Menu

Penyebab Kematian Tertinggi Ketiga di Dunia, Yuk Kenali Apa Itu Penyakit PPOK, Benarkah sama Bahayanya Seperti Kanker?

30 Mei 2023 19:05 WIB

Media brief bahaya PPOK kolaborasi antara Kemenkes RI, GSK dan PDPI

HerStory, Jakarta —

Menjaga kesehatan tubuh bukan perkara mudah, banyaknya kebiasaan buruk bisa memperparah kondisi kesehatan.

Sama halnya seperti kanker, penyakit paru kronis bisa menyebabkan kematian jika terlambat diobati. Tentu gak ada satu orang pun yang mengalami masalah serius ini.

Data dari WHO ditemukan bahwa penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di dunia.

Pada tahun 2019, ditemukan sekitar 3,23 juta jiwa meninggal akibat PPOK. Lebih dari 80% kematian akibat PPOK terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Dijelaskan oleh dokter dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Triya Damayanti, Ph.D, Sp.P(K), kondisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) memiliki potensi berubah menjadi perburukan gejala atau eksaserbasi.

"Gejalanya bisa semakin memburuk atau progresif secara perlahan. Ada suatu masa ketika pasien PPOK menjadi eksaserbasi, jadi kayak seperti serangan, penambahan gejala dari yang biasanya," jelas dr Triya dalam acara Kenali PPOK, Lindungi Parumu, Senin (29/5/2023).

Ditambahkan dr Triya, ada kondisi eksaserbasi penderita akan mengalami sesak napas yang meningkat, produksi dahak yang meningkat, serta laju napas dan nadi menjadi lebih cepat.

Di kesempatan yang sama, Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UI Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P(K) mengatakan bahwa kondisi eksaserbasi mempercepat penurunan fungsi paru.

Hal ini menjadi ciri utama perburukan PPOK. Eksaserbasi PPOK juga dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas fisik, kualitas hidup yang lebih buruk dan meningkatnya risiko kematian pada kasus yang lebih berat.

"Setiap kali eksaserbasi PPOK terjadi, mungkin meninggalkan kerusakan paru permanen dan ireversibel sehingga lebih sulit bagi pasien untuk bernapas dan meningkatkan perkembangan gejala yang lebih buruk ke depannya," jelas Prof Wiwien.

Selain itu, dr Triya menyebut eksaserbasi PPOK menyebabkan fungsi paru yang tak lagi sama seperti kondisi normal.

Melihat bahaya yang ditimbulkan, dokter spesialis paru berharap agar penderita PPOK tidak mengalami eksaserbasi.

Demi mencegah kondisi yang lebih buruk dan eksaserbasi serta mencapai hasil pengobatan PPOK sesuai yang diharapkan, diperlukan kesadaran bersama untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK sedini mungkin.

"Ketika seorang pasien datang, kemudian kita (dokter) diagnosis, kita berikan obat yang sesuai phenotype-nya. Jadi, sifat-sifat yang paling menonjol, dominan dari si pasien. Karena pasien PPOK A dan pasien PPOK B mungkin berbeda-beda karakteristiknya," tutur dr Triya.

Bahkan dr Wiwien menegaskan pentingnya mendiagnosis PPOK berdasarkan phenotype masing-masing pasien. Sehingga tepat sasaran dalam memberikan pengobatan. Tentu dengan harapan bisa menekan angka kematian pada PPOK.

"Pemberian terapi oksigen menjadi langkah pertolongan pertama yang harus dilakukan pada eksaserbasi PPOK saat penderita mengeluhkan sesak napas," tambah Prof Wiwien.

Selain itu, pasien juga akan diberikan obat pelega atau bronkodilator dalam bentuk nebulizer. Serta pemberian obat antiradang di samping obat pelega.

"Kita lihat responsnya. Kalau dia membaik, maka mungkin kita pulangkan pasiennya. Tapi kalau tidak membaik, kita perlu rawat. Bahkan yang berat kita mesti rawat di ICU," tutup Prof Wiwien.

Artikel Pilihan