Menu

Jangan Remehkan Gangguan Kesehatan Jiwa! Yuk Kenali Jenis dan Faktor Pemicunya

24 September 2021 12:05 WIB

Ilustrasi seorang wanita yang sedang mengalami depresi/gangguan jiwa.(Unsplash/Edited by HerStory)

HerStory, Bogor —

Dewasa ini, kesadaran masyarakat Indonesia dalam isu kesehatan mental atau jiwa dinilai terus meningkat. Dulu mungkin masyarakat masih menutup mata ketika membahas gangguan jiwa karena dianggap hal yang tabu. Tapi jika kamu sadar, Beauty, sekarang sudah banyak beberapa komunitas, gerakan, kampanye, obrolan di media sosial bahkan karya film yang mengulas tentang kesehatan jiwa ini.

Kesehatan jiwa ini pun begitu istimewa, hingga WHO menetapkan setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Ditetapkannya momen ini tentu memiliki tujuan, yaitu mengkampanyekan kesehatan jiwa dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai isu-isu yang relevan berkaitan dengan kesehatan jiwa itu sendiri.

Lantas, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan gangguan jiwa itu? 

Mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI sekaligus inisiator pembentukan Undang-Undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, yang juga seorang Psikiater, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ., menuturkan, sebelum berbicara tentang gangguan jiwa, ada baiknya kita mengetahui definisi gangguan kesehatan jiwa itu sendiri.

Kata Nova, menurut UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa itu adalah individu dapat berkembang secara fisik, mental, spriritual dan sosial. Orang tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan sepreti pandemi ini, dapat bekerja secara produktif dan juga mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Wanita yang karib disapa Noriyu ini mengatakan, gangguan jiwa sendiri menurut UU Kesehatan Jiwa terbagi dua. Yang pertama adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Adapun ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa, namun belum menjadi gangguan jiwa.

Dan yang kedua adalah ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Nah ODGJ ini kata Nova, berarti sudah ada entitas diagnosisnya. Dia sudah termanifestasi mengalami gangguan 3P yakni Pikiran, Perasaan, dan Perilaku.

“Jadi dia sudah termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala serta dapat menimbulkan distress atau penderitaan pada dirinya dan juga disfungsi. Misalnya kalau pelajar gak bisa belajar, kalau orang bekerja berarti dia ada gangguan okupasi, ada gangguan pekerjaan, ataupun ada gangguan dalam berkomunikasi sehingga hubungan interpersonal atau bermasyarakatnya terganggu,” papar Nova, saat dihubungi HerStory, baru-baru ini.

Nova pun melanjutkan, diagnostik gangguan jiwa itu sendiri biasnya menggunakan pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa. Di luar negeri sendiri, kata Nova, biasanya menggunakan DSM-5 TR atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition. DSM-5 TRini merupakan alat taksonomik dan diagnostik yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Di Amerika Serikat, DSM dijadikan paduan utama untuk diagnosis-diagnosis Psikiatris.

Namun lanjut Sekjen Asian Federation of Psychiatric Assosiations itu, metode paling umum yang sering dipakai itu dibedakan menjadi 2, yakni Psikosis dan Neurosis. Menurutnya, Psikosis dan Neurosis sangat berbeda satu sama lain dalam aspek patologi, gejala, perawatan, dan prognosis. Namun, istilah Psikosis dan Neurosis sering digunakan secara bergantian bahkan oleh para profesional karena banyak fitur umum yang mereka miliki, tetapi penting untuk mengidentifikasi bagaimana mereka berbeda satu sama lain, untuk membuat diagnosis yang akurat.

“Kalau psikosis itu biasanya gangguan jiwanya sudah mempunyai reality testing ability atau gangguan dalam menilai realita. Misalnya pada pasien dengan gangguan psikotik berat seperti schizophrenia. Nah, schizophrenia ini gejala khasnya misalnya halusinasi, merasa ada bisikan-bisikan di telinga, padahal sumbernya tidak ada. Jadi dia mengalami gangguan persepsi gitu.Sementara untuk Neurosis ini misalnya orang dengan gangguan jiwa tetapi masih bisa mempunyai penilaian realita yang baik. Misalnya adalah gangguan-gangguan seperti depresi, gangguan cemas, gangguan panik. Dan banyak sekali kalau mau apa saja diagnosisnya ya silakan melihat buku di DSM 5 atau PPDGJ 3. Tapi kalau buat saya, cukup 2 aja lah untuk jadi pembeda, yaitu Psikosis dan Neurosis,” jelas wanita kelahiran 27 November 1977 itu.

Lalu, apa saja sih yang dapat memengaruhi kesehatan jiwa seseorang itu?

Dikatakan Nova, terkhusus dia meneliti tentang bunuh diri, biasanya ia memakai model pendekatan Biopsikososial untuk mengetahui pemicu masalah gangguan jiwa. Dari pendekatan Biologis, misalnya, ia melihat apakah orang tersebut mempunyai masalah kelainan neurotransmiter seperti depresi dilihat dari serotonin transmiternya. Menurutnya, ada orang yang punya kecenderungan serotoninnya rendah.

Kedua, apakah ada faktor genetik atau keturunan. Tapi bukan berarti turunan akan mengalami masalah yang sama. Artinya, akan lebih berat saja penanganannya atau perjalanan penyakitnya. Nova pun memberikan contoh penulis terkenal Ernest Hemingway yang mati bunuh diri. Diketahui bahwa selama empat generasi keluarganya ada lima orang yang juga bunuh diri.

