Menu

Problematika Speech Delay dari Sisi Psikologis: Peran Ayah Krusial dalam Perkembangan Bicara Anak

24 November 2021 14:03 WIB

Psikolog Anak dari Tiga Generasi yang fokus menangani anak dan permasalahannya, Saskhya Aulia Prima, M.Psi (Instagram/@saskhya)

HerStory, Bogor —

Moms, sebagai orang tua, proses bicara anak kerap kali jadi satu kekhawatiran ya, khususnya di era pandemi ini, dimana anak-anak memiliki keterbatasan aktivitas bermain bersama teman-teman seumurannya.

Memang, setiap anak pastinya memiliki perbedaan akan kemajuan tumbuh kembang mereka masing-masing. Namun, tak jarang, seorang anak mengalami yang namanya speech delay atau keterlambatan berbicara yang tak sesuai dengan usianya.

Ya, Moms sebagai orang tua harus aware terhadap red flag gangguan bicara pada anak, seperti jika bayi usia 0-6 bulan tak menoleh jika dipanggil namanya dari belakang, dan tak ada babbling. Lalu, pada bayi 12 bulan jika ia tidak menunjuk dengan jari dan ekspresi wajah kurang. Kemudian, pada usia bayi 16 bulan jika tak ada kata yang berarti.Dan jika tidak ada kalimat 2 kata yang dapat dimengerti pada usia 24 bulan, dan lain sebagainya,

Menurut Psikolog Anak dari Tiga Generasi yang fokus menangani anak dan permasalahannya, Saskhya Aulia Prima, M.Psi., dari sejumlah penelitian yang ada, secara umum speech delay mempengaruhi pola berpikir, emosi, dan juga sosial.

Ia juga bilang, bahwa ada beberapa dampak yang dirasakan oleh anak speech delay, yaitu mereka seringkali mengalami tantangan di area manajemen emosi, kepercayaan diri, dan pergaulan sosial. Mereka akan lebih sulit mengelola perasaan karena sulit berekspresi, lebih tinggi kemungkinan menarik diri dari lingkungan sosial, kurang percaya diri, dan lebih sulit berkonsentrasi.

“Ya, konsentrasi juga jadi sesuatu yang harus dilatih Moms and Dads. Jadi kalau kita melihat gadget dia konsentrasi dengan sesuatu yang berubah-ubah, bukan yang tetap. Jadi gambarnya, warnanya, tuh seringkali berubah. Jadi dia bengong, ngeliat sesuatu yang baru terus. Ingat, bengong itu bukan konsentrasi. Yang bagus itu ya coba di compare dengan kita bacain buku.Kemudian dari sisi emosi. Memang lebih sulit mengelola perasaan karena sulit yang dia sesuatu apalagi kalau kita ngomong toddler itu setelah 1 tahun sampai 4 tahun itu, memang lagi tajam-tajamnya intensitas emosi mereka, tantrumnya juga lebih sering. Terus juga secara sosial ini dari penelitian, semakin besar dia akan lebih menarik diri dari lingkungan sosialnya, lebih agak sulit beradaptasi dan Kurang percaya diri. Dan juga kalau dari perilaku lebih mudah teramati, jadi paling sering mukul atau melempar menendang itufrekuensinya itu jadi lebih sering terjadi, karena mau ngomong gak bisa,” tutur Saskhya, saat Webinar Baby Happy Diapers x Sekar Indonesia dengan tema ‘Kupas Tuntas Tahapan Perkembangan Bicara pada Anak & Solusi Tepat Atasi Speech Delay’, sebagaimana dipantau HerStory, baru-baru ini.

Lebih lanjut, Saskhya pun mengatakan, orang tua memegang peranan penting dalam membantu stimulasi speech delay dibandingkan hanya menggantungkan sesi-sesi dengan terapi wicara. Ia pun menyebut, peran orang tua ini sangat krusial dalam perkembangan bicara anak.

“Kenapa orang tua memiliki peran krusial, jadi memang jawabannya sederhana karena kita paling sering ketemu anak waktunya lebih banyak. Jadi kalau kita misalnya nitipin anak sekolah gitu ya atau ditaruh di day care segala macam gitu ya, kan dia diajarin macam-macam gitu tapi keperluan utamanya setelah diajarin, di rumah di ulangin lagi nggak gitu. Jadi kalau misalkan cuman sebentar di tempat terapi, jadinya juga perkembangan itu prosesnya tidak secepat dengan yang kalau di rumah juga dibantu itu, dan orangtua memang jadinya perlu belajar cara-cara untuk membantu anak,” papar Saskhya.

Kata Saskhya, bukan hanya Moms, tapi juga peran Ayah atau Dads juga sangat besar dalam perkembangan bicara anak lho. Hal ini terjadi karena stimulasi kegiatan fisik aktif yang mengasah banyak area otak anak biasanya lebih sering dilakukan Ayah. Oleh sebab itu sangat perlu Ayah sering-sering bermain sambil mengajak anak mengobrol untuk meningkatkan kemampuan bicaranya.

