Menu

Apa Itu Childfree? Ternyata Bukan Fenomena Baru dan Sudah Ada Sejak Ratusan Abad yang Lalu, Intip di Sini Beauty!

10 Februari 2023 14:06 WIB

Childfree. (Heylaw Edu/Edited by HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, sempat ramai menjadi perdebatan publik beberapa waktu lalu, childfree kini kembali menjadi topik hangat. Istilah ini menunjukkan kondisi di mana pasangan suami istri gak punya anak karena pilihannya.

Namun, perlu diketahui bahwa gak semua pasangan suami istri tanpa anak itu menganut paham childfree, lho. Ada beberapa di antaranya yang memang gak bisa memiliki anak meski menginkannya.

Childfree merupakan sebuah pilihan di mana pasutri memutuskan untuk gak menginginkan anak dalam pernikahan mereka. Tentunya kondisi ini berbeda dengan pasangan suami istri yang menginginkan anak namun gak bisa mendapatkannya, atau childless.

Tentunya hal ini merupakan sebuah pilihan, Beauty. Sayangnya, melansir Urban Dictionary, banyak orang yang menganggap childfree merupakan sebuah pilihan egois.

Hal ini terjadi karena ada stigma yang merekat pada pasangan childfree yang menganggap bahwa anak adalah beban. Di sisi lain, banyak anggapan bahwa anak adalah rezeki sehingga kehadirannya harus disyukuri.

Stigma wanita soal anak

Pada dasarnya wanita merupakan orang yang mengandung dan melahirkan anak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pilihan ingin punya anak atau enggak berhak disuarakan oleh wanita.

Sayangnya, stigma soal wanita dan anak masih banyak diimami oleh masyarakat. Melansir laman Times of India, Jumat (10/2/2023), masyarakat kerap meciptakan stigma bahwa wanita tanpa anak adalah makhluk yang gak sempurna.

Hal ini berlaku dan menghantui setiap wanita yang childless maupun childfree. Seorang Ginekolog, dr. Manju Khemani, menjelaskan bahwa childfree dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat pinggiran kota.

“Gak peduli seberapa besar pencapaian wanita, mereka kerap dianggap gak sukses sebelum menjadi seorang ibu. Padahal, faktanya wanita lebih ambisius ketika gak memiliki anak,” ungkapnya.

Di Indonesia sendiri isu childfree sedang ramai menjadi pembahasan usai seorang YouTuber, Gita Savitri, mengumumkan bahwa ia dan suami memutuskan untuk menjalin pernikahan tanpa anak. 

Sayangnya, keputusannya itu masih banyak menerima respon negatif dari netizen. Gak sedikit yang mengolok-ngolok soal dirinya yang dinilai terlalu liberal karena tinggal terlalu lama di luar negeri.

Berdasarkan pantauan HerStory di media sosial, banyak netizen Indonesia yang mengatakan bahwa kelak Gita Savitri akan menyesal gak punya anak yang akan mengurusnya di waktu tua.

Lagi-lagi, hal ini merupakan stigma yang melekat pada anak. Mirisnya masih banyak masyarakat yang menjadikan anak sebagai ‘investasi’ dan jaminan di masa tua. 

Padahal, menikah berarti menyatukan suami dan istri dalam sebuah ikatan. Pada dasarnya gak ada paksaan bahwa sebuah keluarga harus memiliki anak.

“Pilihan untuk childfree merupakan bukti bahwa menciptakan keluarga bukan lagi karena paksaan untuk memiliki anak,” ungkap Akhlila Shivdas dari Media Advokasi Pusat di India.

Childfree bukanlah fenomena baru

Banyak orang yang tanpa anak mengira bahwa mereka merupakan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Faktanya melansir The Washington Post (10/2/2023) hidup tanpa anak, baik karena faktor biologis atau pilihan, sudah dialami oleh wanita di Amerika Serikat, sebagian Eropa, Kanada, hingga Australia selama berabad-abad lamanya.

Hal ini berkaitan dengan faktor modern soal tak memiliki anak. Perubahan selama empat abad terakhir telah memperkuat kontrol wanita terhadap keputusan untuk memiliki anak atau enggak. 

Di awal abad 1500-an, wanita di kota dan desa bagian Eropa Barat Laut memutuskan untuk menunda pernikahan hingga pertengahan usia 20-an. Sebelumnya, pernikahan biasanya terjadi ketika wanita memasuki usia belasan atau sudah mampu untuk hamil.

Daripada menikah muda dan bergabung dengan keluarga besan, wanita ini memilih untuk membangun kehidupan yang independen dan mampu memiliki waktu dan uang dari hasilnya sendiri. 

Gagasan untuk menunda pernikahan ini kian menyebar hingga banyak orang yang bahkan enggan nikah hingga gak punya anak sama sekali.

Setelah seseorang memutuskan untuk menunda pernikahan, ada banyak faktor yang memengaruhi keputusannya untuk childfree, seperti alasan pribadi, kondisi ekonomi, budaya, hingga masalah biologis seperti kemandulan.

Oleh karena itu, fenomena childfree semakin biasa. Hingga di masa sebelum revolusi, kota Paris memiliki 15 hingga 22 persen populasi orang dewasa yang belum menikah, dan kemungkinan besar hidup childfree.

Hingga dewasa kini, penikahan dan keputusan menjadi ibu lebih fleksibel dan indipenden bagi wanita. Banyak temuan menakjubkan di mana wanita era modern mampu melepaskan diri dari beban domestik dan memilih untuk gak menjadi seorang ibu.

Selanjutnya di tahun 1800-an di Amerika Serikat, wanita semakin sadar dan berjuang untuk kesetaraan. Banyak yang ingin memiliki kehidupan yang bebas tanpa beban harus membesarkan anak. 

Terlebih lagi di akhir tahun 1800-an, pernikahan dan memiliki anak menjadi dua hal berbeda. Banyak wanita, khususnya yang tinggal di pedesaan Britania Baru memilih untuk membatasi anak meski sudah menikah.

Dengan adanya industrialisasi dan demokrasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi, wanita di Amerika Serikat dan Eropa Barat semakin mampu untuk meningkatkan level edukasi wanita. Hal inilah yang juga meningkatkan kesadaran anak kontrol soal memiliki anak.

Paham soal pembatasan anak dan childfree semakin berkembang hingga pada tahun 1974 ada program televisi berjudul ‘All in the Family’ menunjukkan salah satu adegan di mana Gloria mengutarakan pendapatnya soal anak.

“Ma, aku yakin bahwa wanita pada dasarnya adalah seorang individu, lalu mungkin kemudian seorang ibu. Aku gak harus melahirkan dan memiliki anak untuk membuatku menjadi orang yang berguna,” ungkapnya.

Oleh karena itu, pilihan untuk childfree sudah ada sejak dahulu dan bukanlah hal yang baru. Tentunya, wanita khususnya memiliki hak untuk memilih ingin menjadi ibu atau gak memiliki anak. Keduanya merupakan sebuah keputusan yang setara dan sama baiknya.

Share Artikel:

Oleh: Noorma Amalia Siregar