“Misalnya pada kasus bunuh diri. Secara biologis kita ingin melihat ada gak sih faktor genetik di keluarga. Contohnya yang menimpa Penulis, Ernest Hammingway. Ternyata dari 4 generasi itu sudah 5 orang anggota keluarganya yang bunuh diri. Kemudian kita juga melihat misalnya apakah penggunaan narkotika atau NAPZA ya. Pemakaian itu juga bisa berpengaruh terhadap perilaku dan juga sikap dari seseorang. Misalnya penyakit kanker gitu ya sudah gak kuat lagi pengen bunuh diri. Kemudian stressor terlalu tinggi misalnya pada masa pandemi sehingga akhirnya hormon stress seperti kortisol juga menjadi tinggi. Sehingga orang banyak mengalami misalnya gak bisa tidur tengah malem, nah kortisolnya harusnya sudah turun, hormonnya ini masih meningkat. Itu contoh-contih pemicu dilihat dari faktor biologis,” papar Nova.

Kemudian pendekatan Psikologis bisa dilihat dari pola asuh, lingkungan, dan sebagainya. Ini akan memengaruhi ciri kepribadian seseorang menghadapi masalah.

“Sedangkan pendekatan psikologis, biasanya kita lihat dulu apakah orang itu mengalami gangguan jiwa atau tidak, itu dilihat dari mekanisme koping, yakni mekanisma cara seseorang menghadapi masalah dalam hidupnya. Terus tempramennya seperti apa. Kemudian mekanisme defense-nya, cara dia mempertahankan diri kalau yang mature itu biasanya humor. Jadi dia bisa melihat sesuatu pada dirinya sebenarnya tuh tidak baik tapi dia melihat kekurangannya itu sebagai sesuatu yang lucu aja. Jadi humor itu mekanisme defense yang mengatur,” terangnya.

Dan yang ketiga adalah pendekatan Sosial, yakni dari lingkungan. Kata Nova, apa pun yang terkait dengan kehidupan sosial, memengaruhi seseorang dalam perjalanan penyakit jiwa secara model biopsikososial.

“Lalu dengan cara pendekatan sosial, itu adalah lingkungan. Jadi bagaimana lingkungan memperngaruhi, bagaimana integrasi seseorang terhadap lingkungan itu sendiri, kemudian bagaimana orang yang tinggal di masyarakat yang terpengaruh oleh norma atau value. Kalau sosial itu juga macem-macem, kayak faktor pekerjaan, faktor hubungan misalnya suami istri, pacar, bisa terjadi kekerasan dalam pacaran, KDRT, kemudian apakah dia punya pekerjaan, apakah dia mapan, seperti itu. Nah kalau sosial ini bisa juga kalau mau ditambahkan stressor psikososial itu juga mempengaruhi kalau dalam bunuh diri. Kalau stressor social itu apa, misalnya dipecat, atau di bully, atau ada keluarganya bunuh diri, idolanya ada yang bunuh diri, kemudian mengalami kekerasan tidak hanya bullying fisik tapi juga verbal. Pandemi ini juga jadi stressor psikososial. Jadi itu 4 faktor yang mempengaruhi, utamanya biopsikososial tapi ditambahkan stressor psikososial. Untuk aspek-aspek yang dapat mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Dalam hal ini saya contohkan tadi untuk kasus bunuh diri,” papar Nova.

Selain ketiga faktor utama tersebut, Nova bilang, ada faktor risiko, faktor pencetus, dan warning sign yang bisa dilacak. Selain itu, copycat atau werther effect menjadi faktor tambahan keinginan seseorang melakukan bunuh diri. Jadi seseorang melakukan bunuh diri karena terpapar orang lain. Misalnya karena sahabat atau keluarga melakukan hal itu, atau ada idolanya yang juga buniuh diri, ini meningkatkan kecenderungan seseorang itu ikut bunuh diri.

Lalu kata Nova, faktor pencetus merupakan faktor yang menjadi pemicu akhir seseorang bunuh diri. Misalnya, dia minta tolong tapi tidak ada yang merespons.

Nova juga bilang, biasanya sebelum bunuh diri, pelaku bunuh diri kadang memberikan warning sign atau tanda-tanda. Contohnya vokalis Linkin Park, Chester Bennington, yang beberapa waktu bunuh diri. Pria itu sudah memberikan warning sign-nya pada lirik dan video-video konser terakhirnya. Dalam konser-konser terakhir, Cheester Bennington pun menangis ke penonton seperti melakukan perpisahan.

Lebih lanjut, Nova mengatakan bahwa yang lebih mampu memprediksi bunuh diri adalah instrumen ketahanan jiwa. Artinya, tak harus depresi dan ada stresor sosial untuk punya ide bunuh diri.

“Instrumen saya ada empat dimensi, yaitu, pertama, burdensomeness, merasa dirinya menjadi beban. Kedua, belongingness, dia ingin menjadi bagian dari sesuatu. Hopelessness, dia merasa tak ada harapan. Dimensi terakhir, loneliness, dia merasa kesepian. Jadi, dari empat dimensi ini malah lebih kuat memprediksi sampai 5,39 kali potensi munculnya ide bunuh diri. Malah lebih ngeri lagi kalau ternyata tak terdeteksi bunuh diri, tetapi bisa terjadi,” pungkasnya.