Menu

Kisah 4 Perempuan Hebat Pencetus Solusi Iklim: Beraksi Lewat Teknologi, Ilmu Pengetahuan, Organisasi, hingga Edukasi

08 Maret 2023 09:05 WIB

Sejumlah murid memegang benih untuk ditanam sebagai bagian dari Inisiatif PaTree Patricia Kombo. (Foto seizin Patricia Kombo)

HerStory, Jakarta —

Beauty, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional yang diperingati tiap 8 Maret, kisah inspiratif perempuan muda menjadi hal yang unik untuk diulik. Terlepas dari usia yang masih remaja, ada perempuan dari berbagai negara yang berhasil menciptakan solusi luar biasa untuk mengatasi masalah iklim.

Pencapaian empat remaja perempuan inovatif ini tepat diakui oleh inisiatif Stasiun Inovasi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang mana merupakan jaringan yang merangkul perempuan dan anak perempuan yang menjadi inovator iklim dari seluruh dunia.

Kira-kira siapa saja remaja inspiratif yang berhasil menjadi agen perubahan iklim tersebut? Yuk, simak selengkapnya dalam informasi yang sudah HerStory rangkum dari laman ShareAmerica, Rabu (8/3/2023), berikut ini.

1. Anika Puri

Remaja yang tinggal di New York ini sempat kaget melihat banyaknya ukiran gading yang dijual di pasar Bombay, India. Fenomena mengejutkan itu disaksikannya saat berkunjung ke India kala dirinya masih kecil.

Terinspirasi dari pengalaman tersebut, muncul ide inovatif dari Puri untuk membantu pihak berwenang melacak dan menangkap pemburu gajah di Afrika dan India. Ia akhirnya memodifikasi drone atau pesawat nirawak dengan teknologi yang mampu mengidentifikasi mana manusia dan hewan.

Tentunya inovasi ini sangat bermanfaat sebab drone biasa memiliki keterbatasan dalam membedakan manusia dan hewan. Teknologi ciptaan Puri memiliki tingkat keberhasilan sebanyak 90am mendeteksi pemburu liar di  suaka margasatwa.

Teknologi ini merupakan sebuah aplikasi yang diberi nama ElSa (kependekan dari Elephant Savior). Puri berharap adanya aplikasi ini mampu melindungi mencegah kepunahan gajah dari ancaman pemburu liar.

“Ide utama pembuatan ElSa adalah untuk menerapkan metodologi dan model ini dengan sistem yang sudah ada di taman-taman nasional,” ujarnya.

2. Erin Ashe

Tumbuh besar di kawasan Barat Laut Pasifik membuat Erin Ashe memiliki kedekatan khusus dengan laut dan biotanya. Bahkan saat masih kecil, ia dan bibinya pernah menyaksikan momen orca yang berenang bebas di pantai Pulau San Juan.

“Momen itu benar-benar melekat di memori saya. Rasanya seperti hanya ada kami dan paus-paus itu,” katanya. 

Kini ia menyadari bahwa keberadaan paus tersebut semakin terancam punah. Oleh karena itu, ia ingin menelusuri lebih apa saja hal yang mengancam populasi biota laut, termasuk pengaruh iklim.

“Saya menyadari bahwa paus-paus pembunuh ini sedang terancam, populasinya mengalami masalah,” ungkapnya.

Memiliki pengetahuan di bidang biologi kelautan, Ashe yang kini menerima gelar Ph.D. mendirikan Oceans Initiative bersama suaminya, Rob Williams. Mereka mengumpulkan data tentang populasi mamalia laut dan masalah yang berkembang di Samudra Pasifik.

Temuan mereka nantinya akan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam membuat kebijakan terkait dampak perubahan iklim, “Kami selalu memberikan prioritas untuk membimbing perempuan dalam sains dan menyadari bahwa masalah konservasi yang kami hadapi ini merupakan masalah sangat penting dan kami membutuhkan keterlibatan semua orang,” katanya.

3. Fatema Alzelzela

Berawal dari keresahannya terhadap tempat pembuangan akhir sampah di negaranya, Kuwait, yang selalu menumpuk, Fatima Alzelzela berhasil mendirikan organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang solusi sampah.

“Saya tahu bahwa saya harus melakukan sesuatu. Saya tahu bahwa saya ingin mengambil tindakan, tetapi saya tidak tahu tindakan seperti apa yang ingin saya ambil,” katanya.

Bermodal tabungan bersama saudara perempuannya, mereka merintis EcoStar dengan solusi daur ulang nasional untuk atasi sampah. Terbukti, bersama relawan yang mayoritas perempuan, organisasi ini mampu mendaur ulang ratusan metrik ton sampah.

Harapannya di masa depan adalah Kuwait menjadi negara yang mampu mengembangkan kolaborasi dan mengimplementasi infrastruktur daur ulang permanen di negaranya.

“Perempuan Kuwait sangat kuat. Kami diberdayakan,” ungkapnya.

4. Patricia Kambo

Perjalanannya ke Kenya bagian Utara menjadi titik balik bagi Patricia Kambo dalam meluncurkan organisasi PaTree. Ia menyaksikan kekeringan di sana dan kondisi anak-anak setempat yang minim akses terhadap tanaman hijau serta air.

Kembali ke Mbooni pada 2019 lalu ia meluncurkan PaTree yang merupakan organisasi yang melibatkan sekolah-sekolah setempat untuk menyemarakkan gerakan taman pohon. Sejauh ini, PaTree telah bekerja sama dengan 15 sekolah untuk menanam 15.000 pohon.

Meski pandemi menerjang, Kambo tetap aktif memberikan edukasi kepada anak-anak tentang cara menanam tanaman baru dari biji mangga dan alpukat. Ini merupakan salah satu metode untuk menanamkan pemahaman betapa pentingnya bahan pangan bagi kesehatan.

“Kami menyadari ada kesenjangan dalam hal pangan dan memberikan bahan pangan [bagi keluarga] agar tetap sehat,” katanya. 

“Saya melihat bahwa dampak terbesar dihasilkan ketika kita bekerja bersama anak-anak. Kamu dapat melihat energi positif mereka,” ungkapnya.

Tak berhenti sampai di situ, ia ingin mengembangkan kurikulum soal lingkungan hidup. Ini merupakan salah satu cara untuk memerangi krisis iklim lewat edukasi.

“Komunitas bisa berubah ketika mereka menyaksikan langsung perubahan. Jika kamu menanam pohon, maka orang-orang akan menanam pohon. Saat mereka melihat sesuatu terjadi, mereka benar-benar akan menjalankannya,” tandasnya.