Menu

Jangan Remehkan! Ini Penyebab dan Dampak Trauma Menurut Psikolog

15 September 2021 14:05 WIB

Ilustrasi wanita mengalami trauma (Unsplash/Joshua Rawson-Harris)

HerStory, Bogor —

Beauty, apakah kamu pernah mengalami sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan hingga membuat kamu trauma? Dari peristiwa besar seperti bencana alam hingga terkecil seperti ditinggal mantan, hal tersebut bisa membuat seseorang merasakan trauma, lho Beauty.

Namun, apa sih sebenarnya trauma itu? 

Psikolog Klinis Associate APDC Indonesia, Iswan Saputro, M.Psi, Psikolog., menuturkan, menurut American Psychological Association (APA), definisi trauma sendiri adalah respon emosional terhadap sebuah kejadian yang membahayakan, menakutkan, dan mengancam.

Iswan bilang, trauma ini dampaknya kemana-mana, ada domino’s effect-nya sendiri, dan biasanya langsung real experience yang kita alami, serta kejadiannya pun spesifik.

“Jadi kalau ditanya kata kuncinya apa,  pertama adalah respon emosional. Kedua adalah sesuatu dari eksternal yang membuat kita ketakutan, berbahaya, atau membuat kita secara keselamatan itu terancam,” kata Iswan, dalam sesi IG Live, sebagaimana dipantau HerStory, kemarin.

Soal penyebab traumanya sendiri, Iswan pun membaginya dalam 3 bagian. Pertama, adalah kejadian berat, berbahaya, atau mengancam. Seperti bencana alam atau kejadian-kejadian yang membuat shock, yang sifatnya tidak terduga atau tidak terprediksi, dan memberikan ketakutan, kesedihan, kemarahan, secara emosional besar dampaknya.

“Lalu yang kedua adalah trauma terjadi akibat kejadian yang terus-menerus. Misal, kita seorang anak yang di rumah itu orang tuanya kerap melakukan KDRT. Kita menyaksikan itu, atau malah kita sendiri yang mendapatkan perlakuan KDRT itu. Kita terbiasa mendengarkan bentakan, cacian, makian, kadang kita juga dikucilkan, ikut ditendang, dipukul, itu juga bisa menjadi penyebab trauma. Selain itu, bullying yang terus menerus dilakukan tiap hari juga bisa menimbulkan dampak psikologis pada diri seseorang. Dan yang kekinian, contohnya adalah cyber bullying,” papar Iswan.

Dan ketiga, kata Iswan, penyebab trauma sendiri adalah pengalaman hidup pribadi.

“Misalnya, ada momen verbal abuse dari orang terdekat. Dan itu membuat kita ada di momen ‘aku ga percaya lagi sama laki-laki’. Kalau sekarang itu output trauma itu jadi trust issue, inner child, turunan-turunan seperti itu,” jelasnya.

Iswan pun mengatakan, trauma bisa berujung pada masalah kesehatan seperti Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD). Dan untuk mencegahnya perlu dilakukan trauma healing.

“Dalam psikologis sendiri juga ada yang berbahaya yang tidak tertangani sejak awal, yakni namanya Gangguan Stres Pasca Trauma atau PTSD (Post Traumatic Stress Dissorder). Tapi itu butuh diagnosis khusus dan perlu dilakukan trauma healing,” ujar Iswan.

Lantas, apa dampak trauma itu sendiri?

Iswan bilang, dampak trauma sendiri bisa dirasakan dalam jangka waktu pendek (short term) maupun jangka waktu panjang (long term).

Dampak trauma short term yang paling terdeteksi adalah reaksi fisik dan kejadiannya pun spesifik. Contohnya, saat pandemi beberapa waktu, ada beberapa yang ke-trigger dengan bunyi ambulance, stress karena dihantam berita duka terus-terusan, dll.

Kata Iswan, dampak short term yang biasanya rasakan itu adalah deg degan, keringatan, mendadak pusing, secara fisik leher belakang tegang karena cemas, susah tidur, bisa juga gak fokus, cepat mengantuk

“Pandemi ini kejadiannya luar biasa, dan terus menerus. Nah kalau secara emosional itu dampaknya adalah ketakutan, cemas, bisa marah juga. Marahnya sama keadaan, dan itu gak bisa dikendalikan. Secara kesehatan juga kita jadi mudah sakit. Karena yang short term dampaknya biasanya kenanya di reaksi fisik dan emosional. Mudah marah dan tersinggung. Karena kalau dibiarkan begitu aja, ada potensi berdampak di masa depan,” papar Iswan.

Sementara untuk dampak long term, kata Iswan, orang yang traumatik secara berkepanjangan tak jarang ada yang bisa move on, namun tak sedikit juga yang terikat secara emosional. Dan ini akan mempengaruhi bagaimana orang itu mempersepsikan dunia dan hidup,  tentang konsep keluarga, sosial, dirinya sendiri, konsep pekerjaan, konsep berhubungan, itu akan mempengaruhi ke sana.

“Misalnya dia dibesarkan di keluarga yang kurang hangat, gak harmonis, kemudian ada KDRT. Dampaknya kemudian dia jadi punya konsep yang negatif tentang pernikahan dan keluarga, itu salah satu dampak long term. Dampak bullying juga. Atau yang gagal membina hubungan, kalau istilah sekarang ada trust issue ya, jadi ada ketakutan, ada ‘dinding’ yang sengaja dia buat tinggi. Dan gak cuma tinggi tapi juga tebal. Bahkan dia jadi gak mudah percaya sama orang. Karena sudah ada di titik ‘capek’ dan gak percaya lagi sama orang,” tandas Iswan.