“Ya, faktanya, anak yang terbiasa dibacakan buku oleh Ayah sejak usia 6 bulan memiliki kosa kata yang lebih banyak di usia 15 bulan dan perkembangan bahasa yang lebih bank di usia 36 bulan. Lalu, Ayah yang lebih sering berbicara saat bermain, membantu kemampuan bicara anak lebih baik. Dan selanjutnya, permainan yang lebih aktif secara fisik tengan Ayah dapat membantu pertumbuhan otak yang lebih optimal pada anak,” beber Saskhya.

Lalu, bagaimana cara mencegah anak mengalami speech delay? Kata Saskhya, pada tahap awal anak belajar berbicara, orang tua bisa memulainya dengan mengenalkan anak pada bunyi-bunyian. Dengan ini anak bisa memahami kata atau instruksi yang diucapkan dan mulai belajar untuk berbicara.

"Pertama, kalau kita misalnya ngomongin pemahaman ini memang ada beberapa cara yang bisa kita lakukan, yaitu kita bisa mulai dari bunyi-bunyian dulu. Jadi dari kecil anak diajakan untuk cari ini bunyinya gimana, bunyinya itu masuk ke instruksi, itu masuk sensitif gak ke sumber suaranya di mana," kata Saskhya.

Saskhya juga bilang, untuk mencegah anak mengalami speech delay, penting dilakukan orang tua adalah saat berbicara dengan anak, usahakan untuk selalu bertatapan. Ini akan memudahkan anak untuk fokus dan ia belajar untuk memahami percakapan tersebut.

"Terus yang harus diingetin itu eye contact-nya, posisi mata orang tua harus sejajar dengan anak selama berbicara. Jadi harus pelan-pelan, eye contact-nya dilakukan, posisinya juga sejajar, pada saat ngobrol terus hubungkan suara dengan kegiatan kita. Terus sebutin gitu kosa kata benda-benda yang di sekitar anak itu apa aja, terus juga sering-sering sebut nama anaknya biar dia tahu namanya dia siapa, dan harus sering ngobrol tentunya," kata Saskhya.

Gak cuma itu, selama dalam tahapan perkembangan berbicara, kata Saskhya, usahakan orang tua selalu menggunakan kata-kata yang benar pada anak. Ini berpengaruh pada kosakata yang diketahui anak dan pengertian anak akan kosakata tersebut nantinya.

"Dan terakhir jangan lupa jadi role model atau panutan yang baik dalam menerapkan bicara yang baik dan benar. Nah lalu kalau ngomongnya ekspresifnya yang ada beberapa yang bisa kita lakukan sehari-hari juga gitu, kita bisa juga membantu dari sisi psikologis nya kita kasih respon positif pada saat mereka mengeluarkan suara atau kata-kata baru. Misalny, dia ngomongnya num bukan minum, gitu terus kita bisa sambung dengan kata yang penuhnya tadi," lanjut Saskhya.

Kemudian, Saskhya pun memaparkan tentang cara mengatasi jika anak tersebut sudah tidak terkontrol amarahnya alias tantrum. Dikatakan Saskhya, tantrum adalah situasi ledakan emosional yang wajar dialami anak-anak usia 1 sampai 4 tahun karena berbagai macam hal. Orang tua pun harus melihatnya dari sisi wajarnya itu seperti apa.

“Kalau gomongin anak tantrum itu kita selalu merasa anak kita kayaknya nggak lebih oke daripada anak orang lain. Tantrum ini adalah situasi ledakan emosional yang wajar dialami anak-anak usia 1 sampai 4 tahun karena berbagai macam hal, tapi kita mesti liat wajarnya itu gimana, karena emang satu kali episode tantrum itu biasanya 20-30 menit. Tapi kalau anak tantrumnya bisa sering banget hampir setiap hari atau sehari bisa 5 kali lebih gitu, dan bukannya semakin tenang tapi malah tambah emosinya, makin membuncah sekali, hal itu mungkin perlu cek ke dokter tumbuh kembang anak atau juga ke psikolog gitu. Sebabnya, jangan-jangan masalahnya bukan tantrum. Masalahnya mungkin yang lain. Tantrum ini menjadi wajar ketika itu tadi, waktunya misalkan masih 20-30 menit per episode dan tidak terlalu sering gitu, terus makin lama juga semakin bisa ditenangkan. Jadi, intensitasnya semakin bisa turun dan tidak menyakiti diri sendiri sebetulnya. Nah, kalau tantrumnya gak bisa dikendalikan, jangan-jangan itu bukan tantrum, tapi masalah perkembangan lain,” pungkas Saskhya.

Nah, semoga informasinya bermanfaat ya Moms!