liyan yang sudah “tetap” seperti orang-orang Cina Indonesia. Hal ini disebabkan karena secara universal mereka sudah dikenal dan masyarakat memiliki pengetahuan bersama tentang siapa yang dimaksud orang Cina sehingga tentu aneh banget kalau ada tokoh orang Cina yang diperankan oleh orang Papua, Maluku atau NTT.

Sebaliknya, jika representasi itu bercerita tentang orang-orang Melanesia, maka mereka bisa digantikan dengan pemeran dari suku lain, seperti Shafira Umm (Cahaya dari Timur: Beta Maluku, 2014) atau Marsha Timothy (Marlina, Si Pembunuh Dalam 4 Babak, 2017). Praktik pemilihan berdasarkan kriteria yang mendekati ciri-ciri umum terhadap representasi liyan seperti ini mirip seperti model black face yang dipraktikkan dalam industri hiburan oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di Amerika dan Eropa.

Adapun masalah rasialisme kepada orang Papua, yang mengerucut pada persoalan ras Melanesia, menjadi persoalan yang besar karena hal ini menodai banget semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika. Dengan terjadinya hal itu, maka seluruh masyarakat harusnya perlu mempertanyakan ke-Indonesia-annya. Jika merasa sebagai saudara sebangsa setanah air, kenapa masih dengan mudah diadu domba dengan politik identitas (entah agama, suku, ras, dan golongan)? Apa gak mengganggu rasa keadilan dan rasa kebangsaan?

Dilansir dari Indonesianis Ben Anderson tentang 'komunitas yang dibayangkan', Indonesia seperti apa yang kita bayangkan selama ini? Sebenarnya, peran media sebagai salah satu teknologi sosial yang membentuk dan mereproduksi representasi yang selama ini ada dalam media konvensional.

Kapan masyarakat pernah melihat wanita berdarah Papua, NTT atau Maluku dan berkata bahwa mereka cantik bila disandingkan dengan wanita dari suku-suku lain?

Kapan masyarakat menonton film atau melihat iklan yang menggunakan bintang film atau model dari ras Melanesia?

Ketika muncul pun dalam media, bagaimana wanita Melanesia diposisikan? Dipuja atau dicemooh?

Kenyataannya wanita Melanesia mendapat diskriminasi yang gak mencerminkan sama sekali bhineka tunggal ika. Wanita Melanesia yang ditampilkan dalam film Marlina, Si Pembunuh dalam 4 Babak (2017), Salawaku (2016) atau Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (2014) misalnya, mereka justru mereproduksi tatapan kolonial dan pengasingan wanita Melanesia dari lingkungan dan alamnya. Mereka digambarkan sebagai wanita-wanita yang terbelakang: kolot, gak berbahasa Indonesia dengan dialek sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia) yang mengikuti orang-orang di ibukota, cerewet atau bicara dengan suara keras, dan gak berpendidikan yang ditandai dengan gak melek menggunakan teknologi komunikasi.  

Mirisnya adalah bahwa wanita Melanesia kerap kali dimunculkan dalam keadaan diam, sehingga pertanyaan akademis dan feminis Gayatri Chakravorty Spivak tentang “dapatkah seorang liyan menyuarakan dirinya sendiri” kembali mengiris hati.

Masyarakat Indonesia gak bisa menafikan bahwa ada gambaran ideal tentang kecantikan menurut SNI yang umumnya ditandai dengan kulit putih, tinggi dan langsing juga sifat-sifat feminin bentukan sistem patriarki. Hal ini juga berlaku bagi pria dengan sifat-sifat maskulin yang penuh machismo.

Media terus-menerus mencekoki masyarakat dengan gambaran yang dianggap ideal sehingga lambat laun masyarakat menerimanya sebagai sesuatu yang alamiah padahal penuh intimidasi. Jarang dipertanyakan apakah gambaran ideal itu melayani kepentingan ekonomi industri kecantikan, memapankan nilai-nilai patriarki dalam masyarakat, bahkan kolonialisme dalam masyarakat. Parahnya, masyarakat bahkan dibuat amnesia dengan perasaan tertindas sebagai sesama bangsa terjajah, sehingga tega menyakiti hati sesama karena mereka berbeda.

Selain pandangan yang patriarkal dan kapitalistik, nilai-nilai kolonialisme pun masuk dan memengaruhi cara pandang terhadap wanita Melanesia (dan secara umum wanita di negara-negara Dunia Ketiga). Kerinduan pria ras Melanesia akan wanita berkulit putih, tinggi dan langsing untuk mengangkat martabatnya juga muncul dalam budaya populer.

Jenis wanita yang berbicara pada wanita Melanesia seringkali menunjukkan bahwa “kamu itu gak masuk standar cantik” dan justru menyingkirkan wanita Melanesia sendiri.

Akibatnya, di wilayah Indonesia Timur, terutama Maluku dan NTT, orang lain akan menemukan banyak wanita Melanesia yang meluruskan rambutnya dengan teknologi rebonding. Rambut lurus dianggap sebagai tolak ukur kecantikan dan menambah rasa percaya diri mereka, berikut kulit putih. Lebih parah lagi, rambut lurus dapat menjadi simbol kemajuan karena malu dengan label “keterbelakangan” yang disematkan kepada mereka selama ini. Dengan representasi yang seperti ini, tentu saja ciri khas perempuan Melanesia pelan-pelan akan punah dari peta keberagaman Indonesia dan gak diperhitungkan ada.

Diskursus konflik Papua kali ini makin mempertajam isu rasialisme yang kenyataannya gak mau diakui keberadaannya oleh mereka yang gak berasal dari papua. Akhirnya, bisakah seluruh masyarkat mempersalahkan masyarakat yang rasialistis kalau teknologi sosial di sekelilingmu membentuk cara pandang yang gak adil selama 74 tahun Indonesia merdeka? Apakah mendapatkan penerimaan dari sesama saudara sebangsa harus lewat pengorbanan darah dan air mata terus?

Diam dan terus bungkam dengan keadaan gak bikin Indonesia benar-benar adil dan bhineka tunggal ika sebatas nama yang implementasinya gak pernah dirasakan kecuali dalam festival dan drama yang isinya penuh sandiwara, Beauty.

Baca Juga: Selalu Unggul dan Sukses, Ini 3 Zodiak Wanita Independent dan Inspiratif! Kamu Banget Gak Beauty?

Baca Juga: Cerdas Sejak Lahir, Ini 3 Zodiak Berwawasan Luas dan Inspiratif Bagi Orang Sekitar! Ada Kamu Gak?

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Artikel Pilihan